sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Narrative Reporting | Jalan-Jalan Menulis

Pembaca yang selalu setia dan eksis membaca, bertemu lagi dengan saya, Sukardi,  dengan nama pena Adi TB. Nama Bapak Saya Suhardi dan Ibu Siti Nurhasanah.
Saya mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, konsentrasi jurnalistik, semester V, kelas B. Aktif sebagai jurnalis kampus di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM-Warta) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Kali ini, saya menulis tentang kegiatan pelatihan Narrative Reporting, yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Narrative Reporting?    Jalan-Jalan Menulis?


Oke saudare-saudare, saya mau jelasin satu-satu pertanyaan saya di atas, alamak, gaye saye ni!. Kata teman akrab saye, Narrative itu teks yang bercerita menurut alur waktu. Reporting itu artinya liputan. Jadi, hemat saya, mengartikan Narrative Reporting adalah suatu laporan liputan dalam bentuk bercerita.
Kemudian, judul yang saya angkat, cia angkat, macam pejabat aja saya ngomong ni. Hehe
Jalan-jalan menulis, karena kegiatan ini terjun langsung ke lapangan, jalan-jalan sekaligus menulis. Menyelam sambil minum.
Baiklah, pembaca yang budiman, dan temannya budiman, ikuti dan baca dengan nikmat, sajian tulisan sederhana dari penulis yang baru saja  potong rambut ini, ganteng kate emak saya, :D
Mule-Mule…
Selasa, 6 Oktober 2015, saya dipanggil oleh Kepala Jurusan (Kajur) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Acan Mahdi,M.Si, diminta menemui beliau di ruangannya. Saya mendapat amanah untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Berkas saya terima. Kemudian, saya mencari 4 orang lagi dari konsentrasi Jurnalistik, karena panitia meminta 5 orang utusan. Rabu, 07 Oktober 2015, semua berkas diserahkan kembali kepada panitia.
Hari ini, Kamis 08 Oktober 2015. Malam tadi, saking semangatnya mau mengikuti kegiatan pelatihan ini, saya mimpi sedang mengikuti pelatihan. Memang betul, sepengetahuan saya, mimpi ialah berasal dari memori ingatan. Misal, sebelum tidur menghayal makan sate ayam, bisa jadi memori tersebut terbawa ke dalam tidur.
Pukul 7 kurang beberapa menit, saya menjemput sahabat saya, yang sudah saya anggap seperti saudara sendiri, ia Bahrul Ilmi, yang akrab disapa Baim. Alamat  tinggal di Tanjung Hilir, Gang Berkat Sabar, Pontianak Timur.
Roda sepeda motorku menyentuh halaman rumah Bang Bahrul, beberapa menit kemudian, Baim keluar dan memberika senyum khasnya.
“Cau ke Bang?”
“Ayoklah” jawabnya dengan gaya semangat.
Sepeda Motorku berjalan sedang, sesekali pelan, maklum melewati jalan yang padat pengendara. Melewati jembatan Kapuas yang terkenal dengan kemacetannya.
Kami berbaris bersama orang-orang yang siap dengan motornya masing-masing. Sekarang pukul 07.16 WIB, ini saat-saat yang sangat padat, para pengguna jalan ialah mereka dengan berbagai aktifitasnya, ada yang mau ke kantor, kuliah, berdagang dan lain-lain.
Aku menatap dengan nyaman ke arah Jembatan Kapuas.  Jembatan ini dibangun pada tahun 1980. Jembatan Kapuas ini memiliki panjang 420 meter dan lebar 6 meter. Menjadi jalur penyebarangan menuju pusat Kota Pontianak. Dulu disebut jembatan tol 1, karena ketika itu pengguna jembatan dikenai tarif. Pada pertengahan tahun 1990-an, pungutan tarif tol dihapuskan, alias gratis, bebas dilalui pengendara.
Jembatan ini melintang di sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Sungai dengan panjang 1.143 km, yang melintas hingga kabupaten Kapuas Hulu ini, merupakan sumber air dan penghidupan masyarakat yang berada di pinggiran sungai tersebut.
Pernah terjadi kecelakaan, membuat was-was para pengguna jembatan yang berlalu lalang. Jembatan Kapuas, ditabrak Kapal Motor Tongkang bermuatan bauksit, pada Jumat, 30 Agustus 2013, tepatnya ketika saya  baru hijrah ke Kota Pontianak untuk kuliah. Tidak lama dari kejadian tersebut, jembatan langsung diperiksa, dan kerusakan diperbaiki, hingga waktu yang ditentukan, baru bisa dilalui kendaraan. Hingga sekarang, keadaan jembatan membaik, dan hanya boleh dilalui kendaraan roda dua hingga roda empat.
Jembatan Kapuas, sering terjadi penumpukan kendaraan alias macet. Kemacetan terjadi pada pagi hari, mulai pukul 06.00 wib hingga pukul 08.00 wib. Kemacetan juga terjadi pada sore hari, dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 18.00. Kepadatan pengguna jembatan terlihat  pada hari Senin hinggai hari Jumat.  Pada hari Sabtu dan Minggu, keadaan jembatan terasa  lega.
Saat aku melewati jembatan Kapuas, aku merasakan suasana  nyaman dan indah,  angin sepoi-sepoi memelukku. Hamparan air dan gelombang sungai Kapuas dapat disaksikan secara langsung. Kita bisa melihat sampan, motor air, dan kapal motor tongkang berlalu lalang. Rumah penduduk berjajar di tepian Sungai Kapuas. Penduduk terlihat bergoyang dengan segala aktifitasnya, ada yang  mandi dan mencuci.
Dari jembatan Kapuas, aku dapat menyaksikan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, yang dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharram tahun 1821 M / 1237 H. Pengunjung Masjid Jami’, yang menggunakan jalur darat dapat naik bus dan melewati jembatan Sungai Kapuas.
Kemarin, kabut asap menyelimuti Pontianak, Jembatan Kapuas juga merasa sesak napas. Setelah diguyur hujan yang sangat deras. Pagi ini sudah lebih leluasa menghirup udara pagi yang sejuk.
Beberapa menit kemudian, roda kendaraan kami pun menyentuh wajah IAIN Pontianak. Bang Baim minta diturunkan di depan Lab. Radio, dan saya langsung menuju markas Lembaga Pers Mahasiswa, dan memarkirkan motor. Setelah itu, kami bersama-sama menuju lokasi kegiatan pelatihan, yakni di laboratorium komputer. Ruangan ber-AC, lumayan dingin. Registrasi peserta pun di mulai.
Pukul 08.00 hingga pukul 09.00 pengarahan kegiatan sekaligus pembukaan. Pelatihan ini dibuka langsung oleh ketua pusat pengembangan bahasa, Mr. Segu. Ketua panitia pelatihan ialah Didi Darmadi, M.Let. peserta kegiatan berjumlah 23 orang, perwakilan dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Club Menulis IAIN Pontianak, Club Riset IAIN Pontianak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) IAIN Pontianak.
Tujuan dari kegiatan pelatihan narrative reporting ini, ialah untuk mendokumentasikan Pontianak, dan ini juga bagian dengan ulang tahun kota Pontianak ke 244, dan bukti ikut serta Institut.
“Mengapa kita perlu menulis?, Kalau tidak mau menulis, berarti sombong sekali. Tradisi menulis itu sudah berasal dari Tuhan, lihat pada 4 kitabnya. Yang diajarkan langsung oleh malaikat kepada manusia” itulah  perkataan Mr. Segu yang saya kutip, dan membuat saya tersenyum.
Setelah pembukaan, dilanjutkan dengan penyampaian materi, pukul 09.30-12.00 oleh Dr. Yusriadi, MA dengan tema konsep Islam dan Budaya Borneo. Dan materi kedua pada pukul 13.00-15.00 oleh H.Nur Iskandar, SP dengan tema konsep narrative reporting.
Setelah materi selesai, dilanjutkan dengan pembagian kelompok riset. Kami terbagi menjadi 4 kelompok dengan wilayah liputan, kelompok 1 , Abdusolah Ridho’I, Amar Ma’ruf, Khairul Umam, Fitri Sari, Umi Ani Jusida, Desi Wulandari, Rival Aqma Rianda, pendamping Fahmi Ichwan, S.Hut dan Didi Darmadi, M.Let, lokasi riset di  Kampung Kamboja.
Kelompok 2, Rizki Imanuddin, Fathul Birri, Zamal Saputra, Hur Hajirah, Burhanuddin, Anita Purnama Sari, Pendamping Ali Fauzi, S.Pd.I dan Salim S,Pd,I, lokasi riset di lingkungan keraton dan masjid jami’.  
Aku berada di Kelompok 3, dengan jumlah peserta 7 orang, Yusmandi, Saerani, Imtahanul Jannah, Noviany Ratri Kinanti, Nurhasanah, dan Hairul Umam. Dengan 2 orang pendamping, Khairul Muttaqin, S.Pd.I dan Abdullah, S.Kom.I, lokasi riset di Kampung Jeruju.
Dan yang terakhir kelompok 4, Septi Dwita Sari, Al-Dhilla Izzati, M.Basharuddin, Bahrul Ilmi, Abdul Hamid, dan Siti Muslikhah, pendamping Septian Utut W, S.Kom.I dan Syamhadi, S.Pd.I, lokasi riset di Kampung Bangka.

Ekspedisi Kapuas
Jumat, 9 Oktober 2015, Ekspedisi Kapuas dimulai. Pukul 08.00 kami berkumpul di ruangan Laboratorium  Komputer IAIN Pontianak. Menyimak dan mencatat pembekalan riset, yang disampaikan oleh Dr. Yusriadi, MA.
Sebelum berangkat, kami dari tim riset, pembimbing dan pendamping, melaksanakan foto bersama. Hal berfoto ini, hampir semua orang suka difoto dan didokumentasikan. Lumayan menambah semangat.
Pukul 09.00, kami menuju lokasi, menggunakan kendaraan sepeda motor. Kelompok 3 menuju Kampung Jeruju. Memasuki jalan TPS pelabuhan air. Tidak jauh dari masjid Nurul Hamid, di dekat jalan Karet.
Di area pelabuhan baru, kami ngobrol-ngobrol dengan masyarakat, menanyakan tentang daerah sekitar. Kemudian kelompok 3 breaving untuk pemetaan dan fokus liputan, pertama Nurhasanah dan Imtahul Jannah menulis tentang sosial dan agama, kedua Rizky F.U, Ratri , Umam dan Abdullah sebagai pendamping mencari data tentang pendidikan, ekonomi dan sejarah, dan yang terakhir saya bersama Yusmandi mencari data tentang budaya.
Kami bergegas ke wilayah pengumpulan data masing-masing. Saya dan Yusmandi masuk ke  Gang Karya Tani 1, Kelurahan Sungai Beliau, Kecamatan Pontianak. Kami langsung mengantarkan surat izin riset ke rumah Pak  RT 03/ RW 27.
Di Gang, kami bertemu seorang bapak berusia parubaya, beliau tidak menggunakan baju, hanya menggunakan celana selutut, sedang menyapu di depan rumah. Beliau memiliki warung sembako. Saya mampir sejenak.
“Permisi Pak”
“Iya”
“Mau numpang tanya Pak, rumah pak RT di mana ya?”
“Tu, pagar” jawab bapak tersebut sambil menunjuk ke arah rumah yang ada pagarnya.
Lucu juga si rasanya, secara kajian semantik, atau makna kata, pertanyaan yang saya ajukan kan tentang letak atau posisi rumah RT di Gang tersebut. Sedangkan Si Bapak menyebutkan “Pagar”. Pagar bermakna suatu penutup atau pelindung yang berada di halaman rumah. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pagar adalah  dinding sebagai batas, tanaman sebagai batas.
Namun, pagar yang dimaksud Bapak tersebut ialah pagar yang  menunjukkan posisi rumah Pak RT yang saya cari.
Saya langsung melihat arah yang ditunjuk oleh Si Bapak. Ternyata memang betul, hanya rumah pak RT yang menggunakan pagar yang lumayan elit, bukan ekonomi sulit bro. Pagar tersebut menurut saya, bisa menjadi lambang strata sosial atau tingkatan sosial. Seorang RT yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat biasa.  Setelah permisi, saya dan Yus langsung menuju rumah pak RT.
“Assalamualaikum” satu kali kali saja,  langsung mendapat jawaban salam dari pemilik rumah.
“Wa’alaikumsalam, ada apa ya?” seorang Istri Pak RT keluar rumah, menanyakan tujuan kedatangan kami dan mempersilahkan masuk. Pak RT sedang kerja.
Kami pun langsung mengutarakan kedatangan kami, sambil menunjukkan sebuah surat izin. Setelah perkenalan beberapa waktu, saya menanyakan tetua di kampung tersebut, dan Bu RT menyebutkan seorang nenek, yang saya tidak tahu naman Bu RT hanya memberikan keterangan bahwa Sang Nenek berusia 70 tahun. Kemudian, saya tanya lagi, selain si nenek, ada tidak tetua di Gang tersebut, Bu RT menjawab hanya ada  1 orang.
Posisi rumah nenek di dekat rumah pak RT. Syukurlah dekat. Kami pun segera bergegas. Dengan semangat yang menggebu-gebu, informan atau narasumber sudah di dekat hidung, aromanya terhirup.
Sudah siap-siap tancap gas, eh Si Yus kebingungan mencari kunci motornya.
“Mane kunci ni?” sambil merogoh kantong celana, baju dan tas.
“Di dalam rumah tu kalik Bang?” kata saya memastikan.
“Aok Di, wah..”
Dengan keadaan takut-takut tapi takut haha, Bang Yus mencoba kembali masuk ke rumah Pak RT. Mengucapkan salam lagi. Dan keluar anak Pak RT sambil memberikan kunci. Kami mengucapkan terima kasih.
Saya dan Bang Yus, segera pergi ke rumah Si Nenek calon narasumber.
“Sepi jak rumahnye ni Bang” sambil melihat kondisi rumah, dan menoleh ke arah Bang Yus.
“Assalamualaikum” saya mengucapkan salam sebanyak 2 kali, belum ada jawaban, masih sepi melompong.
Saya mencari inisiatif, dan menuju ke samping rumah, ada jalan kecil menuju pintu samping.
“Assalamualaikum” saya mengucapkan salam, dengan semangat lebih tinggi, dan yakin ada orang di dalam rumah tersebut.
“Iyee, wa’alaikumsalam” terdengar suara anak kecil laki-laki dari dalam rumah.
Dengan keadaan pintu rumah masih tertutup. Saya mencoba menjalin komunikasi dari luar rumah. Maklum wartawan kampus, butuh klarifikasi, ciee..
“Nenek ade kee?” tanyaku dengan nada pelan dan sopan.
“Nenek tak ade”
“Kemane?” tanyaku dengan lumayan sedih. Sedih dong, calon narasumber ternyata tidak ada di tempat.
“Nenek lagi ke Sungai Durian”
“Ow, bile baleknye ye?” tanyaku penuh harap.
“Minggu”
Itulah percakapan terakhirku dengan cucu si Nenek. Aku segera ke depan dan menemui Bang Yus. Saya kasi tau ke Bang Yus tentang si Nenek yang tak ada di rumah. Muka Bang Yus agak galau. Hehe
Kami pun mencoba jalan terus, pantang menyerah.
“Kemane agik kite Di?”
“Kite cobe telusuri lok Bang Gang ni, siape tau gak ketemu dengan Informan”
Kami pun tancap gas pelan, melihat-lihat masyarakat di Gang, tapi banyak yang tutup rumahnya.
Setelah beberapa meter masuk Gang, saya dan Bang Yus melihat seorang Nenek. Beliau sedang menjemur pakaian, sepertinya si Nenek baru selesai mandi.
Hatiku menjadi senang, ketemu calon narasumber kedua. “Stop di sini Bang” . kami memarkirkan sepeda motor. Dan segera mampir dan memperkenalkan diri.
Sebelum perkenalan. Bukannya saya berburuk sangka, ternyata bu RT kurang dekat dengan masyarakat sekitar, menurut penuturan beliau sebelumnya, warganya yang tetua hanya ada 1, ni buktinya, ada nenek lagi, mungkin ada lagi, dasar. Tapi ya sudah lah, mungkin bu RT lupa.
“Permisi Nek” kami bersalaman dengan Si Nenek.
“Siape ye?,  Nenek lupa” kata Si Nenek, sambil bersalaman dengan kami.
Saya merasa tergelitik dengan pertanyaan nenek, membuat saya tersenyum. Kami langsung memperkenalkan diri dan tujuan kami ketemu Si Nenek. Tidak berlama-lama di halaman, kami langsung dipersilahkan masuk ke rumah Si Nenek. Beliau menyambut kami dengan ramah dan sopan. Aku jadi ingat satu slogan, “Anda sopan, kami segan”.
Tulisan saya pada penelitian kali ini tentang budaya lokal.
Narasumber atau Si Nenek yang kami temui, bernama Siti Maryani, berusia 60 tahun, anak ke-6 dari 12 bersaudara. Lahir di Tanjung Pasir, Kuala Mandor, Kalimantan Barat. Sudah 20 tahun hijrah atau tinggal di Gang Karya Tani 1. Memiliki 2 Anak, 5 Cucu, dan 3 Cicit.
Saya bertanya kepada Si Nenek, asal muasal pemberian namanya tersebut. Si nenek bercerita, nama tersebut pemberian bapaknya, yang pada saat itu ada orang pintar dengan nama “Siti Maryani” jadi bapak berharap anaknya juga pintar.
“Padahal apelah Nenek ni, cuman tamatan SD,” kata si Nenek sambil tertawa.
Nek Maryani suku Bugis. Dan di Gang Karya Tani 1, terdapat suku Melayu, Jawa, Sambas, dan Dayak yang sudah masuk Islam.  Kegiatan keagamaan di Gang tersebut, setiap jumat ada pengajian. Secara ekonomi, warga bekerja sebagai Tukang, Buruh Swasta dan buka Warung.
Berhubungan Siti Maryani orang Bugis. Kegiatan kebudayaan atau tradisi yang rutin atau masih kental dilaksanakan ialah perayaan Robo-robo, Syukuran saat melahirkan, Naik Tojang, Buang-buang. Saya pun segera mencatat semua yang dituturkan oleh beliau.

Tradisi Suku Bugis di Kampung Jeruju
#Robo-robo
Robo, artinya rabu, karena kegiatan dilaksanakan pada hari rabu, minggu terakhir, pada bulan Syafar. Kegiatan ini dibawa oleh Daeng Manambon, Raja Mempawah. Pada saat perayaan Robo-Robo, masyarakat membuat ketupat, kemudian syukuran, baca doa tolak balak, makan bersama. Rangkaian Robo-robo ini bertujuan untuk berdoa dan syukuran, karena pada hari tersebut diyakini banyak musibah. Tempat makan biasanya di jembatan.
Ada pantang larang berpergian sebelum kegiatan selesai. Setelah acara selesai, Nenek jalan-jalan mengunjungi sanak saudara. Menurut penuturan Nek Maryani, ada di antara warga yang mengikuti robo-robo, hanya makan-makan saja, mereka juga belanja dan masak ketupat, namun tidak ada baca doa. Jadi Nek Maryani menjelaskan kepada mereka tradisi yang ada di dalam robo-robo.


#Syukuran melahirkan
Syukuran saat melahirkan, dilaksanakan selama 3 hari. Makanannya berupa pulut/ketan digoreng, kemudian dikasih kuah santan dan gula merah. Acara diisi dengan pembacaan al-barzanji.
#Naek Tojang
Naek Tojang, berasal dari bahasa Bugis, Naek artinya menaiki atau menempati, sedangkan Tojang artinya Ayunan atau alat untuk berayun.
Bentuk Tojang seperti ayunan bayi biasanya. Menggunakan kain kuning. Filosofi dari kain kuning ialah kain ini ialah kain yang dipakai oleh para Raja. Seperti keraton Pontianak.
Makanan atau sajian yang disiapkan ialah pulut (ketan), ketupat dan lepat-lepat ,pisang berangan, dengan sisir pisang utuh, tidak boleh cacat, kalau pisangnya kurang, akan ada akibat untuk si bayi, diantaranya muntaber.
Kegiatan berlangsung selama 2 hari. Hari pertama persiapan makanan dan barang-barang yang dibutuhkan. Dan pada esok harinya, ialah hari pelaksanaan naik tojang. Di isi dengan pembacaan Al-Barzanji dan doa selamat. Mengundang warga, dan dukun beranak sebagai pemandu acara, walau lahirnya di rumah sakit, acara naik tojang tetap dilaksanakan dan mengundang dukun beranak.
Untuk kegiatan tidak berpatokan berapa hari dari pasca kelahiran, jika si keluarga sudah memiliki biaya  atau mampu, naik tojang pun dilaksanakan. Asalkan  jangan sampai terlalu besar si bayi, seperti sudah berusia 1 tahun, kasian, minimal 3 bulan.
#Buang-buang
Buang-buang, tradisi ini dilaksanakan pada saat pernikahan, bayi baru lahir dan kegiatan lainnya. Tujuannya ialah sama, menolak balak. Menggunakan sirih dan pinang. Posisi buangnya di air, di dekat tangga dan parit.
Dari rangkaian tradisi-tradisi orang Bugis, warga sekitar kompak dan tidak ada yang komplen, mereka bekerja sama atau saling membantu dalam proses kegiatan. Tradisi-tradisi di atas bersumber dari nenek moyang, yang diajarkan kepada mereka sebagai penerus.
Adat yang yang turun temurun dan menjadi kepercayaan, apabila ditolak akan ada tanda-tanda yang  tidak diinginkan. Secara umum memang terlihat, seperti yang telah dituturkan oleh Nek Siti Maryani, sebagai pelaku langsung dalam tradisi suku Bugis. Semua ada konsekuenya jika dilanggar. Seperti masalah kesehatan hingga masalah psikologi.
“Walaupun sudah menikah dengan beda suku, namun tradisi dari suku Bugis memang kental dan tidak bisa ditinggalkan” tutur Nek Siti Maryani menutup wawancara.

Dengan tulisan ini,  tradisi lokal dan pengetahuan bangsa terdokumentasikan, menjadi arsip penting, yang bisa dibuka dan dibaca kembali oleh generasi penerus. Semoga tulisan sederhana namun penuh ketulusan ini bermanfaat.*



Penulis: Sukardi (Adi TB)
Kamis, 08 Oktober 2015

Posting Komentar

0 Komentar