Pembaca yang selalu
setia dan eksis membaca, bertemu lagi dengan saya, Sukardi, dengan nama pena Adi TB. Nama Bapak Saya
Suhardi dan Ibu Siti Nurhasanah.
Saya mahasiswa
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
konsentrasi jurnalistik, semester V, kelas B. Aktif sebagai jurnalis kampus di
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM-Warta) Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pontianak.
Kali ini, saya
menulis tentang kegiatan pelatihan Narrative Reporting, yang diadakan oleh
Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Narrative Reporting? Jalan-Jalan Menulis?
Oke saudare-saudare, saya mau jelasin
satu-satu pertanyaan saya di atas, alamak,
gaye saye ni!. Kata teman akrab saye, Narrative itu teks yang bercerita
menurut alur waktu. Reporting itu artinya liputan. Jadi, hemat saya,
mengartikan Narrative Reporting adalah
suatu laporan liputan dalam bentuk bercerita.
Kemudian, judul yang
saya angkat, cia angkat, macam pejabat aja saya ngomong ni. Hehe
Jalan-jalan menulis,
karena kegiatan ini terjun langsung ke lapangan, jalan-jalan sekaligus menulis.
Menyelam sambil minum.
Baiklah, pembaca yang
budiman, dan temannya budiman, ikuti dan baca dengan nikmat, sajian tulisan
sederhana dari penulis yang baru saja potong
rambut ini, ganteng kate emak saya, :D
Mule-Mule…
Selasa, 6 Oktober
2015, saya dipanggil oleh Kepala Jurusan (Kajur) Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI), Acan Mahdi,M.Si, diminta menemui beliau di ruangannya. Saya mendapat
amanah untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Berkas saya terima. Kemudian, saya mencari
4 orang lagi dari konsentrasi Jurnalistik, karena panitia meminta 5 orang
utusan. Rabu, 07 Oktober 2015, semua berkas diserahkan kembali kepada panitia.
Hari ini, Kamis 08
Oktober 2015. Malam tadi, saking semangatnya mau mengikuti kegiatan pelatihan
ini, saya mimpi sedang mengikuti pelatihan. Memang betul, sepengetahuan saya,
mimpi ialah berasal dari memori ingatan. Misal, sebelum tidur menghayal makan
sate ayam, bisa jadi memori tersebut terbawa ke dalam tidur.
Pukul 7 kurang
beberapa menit, saya menjemput sahabat saya, yang sudah saya anggap seperti
saudara sendiri, ia Bahrul Ilmi, yang akrab disapa Baim. Alamat tinggal di Tanjung Hilir, Gang Berkat Sabar,
Pontianak Timur.
Roda sepeda motorku menyentuh
halaman rumah Bang Bahrul, beberapa menit kemudian, Baim keluar dan memberika
senyum khasnya.
“Cau ke Bang?”
“Ayoklah” jawabnya
dengan gaya semangat.
Sepeda Motorku
berjalan sedang, sesekali pelan, maklum melewati jalan yang padat pengendara.
Melewati jembatan Kapuas yang terkenal dengan kemacetannya.
Kami berbaris bersama
orang-orang yang siap dengan motornya masing-masing. Sekarang pukul 07.16 WIB,
ini saat-saat yang sangat padat, para pengguna jalan ialah mereka dengan
berbagai aktifitasnya, ada yang mau ke kantor, kuliah, berdagang dan lain-lain.
Aku menatap dengan
nyaman ke arah Jembatan Kapuas. Jembatan
ini dibangun pada tahun 1980. Jembatan Kapuas ini memiliki panjang 420 meter
dan lebar 6 meter. Menjadi jalur penyebarangan menuju pusat Kota Pontianak.
Dulu disebut jembatan tol 1, karena ketika itu pengguna jembatan dikenai tarif.
Pada pertengahan tahun 1990-an, pungutan tarif tol dihapuskan, alias gratis,
bebas dilalui pengendara.
Jembatan ini
melintang di sungai
terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Sungai dengan
panjang 1.143 km, yang melintas hingga kabupaten Kapuas Hulu ini, merupakan
sumber air dan penghidupan masyarakat yang berada di pinggiran sungai tersebut.
Pernah terjadi
kecelakaan, membuat was-was para pengguna jembatan yang berlalu lalang. Jembatan
Kapuas, ditabrak Kapal Motor Tongkang bermuatan bauksit, pada Jumat, 30 Agustus
2013, tepatnya ketika saya baru hijrah
ke Kota Pontianak untuk kuliah. Tidak lama dari kejadian tersebut, jembatan
langsung diperiksa, dan kerusakan diperbaiki, hingga waktu yang ditentukan,
baru bisa dilalui kendaraan. Hingga sekarang, keadaan jembatan membaik, dan
hanya boleh dilalui kendaraan roda dua hingga roda empat.
Jembatan Kapuas,
sering terjadi penumpukan kendaraan alias macet. Kemacetan terjadi pada pagi
hari, mulai pukul 06.00 wib hingga pukul 08.00 wib. Kemacetan juga terjadi pada
sore hari, dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 18.00. Kepadatan pengguna jembatan
terlihat pada hari Senin hinggai hari
Jumat. Pada hari Sabtu dan Minggu,
keadaan jembatan terasa lega.
Saat aku melewati
jembatan Kapuas, aku merasakan suasana
nyaman dan indah, angin
sepoi-sepoi memelukku. Hamparan air dan gelombang sungai Kapuas dapat
disaksikan secara langsung. Kita bisa melihat sampan, motor air, dan kapal
motor tongkang berlalu lalang. Rumah penduduk berjajar di tepian Sungai Kapuas.
Penduduk terlihat bergoyang dengan segala aktifitasnya, ada yang mandi dan mencuci.
Dari jembatan Kapuas,
aku dapat menyaksikan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, yang dibangun
oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharram tahun 1821 M / 1237 H.
Pengunjung Masjid Jami’, yang menggunakan jalur darat dapat naik bus dan
melewati jembatan Sungai Kapuas.
Kemarin, kabut asap
menyelimuti Pontianak, Jembatan Kapuas juga merasa sesak napas. Setelah diguyur
hujan yang sangat deras. Pagi ini sudah lebih leluasa menghirup udara pagi yang
sejuk.
Beberapa menit
kemudian, roda kendaraan kami pun menyentuh wajah IAIN Pontianak. Bang Baim
minta diturunkan di depan Lab. Radio, dan saya langsung menuju markas Lembaga
Pers Mahasiswa, dan memarkirkan motor. Setelah itu, kami bersama-sama menuju
lokasi kegiatan pelatihan, yakni di laboratorium komputer. Ruangan ber-AC,
lumayan dingin. Registrasi peserta pun di mulai.
Pukul 08.00 hingga
pukul 09.00 pengarahan kegiatan sekaligus pembukaan. Pelatihan ini dibuka
langsung oleh ketua pusat pengembangan bahasa, Mr. Segu. Ketua panitia
pelatihan ialah Didi Darmadi, M.Let. peserta kegiatan berjumlah 23 orang,
perwakilan dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Fakultas Ushuluddin Adab
dan Dakwah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Club Menulis IAIN Pontianak,
Club Riset IAIN Pontianak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) IAIN Pontianak.
Tujuan dari kegiatan
pelatihan narrative reporting ini, ialah untuk mendokumentasikan Pontianak, dan
ini juga bagian dengan ulang tahun kota Pontianak ke 244, dan bukti ikut serta
Institut.
“Mengapa kita perlu
menulis?, Kalau tidak mau menulis, berarti sombong sekali. Tradisi menulis itu
sudah berasal dari Tuhan, lihat pada 4 kitabnya. Yang diajarkan langsung oleh
malaikat kepada manusia” itulah
perkataan Mr. Segu yang saya kutip, dan membuat saya tersenyum.
Setelah pembukaan,
dilanjutkan dengan penyampaian materi, pukul 09.30-12.00 oleh Dr. Yusriadi, MA
dengan tema konsep Islam dan Budaya Borneo. Dan materi kedua pada pukul
13.00-15.00 oleh H.Nur Iskandar, SP dengan tema konsep narrative reporting.
Setelah materi
selesai, dilanjutkan dengan pembagian kelompok riset. Kami terbagi menjadi 4
kelompok dengan wilayah liputan, kelompok 1 , Abdusolah Ridho’I, Amar Ma’ruf,
Khairul Umam, Fitri Sari, Umi Ani Jusida, Desi Wulandari, Rival Aqma Rianda, pendamping
Fahmi Ichwan, S.Hut dan Didi Darmadi, M.Let, lokasi riset di Kampung Kamboja.
Kelompok 2, Rizki
Imanuddin, Fathul Birri, Zamal Saputra, Hur Hajirah, Burhanuddin, Anita Purnama
Sari, Pendamping Ali Fauzi, S.Pd.I dan Salim S,Pd,I, lokasi riset di lingkungan
keraton dan masjid jami’.
Aku berada di
Kelompok 3, dengan jumlah peserta 7 orang, Yusmandi, Saerani, Imtahanul Jannah,
Noviany Ratri Kinanti, Nurhasanah, dan Hairul Umam. Dengan 2 orang pendamping,
Khairul Muttaqin, S.Pd.I dan Abdullah, S.Kom.I, lokasi riset di Kampung Jeruju.
Dan yang terakhir
kelompok 4, Septi Dwita Sari, Al-Dhilla Izzati, M.Basharuddin, Bahrul Ilmi,
Abdul Hamid, dan Siti Muslikhah, pendamping Septian Utut W, S.Kom.I dan
Syamhadi, S.Pd.I, lokasi riset di Kampung Bangka.
Ekspedisi Kapuas
Jumat, 9 Oktober
2015, Ekspedisi Kapuas dimulai. Pukul 08.00 kami berkumpul di ruangan Laboratorium
Komputer IAIN Pontianak. Menyimak dan
mencatat pembekalan riset, yang disampaikan oleh Dr. Yusriadi, MA.
Sebelum berangkat,
kami dari tim riset, pembimbing dan pendamping, melaksanakan foto bersama. Hal
berfoto ini, hampir semua orang suka difoto dan didokumentasikan. Lumayan
menambah semangat.
Pukul 09.00, kami
menuju lokasi, menggunakan kendaraan sepeda motor. Kelompok 3 menuju Kampung Jeruju.
Memasuki jalan TPS pelabuhan air. Tidak jauh dari masjid Nurul Hamid, di dekat
jalan Karet.
Di area pelabuhan
baru, kami ngobrol-ngobrol dengan masyarakat, menanyakan tentang daerah sekitar.
Kemudian kelompok 3 breaving untuk pemetaan dan fokus liputan, pertama
Nurhasanah dan Imtahul Jannah menulis tentang sosial dan agama, kedua Rizky
F.U, Ratri , Umam dan Abdullah sebagai pendamping mencari data tentang
pendidikan, ekonomi dan sejarah, dan yang terakhir saya bersama Yusmandi
mencari data tentang budaya.
Kami bergegas ke
wilayah pengumpulan data masing-masing. Saya dan Yusmandi masuk ke Gang Karya Tani 1, Kelurahan Sungai Beliau,
Kecamatan Pontianak. Kami langsung mengantarkan surat izin riset ke rumah Pak RT 03/ RW 27.
Di Gang, kami bertemu
seorang bapak berusia parubaya, beliau tidak menggunakan baju, hanya
menggunakan celana selutut, sedang menyapu di depan rumah. Beliau memiliki
warung sembako. Saya mampir sejenak.
“Permisi Pak”
“Iya”
“Mau numpang tanya
Pak, rumah pak RT di mana ya?”
“Tu, pagar” jawab
bapak tersebut sambil menunjuk ke arah rumah yang ada pagarnya.
Lucu juga si rasanya,
secara kajian semantik, atau makna kata, pertanyaan yang saya ajukan kan
tentang letak atau posisi rumah RT di Gang tersebut. Sedangkan Si Bapak
menyebutkan “Pagar”. Pagar bermakna suatu penutup atau pelindung yang berada di
halaman rumah. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pagar adalah dinding sebagai batas, tanaman sebagai batas.
Namun, pagar yang
dimaksud Bapak tersebut ialah pagar yang
menunjukkan posisi rumah Pak RT yang saya cari.
Saya langsung melihat
arah yang ditunjuk oleh Si Bapak. Ternyata memang betul, hanya rumah pak RT
yang menggunakan pagar yang lumayan elit, bukan ekonomi sulit bro. Pagar
tersebut menurut saya, bisa menjadi lambang strata sosial atau tingkatan
sosial. Seorang RT yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat
biasa. Setelah permisi, saya dan Yus
langsung menuju rumah pak RT.
“Assalamualaikum” satu
kali kali saja, langsung mendapat jawaban
salam dari pemilik rumah.
“Wa’alaikumsalam, ada
apa ya?” seorang Istri Pak RT keluar rumah, menanyakan tujuan kedatangan kami
dan mempersilahkan masuk. Pak RT sedang kerja.
Kami pun langsung
mengutarakan kedatangan kami, sambil menunjukkan sebuah surat izin. Setelah
perkenalan beberapa waktu, saya menanyakan tetua di kampung tersebut, dan Bu RT
menyebutkan seorang nenek, yang saya tidak tahu naman Bu RT hanya memberikan
keterangan bahwa Sang Nenek berusia 70 tahun. Kemudian, saya tanya lagi, selain
si nenek, ada tidak tetua di Gang tersebut, Bu RT menjawab hanya ada 1 orang.
Posisi rumah nenek di
dekat rumah pak RT. Syukurlah dekat. Kami pun segera bergegas. Dengan semangat
yang menggebu-gebu, informan atau narasumber sudah di dekat hidung, aromanya
terhirup.
Sudah siap-siap
tancap gas, eh Si Yus kebingungan mencari kunci motornya.
“Mane kunci ni?”
sambil merogoh kantong celana, baju dan tas.
“Di dalam rumah tu kalik
Bang?” kata saya memastikan.
“Aok Di, wah..”
Dengan keadaan
takut-takut tapi takut haha, Bang Yus mencoba kembali masuk ke rumah Pak RT.
Mengucapkan salam lagi. Dan keluar anak Pak RT sambil memberikan kunci. Kami
mengucapkan terima kasih.
Saya dan Bang Yus,
segera pergi ke rumah Si Nenek calon narasumber.
“Sepi jak rumahnye ni
Bang” sambil melihat kondisi rumah, dan menoleh ke arah Bang Yus.
“Assalamualaikum”
saya mengucapkan salam sebanyak 2 kali, belum ada jawaban, masih sepi
melompong.
Saya mencari
inisiatif, dan menuju ke samping rumah, ada jalan kecil menuju pintu samping.
“Assalamualaikum” saya
mengucapkan salam, dengan semangat lebih tinggi, dan yakin ada orang di dalam
rumah tersebut.
“Iyee, wa’alaikumsalam”
terdengar suara anak kecil laki-laki dari dalam rumah.
Dengan keadaan pintu
rumah masih tertutup. Saya mencoba menjalin komunikasi dari luar rumah. Maklum
wartawan kampus, butuh klarifikasi, ciee..
“Nenek ade kee?”
tanyaku dengan nada pelan dan sopan.
“Nenek tak ade”
“Kemane?” tanyaku
dengan lumayan sedih. Sedih dong, calon narasumber ternyata tidak ada di
tempat.
“Nenek lagi ke Sungai
Durian”
“Ow, bile baleknye
ye?” tanyaku penuh harap.
“Minggu”
Itulah percakapan
terakhirku dengan cucu si Nenek. Aku segera ke depan dan menemui Bang Yus. Saya
kasi tau ke Bang Yus tentang si Nenek yang tak ada di rumah. Muka Bang Yus agak
galau. Hehe
Kami pun mencoba
jalan terus, pantang menyerah.
“Kemane agik kite
Di?”
“Kite cobe telusuri
lok Bang Gang ni, siape tau gak ketemu dengan Informan”
Kami pun tancap gas
pelan, melihat-lihat masyarakat di Gang, tapi banyak yang tutup rumahnya.
Setelah beberapa meter
masuk Gang, saya dan Bang Yus melihat seorang Nenek. Beliau sedang menjemur
pakaian, sepertinya si Nenek baru selesai mandi.
Hatiku menjadi
senang, ketemu calon narasumber kedua. “Stop di sini Bang” . kami memarkirkan
sepeda motor. Dan segera mampir dan memperkenalkan diri.
Sebelum perkenalan.
Bukannya saya berburuk sangka, ternyata bu RT kurang dekat dengan masyarakat
sekitar, menurut penuturan beliau sebelumnya, warganya yang tetua hanya ada 1,
ni buktinya, ada nenek lagi, mungkin ada lagi, dasar. Tapi ya sudah lah,
mungkin bu RT lupa.
“Permisi Nek” kami
bersalaman dengan Si Nenek.
“Siape ye?, Nenek lupa” kata Si Nenek, sambil bersalaman
dengan kami.
Saya merasa
tergelitik dengan pertanyaan nenek, membuat saya tersenyum. Kami langsung
memperkenalkan diri dan tujuan kami ketemu Si Nenek. Tidak berlama-lama di
halaman, kami langsung dipersilahkan masuk ke rumah Si Nenek. Beliau menyambut
kami dengan ramah dan sopan. Aku jadi ingat satu slogan, “Anda sopan, kami
segan”.
Tulisan saya pada
penelitian kali ini tentang budaya lokal.
Narasumber atau Si
Nenek yang kami temui, bernama Siti Maryani, berusia 60 tahun, anak ke-6 dari
12 bersaudara. Lahir di Tanjung Pasir, Kuala Mandor, Kalimantan Barat. Sudah 20
tahun hijrah atau tinggal di Gang Karya Tani 1. Memiliki 2 Anak, 5 Cucu, dan 3
Cicit.
Saya bertanya kepada
Si Nenek, asal muasal pemberian namanya tersebut. Si nenek bercerita, nama
tersebut pemberian bapaknya, yang pada saat itu ada orang pintar dengan nama
“Siti Maryani” jadi bapak berharap anaknya juga pintar.
“Padahal apelah Nenek
ni, cuman tamatan SD,” kata si Nenek sambil tertawa.
Nek Maryani suku Bugis.
Dan di Gang Karya Tani 1, terdapat suku Melayu, Jawa, Sambas, dan Dayak yang
sudah masuk Islam. Kegiatan keagamaan di
Gang tersebut, setiap jumat ada pengajian. Secara ekonomi, warga bekerja
sebagai Tukang, Buruh Swasta dan buka Warung.
Berhubungan Siti
Maryani orang Bugis. Kegiatan kebudayaan atau tradisi yang rutin atau masih
kental dilaksanakan ialah perayaan Robo-robo, Syukuran saat melahirkan, Naik
Tojang, Buang-buang. Saya pun segera mencatat semua yang dituturkan oleh
beliau.
Tradisi
Suku Bugis di Kampung Jeruju
#Robo-robo
Robo, artinya rabu,
karena kegiatan dilaksanakan pada hari rabu, minggu terakhir, pada bulan
Syafar. Kegiatan ini dibawa oleh Daeng Manambon, Raja Mempawah. Pada saat
perayaan Robo-Robo, masyarakat membuat ketupat, kemudian syukuran, baca doa tolak
balak, makan bersama. Rangkaian Robo-robo ini bertujuan untuk berdoa dan
syukuran, karena pada hari tersebut diyakini banyak musibah. Tempat makan
biasanya di jembatan.
Ada pantang larang
berpergian sebelum kegiatan selesai. Setelah acara selesai, Nenek jalan-jalan
mengunjungi sanak saudara. Menurut penuturan Nek Maryani, ada di antara warga
yang mengikuti robo-robo, hanya makan-makan saja, mereka juga belanja dan masak
ketupat, namun tidak ada baca doa. Jadi Nek Maryani menjelaskan kepada mereka
tradisi yang ada di dalam robo-robo.
#Syukuran
melahirkan
Syukuran saat
melahirkan, dilaksanakan selama 3 hari. Makanannya berupa pulut/ketan digoreng,
kemudian dikasih kuah santan dan gula merah. Acara diisi dengan pembacaan
al-barzanji.
#Naek
Tojang
Naek Tojang, berasal
dari bahasa Bugis, Naek artinya menaiki atau menempati, sedangkan Tojang
artinya Ayunan atau alat untuk berayun.
Bentuk Tojang seperti
ayunan bayi biasanya. Menggunakan kain kuning. Filosofi dari kain kuning ialah
kain ini ialah kain yang dipakai oleh para Raja. Seperti keraton Pontianak.
Makanan atau sajian
yang disiapkan ialah pulut (ketan), ketupat dan lepat-lepat ,pisang berangan,
dengan sisir pisang utuh, tidak boleh cacat, kalau pisangnya kurang, akan ada
akibat untuk si bayi, diantaranya muntaber.
Kegiatan berlangsung
selama 2 hari. Hari pertama persiapan makanan dan barang-barang yang
dibutuhkan. Dan pada esok harinya, ialah hari pelaksanaan naik tojang. Di isi
dengan pembacaan Al-Barzanji dan doa selamat. Mengundang warga, dan dukun
beranak sebagai pemandu acara, walau lahirnya di rumah sakit, acara naik tojang
tetap dilaksanakan dan mengundang dukun beranak.
Untuk kegiatan tidak
berpatokan berapa hari dari pasca kelahiran, jika si keluarga sudah memiliki
biaya atau mampu, naik tojang pun
dilaksanakan. Asalkan jangan sampai
terlalu besar si bayi, seperti sudah berusia 1 tahun, kasian, minimal 3 bulan.
#Buang-buang
Buang-buang, tradisi
ini dilaksanakan pada saat pernikahan, bayi baru lahir dan kegiatan lainnya.
Tujuannya ialah sama, menolak balak. Menggunakan sirih dan pinang. Posisi buangnya
di air, di dekat tangga dan parit.
Dari rangkaian
tradisi-tradisi orang Bugis, warga sekitar kompak dan tidak ada yang komplen,
mereka bekerja sama atau saling membantu dalam proses kegiatan. Tradisi-tradisi
di atas bersumber dari nenek moyang, yang diajarkan kepada mereka sebagai
penerus.
Adat yang yang turun
temurun dan menjadi kepercayaan, apabila ditolak akan ada tanda-tanda yang tidak diinginkan. Secara umum memang
terlihat, seperti yang telah dituturkan oleh Nek Siti Maryani, sebagai pelaku
langsung dalam tradisi suku Bugis. Semua ada konsekuenya jika dilanggar.
Seperti masalah kesehatan hingga masalah psikologi.
“Walaupun sudah
menikah dengan beda suku, namun tradisi dari suku Bugis memang kental dan tidak
bisa ditinggalkan” tutur Nek Siti Maryani menutup wawancara.
Dengan tulisan
ini, tradisi lokal dan pengetahuan bangsa
terdokumentasikan, menjadi arsip penting, yang bisa dibuka dan dibaca kembali oleh
generasi penerus. Semoga tulisan sederhana namun penuh ketulusan ini
bermanfaat.*
Penulis: Sukardi (Adi TB)
Kamis, 08 Oktober 2015
0 Komentar