Suara ketukan demi ketukan menghiasi kehidupan. Setiap langkah menjadi ketukan. Semua yang kudengar, menjadi irama. Membuka pintu, terdengar irama. Ketika menuangkan air, mengayuh sepeda, sendok menyentuh piring, ada iramanya. Saat irama-irama itu disatukan, maka menjadi harmoni yang indah.
Aku baru saja terjaga dari tidurku, jam dinding menunjukkan pukul 02.43 wib. Aku berada di suatu tempat, posisinya berdekatan sungai terpanjang di Indonesia, yakni Sungai Kapuas. Katanya, bila meminum air sungai ini, walau pun kita pergi jauh, susah untuk melupakannya. Dewasa ini, jangan meminum airnya, aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Namaku Fida, lahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai pedagang tempe dan seorang ibu penjual jamu gendong. Di dalam kehidupan, aku diajarkan semangat oleh kedua orang tuaku. Semangat terkuat ialah semangat yang hadir dari dalam diri kita sendiri. Itulah yang orang tuaku tanamkan dalam berusaha. Sertakan niat dan doa yang baik dalam setiap usaha. Ketika berhasil, janganlah kita sombong, karena kesombongan akan meruntuhkan nilai dan hasil yang kita dapat. Betapa menyedihkan apabila kesuksesan yang kita usahakan sejak lama, tiba-tiba hancur karena sombong, semoga tidak terjadi pada diri kita.
Sejak kecil, aku suka dengan musik. Musik itu, menurutku ialah sebuah emosi yang diwujudkan dalam bentuk bunyi. Dengan musik, kita bisa mendapatkan ketenangan, ada cinta di dalam musik. Cinta, yang kuketahui ialah suatu yang fitrah dalam kehidupan, dan tidak akan terlepaskan. Seperti cinta orang tua kepada anaknya. Musik, ibarat garam kehidupan, jika tidak pakai garam, maka tidak sedap. Aku jadi lapar ketika berbicara garam, jadi ingat dengan masakan ibu.
Aku bermimpi menjadi pemain musik professional. Aku ngefens sama Bondan Prakoso, ketika melihat Bondan dan mendengarkan lagu-lagunya, semangatku dalam bermusik meningkat. Namun, hal tersebut hanya penambah semangatku. Aku tetap menjadi diriku sendiri, Fida.
Hemm… 2 minggu lagi, aku akan mengikuti festival drumband, yang diadakan oleh menteri kebudayaan. Kompetisi yang sangat aku tunggu. Persiapan yang matang, tidak terelakkan, menang kalah itu pilihan, berani tampil dan berusaha yang kuutamakan.
******
Cahaya pagi ini terbit lebih hangat, 2 Agustus 1995. Di bumi Khatulistiwa, aku menatap mentari yang baru terbit. Ia tersenyum dan menyampaikan berita indah kepadaku. Semangat pagi Fida, itulah yang mentari ucapkan kepadaku. Aku sedang duduk manis di kursi bambu. Kursi ini dibuat oleh Ayah, ketika aku kelas 3 SD. Di kursi inilah, Ayah dan Ibu menemaniku mengerjakan tugas-tugas sekolah, dan mereka memelukku, ketika aku tersenyum manja. Kursi ini sudah 3 kali direnovasi, karena posisinya yang pas dan nyaman, di bawah pohon rindang.
Di kursi bambu ini, aku mencoba mengingat kembali, kenangan pertama kali mengikuti ekstra kulikuler di SMA, yakni drumband. Angin lembut menerpa ragaku, damai dan nyaman kurasakan, perlahan-lahan kenangan indahku pun datang, penaku pun mulai bergoyang.
Grub drumbandku bernama Gema Khatulistiwa. Dari namanya saja, sudah mampu membangkitkan semangatku untuk kenal lebih dekat dengan musik.
“Kamu itu tidak akan pernah bisa main musik” Dion mengolok. Dia seniorku.
“Aku suka musik, dan aku percaya buah dari sebuah usaha” jawabku dengan santai. Ejekan si Dion tidak dimasukkan kehati. Akan ku jadikan ucapan ia tadi sebagai motivasi.
“Kamukan suka minder kalau di muka umum”
“Musik akan menemaniku berlatih untuk percaya diri” jawabku dengan senyum.
Itulah percakapanku bersama Dion, di jam istirahat. Saat itu, aku sedang membaca pengumuman di Mading, tentang penerimaan anggota baru drumband sekolah.
Sore ini, kali pertama saya latihan drumband. Aku memainkan terompet. Sungguh masih terasa asing untuk memainkan terompet. Masih banyak alat yang lain, yakni Senar, tenor, bass drum, tam-tam, simbal dan belira. Namun hatiku lebih naksir dan memilih terompet. Aku yakin bisa.
Pertemuan pertama ini, kami baru mendapat perkenalan alat, serta cara memegangnya. Kami sangat antusias. Ejekan Dion ketika di Mading sekolah, tidak membekas sedikitpun. Hatiku berkata, musik adalah cinta.
Hari-hari berikutnya, aku berangkat ke sekolah untuk melakukan latihan drumband yang memang rutin dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu. Sekitar 10 menit, aku sudah sampai di sekolah tercinta. Dari jauh sudah terdengar suara tabuh dari alat-alat Drumband, suara dari teman-temanku yang sudah hadir lebih dulu. Aku memarkirkan sepedaku, kemudian berjalan ke arah mereka. Setelah sampai, aku mengeluarkan benda pusakaku, terompet, dari dalam tas coklatku.
Sebelum latihan, aku melakukan pemanasan dengan mengatur napas secara perlahan. Latihan pun dimulai. Aku melihat teman-teman tampak bersemangat. Terkadang, beberapa candaan keluar dari mulut mereka, dan saya tersenyum.
“Haaah..” begitu suaraku saat memaksakan napasku yang belum sampai menyamakan nada terompet seniorku. Sesekali dadaku berdebar, dan kepalaku terasa pusing dan mengambang, para pemain terompet yang lain pun merasakan hal yang sama.
“Ya, memang begitu rasanya. Bearti cara meniup terompet Anda sudah benar, kata seniorku. Hari-hari latihan drumband berlalu dengan penuh semangat. Aku semakin mahir memainkan terompet, itulah cinta, musik itu cinta. Memainkan nada dengan hati.
Aku tersenyum dan mengalihkan cahaya mentari pagi. Aku sudah 2 jam duduk di kursi bambu ini, dan menulis kenangan pertama kali latihan drumbandku, seru.
*****
18 Agustus 1995, hari ini ialah pertarungan dimulai. Terompet sudah aku persiapkan dengan rapi, jiwa dan ragaku sudah siap bertarung. Teman-teman sudah berkumpul di markas. Latihan 3 bulan, untuk kompetisi festival drumband ini tidak menjadi kendala. Hujan dan panas sudah menjadi kawan. Tugas-tugas sekolah pun saya kerjakan. Kegiatan dengan keluarga dan teman terjalin dengan baik. Musik dan cinta berjalan dengan seimbang. Sungguh indah.
“Kapan lagi aku membuktikannya, kalau bukan sekarang”, ini kalimat yang keluar dari hatiku, ketika melihat penampilan peserta terakhir sebelum kami. Napas berlari kencang. Kupegang erat-erat terompet yang aku pegang.
Aku mengambil formasi. lagu pertama, membawakan lagu mars PGRI, lagu kedua Sungai Kapuas, dan yang terakhir lagu Lancang Kuning. Formasi awal kami membentuk angka delapan. Aku berada di posisi paling ujung, sebelah kiri Gitapati.
Pandangan serius dan fokus pada barisan, aku dan kawan-kawan personil terompet mulai meniup, dan memainkan irama yang sudah ditentukan.
Awalnya aku merasa grogi. Namun, setelah meniup dan mendengarkan pukulan ketukan kawan2, aku jadi lebih rileks dan lebih percaya diri. Mayoret dengan gagah melemparkan tongkatnya ke angkasa, tinggi menjulang, mendarat dengan indah. Aku tersenyum dan tambah semangat.
Kami dengan teliti melihat intruksi nada. Sempat ada kesalahan sedikit, belira temanku menyenggol teman di depannya, konsentrasi agak buyar. Mayoret memperbaiki barisan, pelan-pelan kondisi penampilan kami kembali normal. Saking asyiknya, semua menjadi tidak terasa, tau-tau sudah lagu terakhir, mengalir dengan nyaman. Rasanya, waktu 12 menit itu sangat sebentar. Sebelum detik terakhir, permainan kami sudah selesai. Tepuk tangan penonton menghilangkan lelah, dan kami tetap semangat.
Detik-detik pengumuman pemenang tiba. Juara harapan sudah dibacakan, kami semakin deg-degkan. Aku melihat wajah teman-teman tegang penuh harap.
Pembawa acara membacakan pemenang utama. Hari ini, menjadi hari yang bersejarah. Grub drumband sekolahku menjadi juara utama. Dan aku telah membuktikan kepada seniorku, bahwa aku bisa bermain musik. Buka hanya ucapan, tapi tindakan.
Orang tuaku tersenyum, aku pun bahagia. Wujud nyata musik dan cinta. #Selesai
Penulis : Sukardi (Adi TB)
0 Komentar