sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

RADEN TAMPEL



Gunung menjulang menggapai mendung, terkadang bergurau dan terkadang berkelahi dengan guntur, mengguyur gunung dengan hujannya, di atas gunung itu ada sebuah batu. Batu yang menunggu rindu, duduk sendiri, tidak ada yang menemani. Penantiannya akan terwujud, membawa senyum.
“Mau kemana Kek?”
“Kita ke gunung itu Nak”
“Ada apa Kek di balik gunung itu?”
“Pergilah kamu, akan menemui, apa yang kamu tanyakan”
“Baiklah Kek, aku akan mematuhi titahmu”
“Ingatlah, didalam perjanan, kamu akan bertemu dengan wanita, jangan kau terima cintanya, itu sebuah racun dan penghalang untukmu menuju gunung itu”
“Siapa wanita itu Kek?”
Suasana hening, sang Kakek menghembuskan napas terakhirnya. Racun yang bersumber dari tongkat Nek Ijuk, menusuk hatinya, ketika aku berusia 2 tahun. Aku dirawat Kakek, dan aku tidak tahu siapa dan dimana posisi kedua orang tuaku.  Aku mendapatkan semua ilmu dari Kakekku. Dan aku memiliki tanda dibagian bahu kanan ku, Kakek menyebut ini, Tampel. Namaku Raden Tampel.
****
Mega tersenyum di ufuk barat, burung hantu memanggil teman-temannya. Unggas-unggas kembali ke kandang. Sayup-sayup angin menerpa dedaunan, hingga mereka terjatuh mencium tanah yang tandus. Sudah lama tidak mendapatkan siraman.
Aku memikul bungkusan berupa sarung. Pakaian dan bekal secukupnya sudah aku masukkan. Malam ini, aku akan memulai perjalananku menuju gunung itu. Sesuai yang diajarkan Kakek. Perjalanan harus dimulai pada malam hari.
Jalanan tampak sepi. Aku masuk ke dalam hutan. Awalnya, tidak ada angin. Setelah aku masuk beberapa langkah, ada sedikit angin dingin lewat di telingaku. Aku tetap fokus menghadap ke jalanku. Aku sedikit melihat cahaya di sana.
“Hei Kisanak, mau kemana malam-malam gini?”
“Mau ke gunung” jawabku singkat.
“Ow.. mau ke gunung yang ada di atas kepalaku ini kah? Haha, cari mati aja kamu anak muda”
“Maaf, aku harus cepat Tuan” aku segera bergerak, ingin melewati orang tidak penting ini.
“Tidak sopan kamu!” orang tadi menghadangkan sebuah pedang dihadapanku.
“Apa maunya Tuan?”
“Haha… tinggalkan barang bawaanmu, setelah itu barulah kamu pergi”
Aku diam saja. Aroma kemenyan semakin kuat mendatangi hidungku. Ternyata orang tersebut tidak sendirian, dia datang bersama empat temannya. Mereka gerombolan perampok di hutan ini. Ternyata mereka ini yang diceritakan oleh warga di kampungku.
Satu orang datang menusukkan pedangnya. Aku mengelak dengan cepat. Sebenarnya mereka bukan menginginkan barang bawaanku, tapi mereka menginginkan nyawaku. Mereka pernah dibuat kocar-kacir oleh mendiang Kakekku. Saat ini mereka juga ingin merasakan hal yang sama.
Aku segera mengeluarkan jurus Genta Bumi, 3 orang perampok mengeluarkan darah dari telinganya. Kekuatan dari jurus ini adalah mampu membuat otak bergetar dan menimbulkan suara bising dari telinga.
Sekarang tinggal 2 perampok lagi. Satu orang membawa panah. Dan melepaskan panahnya ke arahku. Dengan bacaan mantra pembalik senjata, busur panah tersebut kembali kepada perampok dan menusuk dahinya, darah mengalir deras, inilah yang disebut senjata makan tuan.
Aku menghela napas sejenak. Mengumpulkan tenaga, dan menatap ke arah perampok yang sisa satu orang. Yang satu ini kepala perampok. Dia memiliki kekuatan kanuragan yang mumpuni. Satu jurus melesat dari tangannya dan mengenai pundakku. Tamparan angin neraka, itu nama jurusnya.
Aku memejamkan mata sejenak, berkonsentrasi dan mencari arah gerakannya. Aku mengenal delapan arah mata angin. Dan aku memiliki ajian pusaran angin menebang padang, setelah ku temukan titik kelemahannya, di bagian lutut kanan, segera ku tepis tendangan anginnya dan kupukul dengan kepalan topan maut, dalam sekejap, perampok terakhir pun terkapar di  tanah, kelima perampok mati mengenaskan, aku pun melanjutkan perjalanan.
****
Mentari pagi telah terbit, kicauan burung membangunkan dedaunan, sesekali air embun menetes memeluk tanah. Semakin sedap aroma sekitar, bunga-bunga kopi bermekaran, daun-daun kering tampak basah, dan mengkilat terkena bias mentari dari ufuk timur.
Gerakan tubuhku sudah separuh jalan, tidak lama lagi aku akan sampai di puncak gunung. Lelah berjalan semalaman, membuatku ingin duduk di antara akar-akar pohon yang besar dan berdiri tegap ini.
“Emm.. ngantuk juga” aku berbaring dan berbantalkan sarung.
Angin sepoi-sepoi sahabat pagi, menerpa wajahku yang kedinginan, sekejap, aku pun terlelap. Dalam lelapku, aku bertemu Kakek.
“Raden, ada tiga kelemahan bunga itu, ujung rambut, kuku jari tengah tangan sebelah kiri, dan lutut kiri”
Duuar…. !
Aku terbangun, melihat sekeliling, tidak terjadi apa-apa. Hanya ada sebuah onggokan ranting besar, seperti yang berbunyi tadi. Suara itu tidak membuat aku lupa dengan pesan Kakek dalam mimpi tadi, sungguh terlihat nyata dan terdengar jelas. Aku jadi rindu dengan Kakek. Aku pun mengirimkan doa kepadanya, ku yakin dia juga rindu kepadaku.
Bangkit aku dari tidurku. Terlihat seorang wanita sangat cantik menghampiriku. Mungkin Dia bidadari, tapi aku tidak pernah melihat bidadari. Ah, aku tidak tahu.
“Hai Pria ganteng, ngapain sendirian saja?”
“Aku dalam perjalanan menuju sebuah tempat”
“Emm… mau aku temani? Biar enak ada teman ngobrol”
“Kalau tidak keberatan, boleh lah”
Wanita itu semakin mendekatiku, dan mengulurkan tangannya.
“Aku Ema Kusuma”
“Raden Tampel”
“Haha, nama yang aneh, tapi lucu”
“Tidak aneh dan tidak lucu, namaku ada maknanya, namaku bukan suatu lawakan”
“Haha, jangan marah Raden ganteng”
Aku tidak berbasa-basi lagi. Mentari semakin meninggi. Perjalanan pun ku lanjutkan, dan wanita tadi mengikutiku. Dia tampak gelisah. Aku pura-pura tidak tahu, dan tetap fokus kedepan. Tiba-tiba ia terjatuh.
“Nyai, kamu kenapa?”
“Raden, aku capek, istirahat dulu ya”
“Baiklah” aku datang menghampirinya dan melihat kondisinya, ia tidak apa-apa.
Tidak berselang lama. Gerakannya mulai aneh.
“Raden sayang, peluk aku”
“Apa-apaan kamu”
“Raden jangan munafik la, suka kan” ia merayu sambil membuka pakaiannya.
Melihat tingkahnya aku segera menghindar dan menjauhkan diri, aku mulai sadar, dia ini setan wanita jahat, pengganggu di hutan ini. Dia dengan sigap meraih pundakku, dan ku tepiskan menggunakan tangan kanan.
“Brensek kamu” wanita itu berubah wujud menjadi separuh manusia dan separuh siluman. Dari perut ke kepala berupa manusia, namun wajahnya tidak secantik tadi, sedangkan ke bawahnya, tubuh siluman.
Gerakannya sangat cepat, pukulan demi pukulan dilepaskan kepadaku, aku mengelak dan memberikan perlawanan dengan mengimbangi pergerakannya. Satu pukulannya mengenai pundakku, aku merasa sedikit sempoyongan ketika menyetuh tanah.
Aku buka sarung perbekalanku, dan mengambil keris, kata Kakek, keris ini milik mendiang ayahku. Keris Kusuma. Aku maju, dan mengingat titik kelemahan wanita tersebut.
Surrrfh…. ! rambut nya terpotong, ia meraung kesakitan, suaranya mirip srigala. Kemudian aku memotong kuku di jari tengah tangan kirinya, keluar asap dan aroma tak sedap dari tubuhnya. Aku segera mengambil kain dan menutup hidungku. Dia sudah sedikit melemah, dan pergerakannya mulai berubah, sekarang dia mengeluarkan api dari dalam mulutnya, aku mengelak sesigap mungkin.
Dan ini yang terakhir, aku mengumpulkan semua kekuatanku, tenaga dalam dan ajian kanuragan pemusnah pusaran puting beliung aku sempurnakan. Dalam keadaan konsentrasi penuh, aku menyerang siluman jahat itu, menuju lutut kiri dan ku tusuk menggunakan keris kusuma. Dalam sekejap siluman itu terbakar dan musnah.
Perjalananku pun telah sampai di puncak gunung. Air mataku menetes dan jantungku berdebarkan kencang. Aku benar-benar menemukan batu yang Kakek katakan itu, ada dua batu. Bertuliskan Pangeran Kopi dan Nyai Bunga. Merekalah mendiang kedua orang tuaku. Ku peluk batu itu. Ku sampaikan rinduku.

#Selesai


Penulis: Sukardi (Adi TB)
Selasa, 28 Juli 2015

Posting Komentar

0 Komentar