Oleh: Sukardi (Adi TB)
Bangsa Indonesia memiliki suku dan budaya yang beragam. Keberagaman
tersebut yang menjadikan bangsa ini unik. Keberagaman
bisa menjadi tali persatuan. Namun, kadangkala keberagaman menjadikan
orang lain tabu dan intoleran. Di antara
faktor penyebabnya ialah mereka yang tidak mau mengenal atau risih dengan
budaya orang lain.
Di beberapa provinsi, Kalimantan Barat misalnya, merupakan provinsi
yang memiliki suku dan budaya yang heterogen.
Terkadang konflik mudah terbakar,
bisa jadi ada kepentingan kelompok
terbalut di dalamnya, serta
menyinggung SARA. Oleh sebab itu, pemahaman dalam kegiatan peliputan dengan
konsep jurnalisme keberagaman sangat perlu diterapkan, untuk menyelamatkan
kebhinekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurnalisme keberagaman adalah jenis pemberitaan atau gaya jurnalistik
yang dalam peliputannya memperhatikan nilai-nilai keberagaman, dan mengutamakan
dampak positif, berupa perdamaian dari informasi yang disampaikan melalui
medianya.
Jurnalis menulis berita berdasarkan tiga aspek yakni diksi, angle
dan framing. Diksi adalah pilihan kata; angle adalah bagian kejadian
yang diberitakan; framing adalah kerangka pikirnya. Bila berita seorang
jurnalis menyudutkan SARA, ini bisa terjadi karena keteledoran atau
kesengajaan. Sisi keteledoran menjadi lazim akibat kurangnya pengetahuan
jurnalis akan keberagaman. Ada pun soal kesengajaan, inilah yang dilakukan
media intoleran.
Media-media yang menyuarakan kebencian, lewat standar jurnalistik saja,
masih banyak kekurangannya. Prinsip “good journalism” seperti cover
both sides sengaja diabaikan. Klarifikasi tidak mereka lakukan, opini
banyak diselipkan. Mereka pun berperan ganda sebagai hakim keyakinan. Jenis
media demikian tak bisa dibenarkan.
Bila media bisa menambah konflik, dia bisa berlaku sebaliknya. Perlu
langkah lebih dari sekadar memberitakan, jurnalisme harus pula promosikan
perdamaian. Inilah yang membuat jurnalisme keberagaman jadi tepat waktu. Jurnalisme
keberagaman menjadi urutan teratas untuk mencapai perdamaian.
Menilai keberagaman merupakan sebuah keberanian yang menjadi tanggung
jawab aktifis jurnalis. Memberikan sudut
pandang yang proporsional. Mengangkat kesamaan hak antara minoritas dan
mayoritas, korban dan pelaku, yang bersalah dan tidak. Melakukan penelusuran,
pengungkapan, pembuktian sebuah fakta peristiwa yang terjadi di lapangan.
Membuang rasa fanatik terhadap golongan, menjadi penengah di antara
kesenjangan.
Melalui jurnalisme keberagaman, jurnalis diharapkan menghargai
perbedaan suku, agama, ras, gender dan orientasi seksual. Termasuk juga menolak
diskriminasi, tidak menghakimi, serta melawan radikalisme, intoleransi dan
eksklusivisme. Memberikan pengetahuan positif kepada masyarakat.
Secara umum, jurnalisme keberagaman menolak stigma, stereotip dan
prasangka. Artinya tidak menempelkan kata sifat pada identitas tertentu.
Misalnya ‘Tionghoa pemabuk’, ‘Madura kasar’ ‘gay sadis’ atau ‘Muslim teroris’.
Istilah-istilah yang
menyudutkan pun harus diganti. Istilah ‘aliran sesat’ untuk Gafatar jadi
‘aliran berbeda’ atau ‘aliran minoritas’ atau ‘Gafatar’ saja. Di sini, jurnalis
bertindak adil dan tidak menghakimi.
Di atas semuanya,
jurnalis perlu mengawal proses hukum pelaku hingga tuntas, jangan sibuk pada
kejadiannya semata. Dengan mengikuti kaidah-kaidah di atas, berita yang
dihasilkan akan mendamaikan. Inilah namanya jurnalisme keberagaman.
Pemahaman tentang keberagaman
pun perlu ditanamkan kepada insane media. Hal ini bisa diwujudkan melalui pelatihan
dari pegiat keberagaman dan organisasi wartawan. Di sisi lain, publik juga
harus turut serta. Siapa pun berhak mengawal proses yang ini. Saatnya publik proaktif
mengadukan berita yang bikin gerah. Laporkan media cetak pada Dewan Pers dan
media elektronik pada KPI.
Detik ini, mari kita
turun ke jalan, kemudian lepaskan teriakan, “Kami Cinta Jurnalisme Keberagaman”.
0 Komentar