Dede
Nenianti: Mahasiswi dan pengusaha pemula yang mampu membeli sebidang tanah dari
berjualan ikan asin.
Oleh: Sukardi (Adi TB)
Dede Nenianti/Foto by: Ummy MF |
Dede Nenianti, gadis yang lahir di Sungai Kakap,
29 Januari 1995, memiliki semangat yang kuat untuk mengembangkan usaha. Percaya
diri dan sikap beraninya sebagai pengusaha ikan asin, membuat sang keponakan
memberikan gelar princess ikan asin untuknya, sederhana namun penuh makna.
Anak bungsu dari Bapak Agus dan Ibu Sugimah, berdarah
campuran Jawa Madura itu, merupakan alumni Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Wali
Songo, Jalan Ampera. Sekarang Ia sedang
menempuh semester 7, Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK),
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Berbicara tentang jiwa pengusaha, memang sudah
ditanamkan oleh kedua orangtuanya. Gadis yang akrab disapa Dede ini, memaparkan
bahwa usaha tersebut menjadi selingan dengan studi yang sedang Ia jalani.
“Saya kan sedang
menempuh studi di jurusan PAI, dengan memulai usaha ini menjadi selingan.
Dengan usaha ini, menjadi persiapan kedepan, ketika saya berprofesi sebagai
guru, karena untuk menjadi PNS itu sulit, kalau gagal menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil),
saya masih punya usaha sendiri, yang menunjang kebutuhan saya,” paparnya saat
ditemui di kampus IAIN Pontianak, Rabu 26 Januari 2017.
Sebagai pengusaha pemula atau start up, banyak usaha yang pernah Ia coba dan mengalami jatuh bangun.“Pertama saya membuka usaha
gorengan pakai gerobak, di depan Jalan Tani Makmur, sekitar semester 4, ketika
itu kami kuliah siang, bukanya dari jam 11, jadi kalau pagi ada yang beli pisang,
beli ubi. Setelah siang, gantian teman yang kuliah di Untan, yang menjaga
gorengan,” katanya. Ke kampus pun Dede membawa gorengannya. usaha gorengannya
hanya mampu bertahan dua bulanan.
Tidak jera di situ saja, kemudian Dede berinisiatif untuk usaha es tebu. Dede yang membeli gerobak dan mesin es tebu, sebanyak dua buah, kemudian orang lain yang berjualan, dengan sistem bagi hasil, disimpan di tempat yang strategis. Usaha es tebunya ini juga tidak bertahan lama.
Dede memikirkan usaha selanjutnya, ia memanfaatkan
potensi sumber daya alam di tempat tinggalnya, yakni ikan asin, yang bersumber
dari nelayan yang menangkap ikan, kemudian dijual ke pengolah ikan asin.
“Saya kan tinggal di Kakap, mayoritas
masyarakatnya nelayan, terus saya berpikir kenapa saya ndak memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan saya, terus
saya itu punya kenalan, kemudian bibi dan paman juga pembuat ikan asin,
daripada menjual ke orang, saya aja yang ngambilnya, sebelum saya mengambil
banyak, saya mencari agen terlebih dahulu, di Pasar Kapuas,” terangnya.
Di Pasar Kapuas, Dede mencari agen, dengan usaha yang keras, akhirnya ia
mendapatkan agen yang cocok. Ikan asin yang ia jual memiliki bentuk tipis,
sedikit tawar, jenis ikannya antara lain: Gelame, Puput, Bilis dan lain-lain.
Dede memperhatikan kualitas ikan asinnya. Dikemas menggunakan plastik,
bermuatan 5 kg.
Dede berkata, tidak memiliki modal dalam bentuk
uang ketika membeli ikan asin ke pengolah, ia hanya memiliki modal kepercayaan
si pengolah ikan asin terhadap orang tuanya Dede. “Faktor orang tua saya yang dipercaya oleh orang sekitar, jadi Dede
ambil barang dulu, dijual ke Kapuas, setelahnya baru bayar ke pengolah,”
katanya.
Menjual ikan asin sudah berjalan setahun lebih
dari ia kuliah semester 5. Dede
mengatakan, untuk dipercaya agen di awal, kita harus bijak, jangan plin plan, kata-kata
yang disampaikan harus berisi dan menyakinkan. Dede pernah ke salah satu agen,
datang berulang kali, namun tidak diperdulikan, Dede menegaskan, kita yang
butuh, maka kita yang berusaha, jangan menyerah. Ayah Dede berkata dalam usaha
yang perlu dicari itu “rasa dalam berwirausahanya” kalau kita sudah tahu, maka
kita pasti enak dan nyaman mensiasatinya.
Ikan asin diantarnya sendiri, langsung dari Kakap
ke Pasar Kapuas, dengan menempuh
waktu satu jam lebih, menggunakan sepeda motor, ia harus membagi porsi tempat dengan tas dan ikan asin yang dibawanya,
sampai 7 kantong. Dede mengatakan, kalau kita mau maju, kita tidak boleh
gengsi.
“Kalau kuliah masuk jam 10, jam 7 pagi sudah
berangkat, jam 9 sudah sampai agen, menggunakan sepeda motor, biasanya sampai 7
kantong, penuh dengan kantong-kantong besar berisikan ikan asin, wajah saya
hampir tidak kelihatan. Kalau masuk pagi, saya tetap bawa ikan asin, saya titipkan di rumah kawan di dekat kampus,”
papar Dede sambil tertawa kecil.
Pernah kebanyakan stok, terus agen tidak
mengambil, sampai berjuta-juta kerugian. “Bapak
bilang begini, namanya usaha kalau tidak untung ya gulung tikar, tapi
namanya orang berjiwa usaha itu tidak perlu takut, biasanya kalau kita jatuh di
situ, maka di situ juga kita akan bangun,” katanya.
Dari berjualan ikan asin ini, Dede Nenianti mampu
membeli sebidang tanah. “Membeli tanah, supaya uang tidak habis begitu saja di
tangan saya,” jelasnya.
Asiknya usaha, menurut Dede dapat mengenal orang satu level dari kita.
Brand ikan asin Dede ini sudah sampai ke Kota Bandung pada tahun 2016, dibawa oleh Marsudi teman
sekelasnya, yang menjadi anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Dede berpesan untuk yang ingin mencoba usaha,
setidaknya melihat apa yang akan kita capai, memperhatikan kebutuhan
kedepan, kalau sudah tahu kebutuhan kedepan, maka apa yang ada di otak
kita akan muncul dan harus
banyak perencanaan.
Harapan Dede Nenianti kedepannya ingin mamasarkan produk
ikan asinnya ke daerah-daerah. Semoga diberi kelancaran usahanya oleh Allah
SWT, amiin.(*)
0 Komentar