sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Jurnalisme Damai Untuk Peliputan Keberagaman

                                           
Oleh: Sukardi (Adi TB)
Bangsa Indonesia memiliki suku dan budaya yang beragam. Keberagaman tersebut yang menjadikan bangsa ini unik.  Keberagaman  bisa menjadi tali persatuan. Namun, kadangkala keberagaman menjadikan orang lain tabu dan intoleran.  Di antara faktor penyebabnya ialah mereka yang tidak mau mengenal atau risih dengan budaya orang lain.

Di beberapa provinsi, Kalimantan Barat misalnya, merupakan provinsi yang memiliki suku dan budaya yang heterogen.  Terkadang konflik mudah terbakar,  bisa jadi ada kepentingan kelompok  terbalut  di dalamnya, serta menyinggung SARA. Oleh sebab itu, pemahaman dalam kegiatan peliputan dengan konsep jurnalisme keberagaman sangat perlu diterapkan, untuk menyelamatkan kebhinekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurnalisme keberagaman adalah jenis pemberitaan atau gaya jurnalistik yang dalam peliputannya memperhatikan nilai-nilai keberagaman, dan mengutamakan dampak positif, berupa perdamaian dari informasi yang disampaikan melalui medianya.
Jurnalis menulis berita berdasarkan tiga aspek yakni diksi, angle dan framing. Diksi adalah pilihan kata; angle adalah bagian kejadian yang diberitakan; framing adalah kerangka pikirnya. Bila berita seorang jurnalis menyudutkan SARA, ini bisa terjadi karena keteledoran atau kesengajaan. Sisi keteledoran menjadi lazim akibat kurangnya pengetahuan jurnalis akan keberagaman. Ada pun soal kesengajaan, inilah yang dilakukan media intoleran.
Media-media yang menyuarakan kebencian, lewat standar jurnalistik saja, masih banyak kekurangannya. Prinsip “good journalism” seperti cover both sides sengaja diabaikan. Klarifikasi tidak mereka lakukan, opini banyak diselipkan. Mereka pun berperan ganda sebagai hakim keyakinan. Jenis media demikian tak bisa dibenarkan.
Bila media bisa menambah konflik, dia bisa berlaku sebaliknya. Perlu langkah lebih dari sekadar memberitakan, jurnalisme harus pula promosikan perdamaian. Inilah yang membuat jurnalisme keberagaman jadi tepat waktu. Jurnalisme keberagaman menjadi urutan teratas untuk mencapai perdamaian.
Menilai keberagaman merupakan sebuah keberanian yang menjadi tanggung jawab aktifis jurnalis. Memberikan sudut pandang yang proporsional. Mengangkat kesamaan hak antara minoritas dan mayoritas, korban dan pelaku, yang bersalah dan tidak. Melakukan penelusuran, pengungkapan, pembuktian sebuah fakta peristiwa yang terjadi di lapangan. Membuang rasa fanatik terhadap golongan, menjadi penengah di antara kesenjangan.
Melalui jurnalisme keberagaman, jurnalis diharapkan menghargai perbedaan suku, agama, ras, gender dan orientasi seksual. Termasuk juga menolak diskriminasi, tidak menghakimi, serta melawan radikalisme, intoleransi dan eksklusivisme. Memberikan pengetahuan positif kepada masyarakat.
Secara umum, jurnalisme keberagaman menolak stigma, stereotip dan prasangka. Artinya tidak menempelkan kata sifat pada identitas tertentu. Misalnya ‘Tionghoa pemabuk’, ‘Madura kasar’ ‘gay sadis’ atau ‘Muslim teroris’.
Istilah-istilah yang menyudutkan pun harus diganti. Istilah ‘aliran sesat’ untuk Gafatar jadi ‘aliran berbeda’ atau ‘aliran minoritas’ atau ‘Gafatar’ saja. Di sini, jurnalis bertindak adil dan tidak menghakimi.
Di atas semuanya, jurnalis perlu mengawal proses hukum pelaku hingga tuntas, jangan sibuk pada kejadiannya semata. Dengan mengikuti kaidah-kaidah di atas, berita yang dihasilkan akan mendamaikan. Inilah namanya jurnalisme keberagaman.
Pemahaman tentang keberagaman pun perlu ditanamkan kepada insane media. Hal ini bisa diwujudkan melalui pelatihan dari pegiat keberagaman dan organisasi wartawan. Di sisi lain, publik juga harus turut serta. Siapa pun berhak mengawal proses yang ini. Saatnya publik proaktif mengadukan berita yang bikin gerah. Laporkan media cetak pada Dewan Pers dan media elektronik pada KPI.
Detik ini, mari kita turun ke jalan, kemudian lepaskan teriakan, “Kami Cinta Jurnalisme Keberagaman”.


Posting Komentar

0 Komentar