sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Pemuda Pemikul Rezeki

Suatu siang di awal Januari 2016.  Jarum jam menunjukkan pukul 14.11 wib. Berlalu lalang ribuan mahasiswa di IAIN Pontianak, memangku tas dan membawa sejuta harapan besar untuk masa depan. Para dosen berangkat menuju meja kerjanya. Pun begitu dengan penjual pentol kuah yang mengusap keringat, diterpa terik mentari yang menyengat. 



Beberapa pintu kelas tertutup rapat. Wajah seorang mahasiswa tersembul, dari balik pintu sekretariat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (Dema FTIK). Sebuah kardus menengger di pundaknya.  “Kue,kue!. Beli kue boy!?,” kata Marsudi setengah berteriak. Gesit ia berjalan di lorong-lorong kampus, yang kemudian diserbu oleh beberapa mahasiswa, membeli jualannya.
Sepuluh menit berlalu, sudah terjual beberapa bungkus roti dan keripik tempe. “Nyam-nyam,kriuk-kriuk,” renyah suara keropos keripik tempe yang dijual oleh Marsudi.

Kucuran keringat tak menggerus semangat. Itulah yang tampak pada pemuda ini, memiliki semangat yang kuat, dan berjiwa baja. Setelah berkeliling kampus membawa kue, Ia duduk istirahat di kursi UKM  Lembaga Pers Mahasiswa IAIN Pontianak.
“Nama saya Marsudi, anak keempat, dari Bapak Nasuki dan Ibu Jumiati. Saya lima bersaudara, namun semuanya sudah kembali ke Pangkuan-Nya,” tutur Marsudi di awal percakapan kami. Ada beberapa rekan jurnalis kampus bersama kami, mereka membeli kue jualannya. Marsudi, itulah nama kebanggaan yang ia miliki, pemberian dari mendiang ayahnya.  Biasanya, kawan-kawan di kampus juga memanggilnya Junai. Dulu, ia sebagai marbot di masjid IAIN Pontianak.
Pada usia 7 tahun, Marsudi sudah ditinggal pergi oleh ibunya.  Pada saar itu,  orang tua Marsudi sedang mengalami permasalahan dalam rumah tangga. Usia 10 tahun, Marsudi ditinggal oleh sang Ayah, pergi ke pangkuan Ilahi Robbi. Kemudian Marsudi diasuh oleh Pamannya, hingga beranjak ke bangku SMA.

Sampai saat ini, pasca perpisahan orang tua, Marsudi belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya.  Rasa rindu yang kuat tumbuh dalam dirinya. Marsudi memaparkan, sekarang sudah lupa dengan mimik wajah sang ibu. Faktor sudah lama tidak bertemu. Sepucuk foto sang Ibu pun tak punya. Dalam angan-angan, Marsudi ingin bertemu dengan Ibu, karena Ia sedang sibuk kuliah, jadi belum sempat mencari.

Melangkah penuh yakin memasuki lorong-lorong kelas di IAIN Pontianak, tak membuatnya malu dan gengsi. Banyak orang yang melihat kesehariannya. Sederhana dan santai.
Pria yang lahir di  Sambas, 14 Juli 1994 silam, berjualan di kampus IAIN Pontianak semenjak semester 3. Sekarang Marsudi sedang menempuh pendidikan S.1, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), kelas G, angkatan 2013, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.

Yang memotivasi ia berjualan, karena ia hobi dan senang. Mengawali usaha berjualan, yang menjadi kendala yakni di seputar di modal. Menurut Marsudi, modal terbesar ialah modal kepercayaan dari orang lain. Sesuatu yang telah dipercayakan orang lain kepada saya, ya saya amanahkan. Alhamdulillah, sampai saat ini usaha ini masih berlangsung dengan baik. 

Dalam berjualan ini, sudi menggunakan sistem bagi dua dari orang yang memiliki barang.  Omset, sebulan 1 jutaan.  Modal bukan pribadi, punya orang yang dijualkan. Dari hasil penjualan dikumpulkan, lambat laun mampu menjual barang  sendiri. Sistem baginya, untuk keripik tempe 250, harga keripik 2 ribu rupiah perbungkus. Roti dijual sendiri dengan harga 1500. 

Tidak hanya di kalangan mahasiswa, di kalangan  dosen pun banyak yang memberi motivasi untuk lebih giat berjualan dalam usaha. Ruangan yang belum disamperin oleh Marsudi yakni ruang Rektor, Wakil Rektor I dan II. Paparnya, masih belum berani untuk jualan ke ruang para pejabat tersebut. Selebihnya, semua sektor di IAIN Pontianak telah Marsudi tawarkan kue  jualannya.
“Yang menjadi asyik jualan itu ialah bisa menambah banyak kenalan. Meski sempat mendapat olokan dari teman-teman, saya abaikan saja,” kata Marsudi sambil mengemaskan roti dan keripik ke dalam kardusnya. 
“Kata motivasi saya itu, berjuang untuk hidup, hidup perlu berjuang”, kata-kata semangat yang muncul dari Marsudi, mahasiswa yang juga aktif di organisasi internal kampus, Dema FTIK bagian staf Infokom. 

Marsudi mengungkapkan beberapa harapannya kedepan,  “Mahasiswa itu kan agen perubahan, kita harus memikirkan orang tua kita yang bekerja. Jadi, kita tidak mengharapkan uang dari mereka terus, kalau kita ada skill dan kemauan, maka kita bisa,”

Patut dicontoh sosok Marsudi ini, yang tidak bergantung dengan dompet orang tua. Berani banting tulang dan menikmati uang dari keringat sendiri. Mandiri. Tidak berpoya-poya, tidak sombong tentunya. Marsudi, seorang mahasiswa yang berani, dengan segudang  semangat, mampu menjadi pemuda pemikul rezeki.


Penulis : Sukardi (Adi TB)

Posting Komentar

0 Komentar