Gunung menjulang
menggapai mendung, terkadang bergurau dan terkadang berkelahi dengan guntur,
mengguyur gunung dengan hujannya, di atas gunung itu ada sebuah batu. Batu yang
menunggu rindu, duduk sendiri, tidak ada yang menemani. Penantiannya akan
terwujud, membawa senyum.
“Mau kemana Kek?”
“Kita ke gunung
itu Nak”
“Ada apa Kek di
balik gunung itu?”
“Pergilah kamu,
akan menemui, apa yang kamu tanyakan”
“Baiklah Kek,
aku akan mematuhi titahmu”
“Ingatlah,
didalam perjanan, kamu akan bertemu dengan wanita, jangan kau terima cintanya,
itu sebuah racun dan penghalang untukmu menuju gunung itu”
“Siapa wanita
itu Kek?”
Suasana hening,
sang Kakek menghembuskan napas terakhirnya. Racun yang bersumber dari tongkat
Nek Ijuk, menusuk hatinya, ketika aku berusia 2 tahun. Aku dirawat Kakek, dan
aku tidak tahu siapa dan dimana posisi kedua orang tuaku. Aku mendapatkan semua ilmu dari Kakekku. Dan
aku memiliki tanda dibagian bahu kanan ku, Kakek menyebut ini, Tampel. Namaku
Raden Tampel.
****
Mega tersenyum
di ufuk barat, burung hantu memanggil teman-temannya. Unggas-unggas kembali ke
kandang. Sayup-sayup angin menerpa dedaunan, hingga mereka terjatuh mencium
tanah yang tandus. Sudah lama tidak mendapatkan siraman.
Aku memikul bungkusan
berupa sarung. Pakaian dan bekal secukupnya sudah aku masukkan. Malam ini, aku
akan memulai perjalananku menuju gunung itu. Sesuai yang diajarkan Kakek.
Perjalanan harus dimulai pada malam hari.
Jalanan tampak
sepi. Aku masuk ke dalam hutan. Awalnya, tidak ada angin. Setelah aku masuk
beberapa langkah, ada sedikit angin dingin lewat di telingaku. Aku tetap fokus
menghadap ke jalanku. Aku sedikit melihat cahaya di sana.
“Hei Kisanak,
mau kemana malam-malam gini?”
“Mau ke gunung”
jawabku singkat.
“Ow.. mau ke
gunung yang ada di atas kepalaku ini kah? Haha, cari mati aja kamu anak muda”
“Maaf, aku harus
cepat Tuan” aku segera bergerak, ingin melewati orang tidak penting ini.
“Tidak sopan
kamu!” orang tadi menghadangkan sebuah pedang dihadapanku.
“Apa maunya Tuan?”
“Haha…
tinggalkan barang bawaanmu, setelah itu barulah kamu pergi”
Aku diam saja.
Aroma kemenyan semakin kuat mendatangi hidungku. Ternyata orang tersebut tidak
sendirian, dia datang bersama empat temannya. Mereka gerombolan perampok di
hutan ini. Ternyata mereka ini yang diceritakan oleh warga di kampungku.
Satu orang
datang menusukkan pedangnya. Aku mengelak dengan cepat. Sebenarnya mereka bukan
menginginkan barang bawaanku, tapi mereka menginginkan nyawaku. Mereka pernah
dibuat kocar-kacir oleh mendiang Kakekku. Saat ini mereka juga ingin merasakan
hal yang sama.
Aku segera
mengeluarkan jurus Genta Bumi, 3 orang perampok mengeluarkan darah dari
telinganya. Kekuatan dari jurus ini adalah mampu membuat otak bergetar dan
menimbulkan suara bising dari telinga.
Sekarang tinggal
2 perampok lagi. Satu orang membawa panah. Dan melepaskan panahnya ke arahku.
Dengan bacaan mantra pembalik senjata, busur panah tersebut kembali kepada perampok
dan menusuk dahinya, darah mengalir deras, inilah yang disebut senjata makan
tuan.
Aku menghela
napas sejenak. Mengumpulkan tenaga, dan menatap ke arah perampok yang sisa satu
orang. Yang satu ini kepala perampok. Dia memiliki kekuatan kanuragan yang
mumpuni. Satu jurus melesat dari tangannya dan mengenai pundakku. Tamparan
angin neraka, itu nama jurusnya.
Aku memejamkan
mata sejenak, berkonsentrasi dan mencari arah gerakannya. Aku mengenal delapan
arah mata angin. Dan aku memiliki ajian pusaran angin menebang padang, setelah
ku temukan titik kelemahannya, di bagian lutut kanan, segera ku tepis tendangan
anginnya dan kupukul dengan kepalan topan maut, dalam sekejap, perampok
terakhir pun terkapar di tanah, kelima
perampok mati mengenaskan, aku pun melanjutkan perjalanan.
****
Mentari pagi
telah terbit, kicauan burung membangunkan dedaunan, sesekali air embun menetes
memeluk tanah. Semakin sedap aroma sekitar, bunga-bunga kopi bermekaran,
daun-daun kering tampak basah, dan mengkilat terkena bias mentari dari ufuk
timur.
Gerakan tubuhku
sudah separuh jalan, tidak lama lagi aku akan sampai di puncak gunung. Lelah
berjalan semalaman, membuatku ingin duduk di antara akar-akar pohon yang besar
dan berdiri tegap ini.
“Emm.. ngantuk
juga” aku berbaring dan berbantalkan sarung.
Angin
sepoi-sepoi sahabat pagi, menerpa wajahku yang kedinginan, sekejap, aku pun
terlelap. Dalam lelapku, aku bertemu Kakek.
“Raden, ada tiga kelemahan bunga itu, ujung rambut,
kuku jari tengah tangan sebelah kiri, dan lutut kiri”
Duuar…. !
Aku terbangun,
melihat sekeliling, tidak terjadi apa-apa. Hanya ada sebuah onggokan ranting
besar, seperti yang berbunyi tadi. Suara itu tidak membuat aku lupa dengan
pesan Kakek dalam mimpi tadi, sungguh terlihat nyata dan terdengar jelas. Aku
jadi rindu dengan Kakek. Aku pun mengirimkan doa kepadanya, ku yakin dia juga
rindu kepadaku.
Bangkit aku dari
tidurku. Terlihat seorang wanita sangat cantik menghampiriku. Mungkin Dia
bidadari, tapi aku tidak pernah melihat bidadari. Ah, aku tidak tahu.
“Hai Pria ganteng,
ngapain sendirian saja?”
“Aku dalam
perjalanan menuju sebuah tempat”
“Emm… mau aku
temani? Biar enak ada teman ngobrol”
“Kalau tidak
keberatan, boleh lah”
Wanita itu
semakin mendekatiku, dan mengulurkan tangannya.
“Aku Ema Kusuma”
“Raden Tampel”
“Haha, nama yang
aneh, tapi lucu”
“Tidak aneh dan
tidak lucu, namaku ada maknanya, namaku bukan suatu lawakan”
“Haha, jangan
marah Raden ganteng”
Aku tidak
berbasa-basi lagi. Mentari semakin meninggi. Perjalanan pun ku lanjutkan, dan
wanita tadi mengikutiku. Dia tampak gelisah. Aku pura-pura tidak tahu, dan tetap
fokus kedepan. Tiba-tiba ia terjatuh.
“Nyai, kamu
kenapa?”
“Raden, aku
capek, istirahat dulu ya”
“Baiklah” aku
datang menghampirinya dan melihat kondisinya, ia tidak apa-apa.
Tidak berselang
lama. Gerakannya mulai aneh.
“Raden sayang,
peluk aku”
“Apa-apaan kamu”
“Raden jangan
munafik la, suka kan” ia merayu sambil membuka pakaiannya.
Melihat
tingkahnya aku segera menghindar dan menjauhkan diri, aku mulai sadar, dia ini
setan wanita jahat, pengganggu di hutan ini. Dia dengan sigap meraih pundakku,
dan ku tepiskan menggunakan tangan kanan.
“Brensek kamu”
wanita itu berubah wujud menjadi separuh manusia dan separuh siluman. Dari
perut ke kepala berupa manusia, namun wajahnya tidak secantik tadi, sedangkan
ke bawahnya, tubuh siluman.
Gerakannya
sangat cepat, pukulan demi pukulan dilepaskan kepadaku, aku mengelak dan
memberikan perlawanan dengan mengimbangi pergerakannya. Satu pukulannya
mengenai pundakku, aku merasa sedikit sempoyongan ketika menyetuh tanah.
Aku buka sarung
perbekalanku, dan mengambil keris, kata Kakek, keris ini milik mendiang ayahku.
Keris Kusuma. Aku maju, dan mengingat titik kelemahan wanita tersebut.
Surrrfh…. !
rambut nya terpotong, ia meraung kesakitan, suaranya mirip srigala. Kemudian
aku memotong kuku di jari tengah tangan kirinya, keluar asap dan aroma tak
sedap dari tubuhnya. Aku segera mengambil kain dan menutup hidungku. Dia sudah
sedikit melemah, dan pergerakannya mulai berubah, sekarang dia mengeluarkan api
dari dalam mulutnya, aku mengelak sesigap mungkin.
Dan ini yang
terakhir, aku mengumpulkan semua kekuatanku, tenaga dalam dan ajian kanuragan
pemusnah pusaran puting beliung aku sempurnakan. Dalam keadaan konsentrasi
penuh, aku menyerang siluman jahat itu, menuju lutut kiri dan ku tusuk
menggunakan keris kusuma. Dalam sekejap siluman itu terbakar dan musnah.
Perjalananku pun
telah sampai di puncak gunung. Air mataku menetes dan jantungku berdebarkan
kencang. Aku benar-benar menemukan batu yang Kakek katakan itu, ada dua batu.
Bertuliskan Pangeran Kopi dan Nyai Bunga. Merekalah mendiang kedua orang tuaku.
Ku peluk batu itu. Ku sampaikan rinduku.
#Selesai
Penulis: Sukardi (Adi TB)
Selasa, 28 Juli 2015
0 Komentar