Oleh: Sukardi (Adi TB)
Saat
ini, aku berada di lampu merah, tepat di persimpangan jalan. Di sisi kiriku, terlihat
Jalan Tanjung Pura, arah kananku tampak Jalan Imam Bonjol, arah belakangku tersenyum
Jalan Pahlawan, dan di hadapanku menyapa jembatan Kapuas 1 yang terbentang
gagah dan rupawan.
Aku
berbaris bersama orang-orang yang siap dengan motornya masing-masing. Sekarang
pukul 5 sore, jam ini saat-saat yang sangat padat, para pengguna jalan ialah mereka
yang baru pulang dari berbagai aktifitasnya, ada yang dari kantor, kuliah,
berdagang dan lain-lain.
Aku
menatap dengan nyaman ke arah jembatan Kapuas 1. Jembatan ini dibangun pada tahun 1980,
menjadi jalan utama untuk menuju pusat kota Pontianak. Dulu disebut jembatan
tol 1, karena ketika itu pengguna jembatan dikenai tarif. Pada pertengahan tahun
1990-an, pungutan tarif tol dihapuskan, alias gratis dan bebas dilalui
pengendara. Jembatan Kapuas ini memiliki panjang 420 meter dan lebar 6 meter.
Jembatan
ini melintang di sungai
terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Sungai dengan
panjang 1.143 km yang melintas hingga kabupaten Kapuas Hulu ini, merupakan
sumber air dan penghidupan masyarakat yang berada di pinggiran sungai tersebut.
Pernah
terjadi kecelakaan, membuat was-was para pengguna jembatan yang berlalu lalang.
Jembatan Kapuas 1, ditabrak Kapal Motor Tongkang bermuatan bauksit, pada Jumat,
30 Agustus 2013, tepatnya ketika saya baru hijrah ke Kota Pontianak untuk kuliah. Tidak
lama dari kejadian tersebut, jembatan langsung diperiksa, dan kerusakan
diperbaiki, hingga waktu yang ditentukan, baru bisa dilalui kendaraan. Hingga
sekarang, keadaan jembatan membaik, dan hanya boleh dilalui kendaraan roda dua
hingga roda empat.
Jembatan
Kapuas 1, sering terjadi penumpukan kendaraan alias macet. Kemacetan terjadi
pada pagi hari, mulai pukul 06.00 wib hingga pukul 08.00 wib. Kemacetan juga
terjadi pada sore hari, dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 18.00. Kepadatan
pengguna jembatan terlihat pada hari
Senin hinggai hari Jumat. Pada hari
Sabtu dan Minggu, keadaan jembatan terasa
lega.
Saat
aku melewati jembatan Kapuas 1, aku merasakan suasana nyaman dan indah, angin sepoi-sepoi memelukku. Hamparan air dan
gelombang sungai Kapuas dapat disaksikan secara langsung. Kita bisa melihat
sampan, motor air, dan kapal motor tongkang berlalu lalang. Rumah penduduk berjajar
di tepian Sungai Kapuas. Penduduk terlihat bergoyang dengan segala
aktifitasnya, ada yang mandi dan
mencuci.
Dari
jembatan Kapuas 1, aku dapat menyaksikan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman,
yang dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharram tahun
1821 M / 1237 H. Pengunjung Masjid Jami’, yang menggunakan jalur darat dapat
naik bus dan melewati jembatan Sungai Kapuas 1.
Berhari-hari
aku melewati jembatan Kapuas 1, tanpa rasa jenuh. Hingga suatu hari, aku bertemu
teman baru. Malam itu, hujan amat deras. Ia hanya sendirian, kedinginan, tidak
ada yang mau memberikan tumpangan, ia berjalan sambil menangis, ia tidak punya
tempat tinggal, orang yang lewat pun tidak mau menoleh dan menyapanya. Bahkan,
hampir saja ia ditabrak. Tragis, orang yang lewat berhati bengis.
Aku
mendekatinya dan menyapa. “Hay, namamu siapa?. Kenapa sendirian di sini?” aku
merangkul dengan nyaman. Ia basah, ia kedinginan, ia membutuhkan kehangatan.
Aku tutupi badannya yang mungil ke dalam jaket ku yang tebal bewarna abu-abu.
“Aku Kuning” ia
memperkenalkan namanya. Ia tampak lucu. Bola matanya bewarna hijau dan memiliki
hidung yang mancung. Siapa yang bertemunya akan naksir, bila mereka menatap ia dengan
hati dan jiwa yang tulus, hati yang sehat dan segar, tidak mabuk.
“Apakah kamu mau
ikut bersamaku?” tanyaku dengan penuh harap.
“Apakah aku
boleh tinggal bersamamu?” ia balik bertanya dengan mata penuh haru.
“Iya Kuning.
Dirimu sangat boleh tinggal bersamaku” aku menyakinkannya.
“Aku mau tinggal
bersamamu” Kuning tersenyum dan menerima tawaranku.
Mulai
detik itu, Si Kuning menjadi keluarga baruku. Ia memiliki sikap dan perilaku
yang baik. Si Kuning tidak punya keluarga lagi. Ayahnya mencari istri baru,
emmm… bukan poligami, kaum mereka tidak mengerti sesuatu yang dikatakan
poligami. Sedih, itu yang keluar dari mulut lucu Si Kuning, ini terjadi pada Ibunya.
Ibu Si Kuning di tabrak lari oleh orang yang tidak bertanggung jawab, melintas
dengan kelajuan tinggi di jembatan Kapuas 1. Malang nasib Ibu Si Kuning, yang
dilindas dan dibiarkan begitu saja, sungguh kejam. Tubuhnya rata bersama beton
jembatan, terbaring dengan tenang di alam sana.
Sekarang,
Si Kuning hidup bahagia bersamaku. Makan dengan teratur, menjadi temanku
bermain, hadir dengan senyum di hidupku. Si Kuning juga membantuku, ketika ada tamu, ia berlari dengan
semangat, kemudian memberi isyarat seperti biasanya, dengan menarik-narik
celanaku dan mengelus-elus manja, gaya khasnya. Ia sungguh cerdas dan
menyenangkan.
Ia
Si Kuning, Kucing kesayanganku
0 Komentar