sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Indigo (Cerpen)



Apa kau pernah merasakan kehadiran orang lain di sebuah ruangan, padahal kau sedang sendiri? Apa kau pernah merasa sedang diamati oleh sepasang mata dari lubang lemari atau dari sebuah fentilasi di kamar mandi? Semua itu, sudah kian lama aku rasakan. 

Lima tahun lalu, dua hari setelah kematian ayahku, aku melihatnya saat pertama kali membuka mata di tengah malam. Ia duduk di pinggir kasur, membelakangiku. Aku kenal benar punggungnya dan kemeja hijau yang sering ia kenakan. 

"Ayah…" kataku lirih. Lalu kepalanya mendongak, menyadari bahwa aku sudah melihatnya. Kemudian ia membalikkan badan, memandangku. Aku menelan ludah, wajahnya rata, tapi aku tau itu ayah. Lalu ia menggenggam tanganku dan memberikan sesuatu ke telapak tanganku, kelopak mata yang masih segar. 

Seperti baru saja dicongkel dari wajahnya. Mata itu masih basah, masih bergerak. Mata itu menatapku, tanganku bergetar, jantungku memburu, kemudian, gelap. Keesokan harinya aku terbangun di kamar mandi, menggenggam sebuah sabun mandi. 

Sejak itu, semakin lama, hal itu semakin jelas. Tak tau apa yang harus kulakukan. Terakhir kali aku meronta, melihat seorang anak bergelantungan di langit-langit kamarku, dengan wajah terbalik dan lidah yang menjulur panjang. 

"Kalau kau masih bertingkah aneh. Kau akan menetap di gudang itu selamanya!" ancam Bibiku. Hingga saat itu aku memutuskan untuk diam. Menikmati semua anugerah atau kesialan yang menimpaku. 

Sampai suatu hari, aku memutuskan untuk pergi ke Kampung Erak, kampung dengan kekayaan alam yang bersembunyi di balik rindangnya pohon, jernihnya sungai dan gagahnya gunung Erak. Dengan kemanjaan alam ini, membuatku bisa melupakan "teman" yang sering datang tanpa kuminta. Di Kampung Erak, aku tinggal di sebuah rumah panggung dengan tinggi sekitar dua meter dari permukaan tanah. Lantainya terbuat dari kayu dengan sirkulasi lubang angin sebesar ibu jari.

Malam kedua di Kampung Erak. Tetes hujan melompat-lompat di atas rumah panggung. Mataku menelusur dengan liar. Menatap pepohonan yang berayun-ayun disapa angin. Tiba-tiba seekor kunang-kunang mengedipkan cahaya di hadapanku. Entah berapa lama aku tak pernah sedamai ini. Menikmati keindahan malam tanpa sosok aneh yang mengganggu. Kunang-kunang ini terus menari, aku terhanyut. Ia menuntunku berdiri, berjalan, jauh … jauh … menembus tetes hujan dan membelah kehitaman malam. Hey… tunggu. Tunggu aku. Kakiku terus melangkah mengejar kunang-kunang itu, tanganku meraih-raih mencoba menggapainya. 

“Dapat kau!” kataku menggenggam dengan lembut dan membukanya perlahan. Kosong. Tanganku kosong, tak ada apapun di sini. Aku tersadar, di mana ini? Tak ada rumah panggung, tak ada pohon, tak ada apapun. Seperti berada di sebuah ruang, hitam, gelap. Kakiku berjalan, menelusur, menyibak asap yang kian lama membuatku sesak. Dadaku terasa semakin sempit. Aku terduduk, asap ini semakin tebal, semakin banyak. Sebuah cahaya tampak di sebelah kananku. Aku berlari menuju cahaya itu. Cahaya yang berasal dari lentera sebuah pondok reot. Semuanya terbuat dari daun. Sayup-sayup terdengar suara bergumam. Aku berjalan perlahan, mengintip sebuah lubang di pintu. Seorang lelaki besar duduk menyila. Membelakangiku. Aku melihat lebih dekat. Astaga! Di hadapannya tergeletak mayat wanita dengan mata membelalak, mulut ternganga dan darah yang membeku. 

Lelaki itu kemudian memegang wajah gadis itu, mencengkramnya dan mematahkannya dengan kuat "krek". Aku menelan ludah. Lelaki itu lalu menarik kepala wanita itu hingga terputus dari badannya. Terlihatlah tulang-tulang tenggorokannya yang terburai di permukaan lantai. Dengan sigap, ia memakannya. Menyantapnya seperti orang kelaparan. Pemandangan ini membuatku mual. 

Tiba-tiba terdengar suara dari balik pepohonan dengan reflek aku menoleh, dan kembali ke lubang pintu tadi. Hah, orang itu, lelaki tadi tidak ada. Hanya mayat wanita dengan perut dan leher yang berhambur di lantai. Seketika darahku berdesir. Kakiku bergetar, keringat dingin munyeruak di wajahku. Kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi mulai menghujam kepalaku. Suara napas kencang menghunus punggungku. Seketika badanku lunglai, lelaki berbadan besar tadi, berdiri persis di belakangku. Tak perlu kupastikan lagi dengan membalikkan badan, secepat kilat aku berlari, menerobos pintu pondok itu melangkahi mayat wanita tadi dan terus berlari menerobos celah-celah dinding dedaunan. 

"Hah bodoh! Kenapa aku malah masuk ke rumahnya", kakiku terus mengayun. Menabrak apa saja yang menghalangi. Lelaki itu mengamuk, menghentakkan kakinya ke lantai dan berteriak geram. 

Aku berhasil keluar, menerjang semak dan terus berlari. Makin lama, langkahku makin berat, tanah-tanah ini semakin berlumpur. Menyedot kakiku untuk masuk. Lelaki itu masih mengejar. Tak tau harus ke mana lagi, akupun membenamkan badanku di dalam semak berlumpur ini. Menyisakan wajahku untuk bernapas. 

Lelaki itu berlari dan berhenti, ia membawa sebilah kapak besar. Perlahan ia melangkah mundur, matanya masih memburu sekeliling. Ah, pasti ia sudah tau tempat berlumpur ini. Perlahan, ia menghilang dimakan malam. Tinggallah aku terjebak di dalam semak lumpur. 

Tiba-tiba sesuatu menjalari tanganku, melingkar, menyusur hingga ke lengan kiriku. Lalu datang lagi sesuatu menjalar di kaki kiriku. Dan semakin banyak, semakin erat ia melilit. Aku meronta. Mencoba melepaskan diri. Sesuatu telah merayapiku. Ia merayap, dari perutku, dadaku dan sekarang tepat di atas wajahku. Sosok wanita, wajahnya tertutup rambutnya yang basah. Matanya membelalak besar, lidahnya keluar, melilit leherku seperti akar yang melilit di batang pohon, panjang sekali. Aku tercekik, tak mampu bergerak. 

"Ja… jangan", Suaraku lirih. Memohon iba dari sebuah mahluk aneh ini. Wanita itu tertawa, tawanya seakan masuk ke dalam kepalaku terdengar sangat jauh tapi bersarang di tengah kepalaku. Suara wanita yang tertawa puas. Mulutnya menganga lebar seperti terpisah dari rahangnya, lidahnya terus mencekik, membuat mulutku ternganga, sengap. Seketika itu keluar darah dan nanah yang hitam dari mulutnya, dan masuk ke mulutku. Aku semakin sesak, nanah itu melaju masuk, membuatku memaksa menelan semuanya. Ah… aku lemas. Tak sanggup lagi. Mataku perlahan menutup dan wajah itu, wanita itu tetap pada tawa jahatnya. 

Gelap. Ragu-ragu aku membuka mata. Semuanya hilang, tidak ada lagi mahluk aneh itu. Tidak ada lagi rintik hujan tak ada, semuanya menghilang. Aku meraba leher dan seluruh badanku.

"Jangan banyak gerak dulu", suara Nek Siah mengalun lembut. Ia duduk di sampingku. Mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk. "Jangan tanya apa yang terjadi. Justru nenek yang mau tanya. Gimana kamu bisa sampai hanyut di sungai Erak. Untung ada Om Jai. Dia yang menemukan kamu nyangkut di akar pohon bakau. Lihat, badan kamu merah-merah entah berapa lama kamu nyangkut di situ…" jangan tanya aku Nek. Akupun tak tau. 

Mataku menyapu seluruh ruang ini. Di jendela, kunang-kunang itu menari. Menatapku dan tertawa.


Penulis: Nur Ummi Mufidah 
              Instagram : @ummymf
Editor: Sukardi (Adi TB) 
              Instagram : @sukarditb

Posting Komentar

0 Komentar