Foto: Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Dr. Tris Haris Ramadhan/Sukardi |
Pontianak, PR– Dinas Pertanian saat ini sedang genjar-genjarnya mengsosialisasikan sistem Pertanian Berkelanjutan.
Doktor Ilmu Entomologi di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (Untan) Tris Haris Ramadhan, mengatakan penerapan konsep pertanian berkelanjutan di lapangan, diakuinya masih rendah, karena masih di tarap pemberian wawasan kepada masyarakat, ini efek dari gencarnya pestisida dan juga pupuk anorganik.
“Kedepan perlu kita tingkatkan pemahaman-pemahaman keberlanjutan pertanian itu sendiri, terutama terkait lahan yang sekarang banyak sudah rusak akibat pemanfaatan bahan-bahan kimia anorganik, atau sintetik yang sudah sangat tinggi,” katanya.
Dituturkannya, pertanian berkelanjutan harus didorong dalam rangka mencapai keserasian lahan sampai anak cucu nanti, jangan sampai generasi sekarang hanya menguras tetapi tidak mau mengembalikan.
“Misalnya hasil panen, yang namanya batang padi dan sekam dibuang percuma, dalam konsep pertanian berkelanjutan itu dimanfaatkan dan disebarkan lagi di lahan, itu bisa mengurangi pupuk nitrogen sampai 25 persen dengan pengembalian seresah-seresah tanaman padi ke lahan asalnya,” tuturnya.
Tris Aris Ramadhan yang bergerak di bidang proteksi tanaman memahami betul Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang menjadi dasar berpikir, dan mengelola sistem pertanian, kemudian berkembang menjadi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).
Kebijakan pembangunan pertanian 2015 sampai 2019 yakni mencapai kemandirian pangan berupa ketersediaan, distribusi, konsumsi dan berkelanjutan sekaligus ramah lingkungan. Target pemerintah 76,2 juta ton GKP, Kalbar 1,6 juta ton GKP.
Penerapan PTT diawali dengan pemahaman terhadap masalah dan peluang pengembangan sumber daya, dan kondisi lingkungan setempat dengan tujuan mengumpulkan informasi dan menganalisis masalah, kendala dan peluang usaha tani padi, mengembangkan peluang dalam upaya peningkatan produksi padi, mengidentifikasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani di wilayah setempat.
Dikatakannya, fungsi petani sangat penting dalam kelangsungan ketahanan pangan. Namun faktanya, peran petani seolah-olah tidak ada, orang tidak pernah terpikir kebutuhan pokok seperti padi yang diolah oleh petani dengan susah payah.
“Saya sangat setuju dengan konsep memperdayakan para petani, sehingga para petani-petani di lapangan sadar secara pengetahuan dan sadar secara fungsi,” katanya.
Dosen Pertanian Untan tersebut menerangkan, herbisida yang digunakan setiap akan menanam dengan pola PTT kurang baik. Ini yang harus disampaikan pemahaman terkait pemakaiannya.
“Rumput yang kering setelah terkena herbisida, langsung ditanami, kemudian komplain masyarakat menanyakan tanamamnya yang tidak baik, padahal itu diakibat residu herbisida. Waktu untuk melakukan penanaman setelah terkena herbisa minimal dua minggu agar residunya hilang. Tapi kenyataannya mereka mengejar waktu tanam, begitu habis semprot dan kering itu langsung ditanami,” terangnya.
Dirinya mengajak bersama-sama menjaga lingkungan dengan menggunakan teknologi yang ada itu sebaik-baiknya. Kemudian petani keliru mengatakan Walet dan Capung bisa merusak tanaman, itu salah besar.
“Hampir semua kondisi di lapangan ditemukan begitu, ternyata mereka kurang paham. Adanya capung, akibat ada serangga kecil di tanaman padi, capung sebagai predator hadir karena serangga seperti wereng,” katanya.
Untuk membasmi Walang Sangit, sambungnya teknik pengumpanan dilakukan sebelum padi bunting, namun sebagian petani memberikan umpan pada saat padi masak susu yang merupakan kesukaan Walang Sangit, jadi yang dimakan padi bukan umpannya.
(Sukardi/Faisal)
0 Komentar