Foto: Hermansyah, Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak/Sukardi |
Pontianak, PR– Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Barat, pada Senin (18/9) mengamankan dua orang pelaku yakni BN dan DK, yang membawa dua paket narkotika jenis Sabu seberat dua kilogram. Diketahui, kedua orang pelaku tersebut warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II A Pontianak.
Menurut pandangan Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Hermansyah, mengatakan peredaran narkoba di Lapas tidak terhindarkan dari alat komunikasi, petugas Lapas sendiri, serta kurangnya alat pendeteksi untuk para pengunjung dan kapasitas tempat yang tidak seimbang dengan penghuninya.
“Lapas itu seakan-akan menjadi tempat yang aman bagi para bandar narkoba untuk bisa mengendalikan peredaran narkoba, baik di dalam maupun di luar Lapas, ini memang tidak terhindarkan dari alat komunikasi yang ada,” katanya, Selasa (19/9).
Dirinya mengherankan, mengapa orang-orang tertentu di Lapas tersebut masih diberikan kebebasan untuk menggunakan alat komunikasi. Padahal pihak Lapas sendiri mengetahui pengendalian peredaran narkoba dari dalam lapas tersebut tidak terlepas dari alat komunikasi yang dimiliki narapidana.
“Kalau itu menjadi sebuah persoalan, seharusnya ini harus ada pembatasan-pembatasan penggunaan alat komunikasi bagi penghuni Lapas,” katanya.
Kemudian, ditemukannya narkoba di Lapas ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi keadaan dan posisi para petugasnya, yang secara langsung atau tidak langsung mungkin dan ini perlu dibuktikan bagian dari persoalan ini.
“Bisa saja dia mengambil bagian, yang seolah-olah dia berdiam, ketika dia tahu dan mendiamkan pada dasarnya itu juga bagian dari persoalan tadi. Kalau petugas merasa tidak tahu, sulit untuk kita terima dengan akal sehat tentunya, apalagi sampai sekian kilo narkoba yang masuk,” katanya.
Lapas perlu dilengkapi dengan peralatan seperti x-ray atau alat deteksi untuk mendeteksi sejak awal barang-barang yang dibawa, baik oleh pihak keluarga atau teman-teman para warga Lapas saat melakukan kunjungan.
“Saya pikir, semua itu sudah dipikirkan oleh Kalapas. Tetapi apalah artinya alat, kalau memang para petugas bisa mengabaikan alat-alat tersebut,” ucapnya.
Dirinya menuturkan pernah mengusulkan, pegawai yang bertugas untuk diroling, jangan terlalu lama di satu tempat.
“Karena memang psikologi jabatan yang terlalu lama pada satu posisi ini tidak baik juga, karena dia tahu persis kelemahan-kelemahan posisi yang dia duduki. Bahayanya, ketika dia manfaatkan kelemahan itu,” tuturnya.
Kemudian, masalah klasik selalu muncul pada Lapas yaitu over kapasitas, artinya daya tampung terhadap narapidana sudah tidak berimbang, dibandingkan lagi dengan jumlah petugas yang tidak berimbang, ini mungkin harus juga menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah.
“Walaupun memang secara normatif, ini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, melalui rencana pembangunan Kemenkum HAM, tetapi Pemda sejatinya harus peduli juga kepada persoalan ini, karena Lapas ini sebenarnya menerima saja dari Pemda, orang-orang yang melakukan kejahatan ini,” katanya.
Dijelaskannya, dalam sistem peradilan pidana itu, jika menggunakan teori residu, Lapas semacam tempat penampung sisa. Orang yang dianggap sampah masyarakat seperti mencuri, maka sisa-sisa itu Lapas yang mengelolanya.
“Dalam hal ini juga saya berpikir, penting pememerintah daerah, khususnya pemerintah provinsi memperhatikan, dengan bekerjasama atau menyediakan lahan yang lebih besar untuk membangun Lapas yang khusus sifatnya, karena tidak baik narapidana dicampur adukan, karena di Lapas ini overlapping (tumpang tindih-red),” pungkasnya.
(Sukardi)
0 Komentar