Foto : HM Basri Har, Ketua Umum MUI Kalbar/Sukardi |
Pontianak, PR – Banyaknya penyebaran ujaran kebencian dan informasi hoax atau tidak benar melalui media sosial, menjadi dasar Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial.
“Ini yang difatwakan adalah ujaran-ujaran kebencian, informasi tidak jelas dan palsu yang dimuat di media sosial, itu bisa berdampak terjadinya pertikaian dan perpecahan, inilah yang diatur oleh majelis ulama dalam fatwa itu,” kata Ketua Umum MUI Kalbar, HM. Basri Har.
Basri Har menuturkan, menggunakan media sosial untuk komunikasi tidak bermasalah.
“Yang tidak boleh itu ketika bersifat ujaran kebencian dan menyebar fitnah serta berita palsu, itu sudah final tidak boleh dilakukan,” tuturnya.
Dikatakannya, yang diatur di dalam fatwa media sosial tersebut ialah etika bagaimana menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana informasi.
“Karena banyak yang menyalahgunakan media sosial, sehingga majelis ulama merasa perlu mengeluarkan fatwa pengaturan atau pedomannya itu,” katanya.
Di dalam fatwa tersebut, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk, pertama, melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan. Kemudian yang kedua, melalui media sosial diharamkan melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
Ketiga, diharamkan menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Keempat, diharamkan menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i, dan yang kelima diharamkan menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan atau waktunya.
(Sukardi)
0 Komentar