Foto : Dr Ir Gusti Hardiansyah MSc, QAM, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura/Sukardi |
Pontianak,PR – Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan) Dr Ir Gusti Hardiansyah MSc, QAM memandang banjir besar yang terjadi di beberapa wilayah Kalimantan Barat merupakan indikator rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Banjir dan kekeringan adalah indikator rusaknya Daerah Aliran Sungai. Dari kerusakan ini perlu pengelolaan yang terpadu, supaya tidak terjadi banjir dan tidak terjadi kekeringan,” kata Gusti Hardiansyah, Jumat (15/9).
Akademisi Kehutanan yang biasa disapa Deden ini mengatakan, pengelolaan yang dapat dilakukan berupa revegetasi dan rehabilitasi.
“Revegetasi yakni upaya pemulihan tutupan lahan pada ekosistem gambut dan rehabilitasi ini berarti kita menanam kembali di areal-areal DAS yang rusak, bisa di kanan dan kiri sungai, dan bisa di daerah hulu. DAS seperti bentang alam, konsepnya seperti corong untuk mengalirkan air, corong itu rusak karena fungsi-fungsi tanah, topografi, iklim, vegetasi dan parameter yang menyangkut DAS memang rusak,” katanya.
Gusti Hardiansyah menuturkan, pemerintah saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda) DAS terpadu, kemudian DAS Kapuas masuk ke zona kritis nasional.
“Perda DAS ini digagas pada tahun lalu. Mudah-mudah dengan Perda DAS, bisa mengharmonikan pengelolaan rehabilitasi pelestarian DAS. Di Kalbar ada tiga DAS besar, yakni DAS Kapuas, DAS Sambas, dan DAS Pawan. Das Kapuas termasuk sepuluh diantara DAS kritis nasional yang harus direhabilitasi. Dari 14 juta hektar luas areal Kalbar, 60 persen berada di DAS Kapuas,” tuturnya.
Menurutnya, banjir yang terjadi di Kalbar, disebabkan selain kondisi DAS yang rusak, juga faktor perubahan iklim, perubahan curah hujan dan kondisi hutan di wilayah hulu yang relatif rusak.
(Sukardi)
0 Komentar