sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Pangeran

Pangeran
Oleh : Sukardi (Adi TB)
Senin, 9 Mei 2016


Langkah kecilnya menari seirama. Bergerak penuh drama. Suasana di sekeliling terasa sama. Hembusan angin melepas dahaga. Semakin jauh langkahnya, semakin laju napasnya. Gesit hinggap bak parasit. Cekatan menaruh ungkapan. Dekap doa dalam ucapan, pemuda kecil bernama Pangeran.
Pangeran, nama yang indah. Nama yang menempel pada pemudi anak seorang raja. Nama yang bila diucapkan mampu membuat bidadari yang sedang mandi di sungai, segera berkemas ingin melihat ketampanannya.


Pangeran yang ini berbeda, ia hanya anak seorang tukang becak. Ibunya seorang pedagang tempe goreng di halaman rumah. Pangeran, nama yang disematkan oleh pasangan yang sederhana, bukan keturunan raja-raja. Pangeran yang tidak memelas senyum para bidadari, pengeran yang dalam hidupnya mengabdi kepada Ilahi.
“Allahuakbar, Allahuakbar…,” kumandang azan yang dilantunkan oleh Pangeran. Di sebuah Musolah, tidak jauh dari gubuknya. Pangeran memang pria sederhana dan rajin beribadah. Azan subuh selalu ia yang mengumandangkan azan. Ini bukan karena tidak ada orang di kampung tersebut yang bisa azan, ini karena para pemudanya enggan beranjak ke musolah, mampir pun jarang. Sedang para muazin di kampung tersebut sudah lanjut usia, mau bernapas saja susah, apalagi azan dengan napas yang yang panjang.
Suatu hari, tumbuh rasa bimbang pada hari Pangeran. Kebimbangan itu muncul ketika Pangeran akan berangkat merantau. Tujuannya merantau ialah untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Kebimbangan yang menumpuk di hati dan pikiran pengeran ialah siapakah yang akan menggantikan ia azan, apabila ia tiada di kampung itu.
Sebagai seorang anak yang baik, ia meminta nasihat kepada kedua orang tuanya.
“Abah, bagaimana ini, kalau Pangeran berangkat kuliah ke kota, di kampung ini tak ada yang azan?” ucap Pangeran dengan raut wajah sedih.
Ayah Pangeran terdiam sejenak, sambil menghela napas, beliau tampak kelelahan setelah seharian membawa becaknya.
“Ayah pun bingung Nak, dengan anak pemuda di kampung kita, mereka tidak peduli dengan rumah ibadah, tidak mau azan, padahal mereka dulu juga belajar mengaji bersama-sama denganmu, dan di antara pemuda di kampung ini juga ada yang pernah menang lomba azan di kabupaten. Namun…,” Ayah Pangeran menahan kata, ia tampak sedih.
Sekarang giliran sang Ibu yang Pangeran minta pendapatnya.
“Bagaimana menurut ibu, apakah aku boleh merantau?” tanya Pangeran dengan wajah serius.
“Sebenarnya, berat rasanya Ibu untuk mengizinkanmu berangkat merantau. Kita tahulah, Musolah kita akan sepi dari kumandang azan,” jawab Ibu langsung ke pokok masalah.
Pangeran, Ayah dan Ibu mematung di teras rumah ditemani dengan suara-suara penghuni malam.(*)

Saigon, Pontianak Timur.

*Cerita Pendek ini mengenang kampung  yang terdapat pemuda namun sangat jarang bahkan tidak pernah mengumandangkan azan di musolah/surau/langgar/masjid.

Posting Komentar

0 Komentar