Gantungan berwarna merah, bertebaran di angkasa Khatulistiwa. Rapi, indah dan menawan. Orang-orang menyebutnya lampion. Lampion tidak dapat terlepaskan dari Tahun Baru Imlek. Sejarah mengatakan, lampion ada sejak era Dinasti XI Han, sekitar abad ke-3 Masehi.
Sepoi-sepoi angin menerpa ragaku. Tak terasa, ternyata sepeda
motorku si Biboy, sudah menapakkan rodanya di lampu merah, perempatan menuju
Jalan Gajah Mada Pontianak. Aku menoleh ke pasar Flamboyan, terlihat aktifitas
para pedagang dan pembeli yang berlalu lalang.
Di deretan toko tersebut, aku melihat seorang gadis dengan pakaian
khas Tionghoa, sedang bergerak aktif dan menjelaskan suatu barang bewarna merah
di hadapannya, lampion.
Melihat gadis itu, aku jadi teringat dengan sahabatku ketika sekolah
dasar dulu. Ia memiliki wajah manis. Karakternya ceria dan suka menari. Pandai pula
menyanyi. Ashima, nama teman SD ku itu. Kami berpisah, ketika Ashima pindah ke
Jakarta bersama kedua orang tuanya.
Dulu Ashima banyak cerita tentang Hari Imlek. Imlek merupakan hari raya
masyarakat Tionghoa.
****
Hari ini, aku berkunjung ke rumah Ashima, dengan langkah kaki
berirama.
“Hai Ashima, lagi apa ni?,” kataku penuh penasaran.
“Hei Adi, sinilah. Ashima sedang bersih-bersih rumah ni,” kata
Ashima sembari memegang penyapu dan pengepel.
Tidak lama lagi Imlek tiba. Membersihkan rumah dari debu merupakan
tradisi menyambut Tahun Baru Imlek. Rumah Ashima dicat ulang. Perabotan pun ditata
ulang.
“Emm… segar memandang rumah Ashima,” kataku yang baru saja melangkah
di tangga rumah Ashima.
Aku masuk ke rumah Ashima, membantu membersihkan perlengkapan rumah.
Di sela-sela mengusap kaca lemari, mataku tertuju ke kertas yang menempel di
dinding sebelah kiri.
“Ashima, ini apa ya?” sambil menunjuk kertas yang ditempelkan di
samping kiri dan kanan pintu. Adapula di dinding.
“Itu Chun Lian” Ashima tersenyum dan mendekat ke arahku.
“Emm.. Chun Lian itu apa Ashima?” tanyaku penasaran.
“Mau tau aja atau mau tau banget?”
Ashima tampak menatap serius tulisan di kertas yang menempel itu.
“Mau kamu aja, hehe,” kataku bergurau, Ashima dengan gaya khasnya,
hanya terkekeh.
“Chun Lian ini sepasang kalimat yang berbentuk puisi. Berisi
kalimat-kalimat yang penuh dengan harapan” Ashima menunjuk sebuah kertas
bewarna merah dengan tulisan bewarna emas.
Aku mengangguk paham. Sebenarnya aku ini suka menulis puisi. Puisi
untuk menggoda cewek-cewek di sekolah. Kalau lagi beruntung, puisiku dibaca oleh
mereka. Tapi, Kalau lagi tidak pas momennya, puisiku hanya tersimpan kaku di
dalam kantong baju. Maklum, mentalku masih mental balon.
Ashima kemudian menggantungkan lukisan tahun baru di ruangan tamu.
“Ini lukisan Dewa Rezeki” kata Ashima sambil menata rapi sebuah lukisan.
Aku berjalan mendekati Ashima, dan duduk di kursi bewarna hijau.
“Ashima, pada malam Tahun Baru Imlek nanti, kamu bobok kah?” aku
bertanya dengan gaya alay, membuat Ashima terkekeh lagi.
“Tidak tidur Di,” jawab Ashima singkat, ia sedang membawa sebuah air
mineral.
“ Kenapa,?” tanyaku yang juga singkat.
“Tidak tidur di malam Imlek, juga termasuk dalam tradisi. Ada dua
makna. Pertama, untuk yang sudah lanjut usia, tidak tidur pada malam tahun baru
Imlek menandakan mereka sudah melewati tahun yang lama dan harus bersyukur
serta menghargai waktu yang akan datang,” Ashima juga mencoblos air mineral,
glek-glek, ia tampak kehausan.
“Emm.. Gitu. Kalau untuk pemudanya?” gelas air mineral ku coblos,
yang sebelumnya sudah dipersilahkan minum oleh Ashima.
“Untuk pemuda dan anak-anak, tujuan tidak tidur pada malam Tahun
Baru Imlek adalah untuk mendoakan supaya orang tuanya panjang umur.
****
“Tiit…tiii….t!!!”
Suara klakson pick up di
sampingku, serasa memecahkan telinga, membangunkan, tepatnya membuyarkan lamunanku
dengan sahabatku, Ashima. Sampai detik ini, tak ada kabar, tepatnya aku tidak
punya kontak untuk berkomunikasi melalui jarak jauh bersama Ashima.
“Mau beli yang mana Bang?” suara lembut bersumber dari seorang gadis
yang ada di hadapanku.
“Selamat siang,” ucapku sambil memegang sebuah lampion.
“Siang Bang,” gadis itu melepas senyum.
“Ini buatanmu kah?” kata tanya spontan keluar dari lisanku.
“Iya Bang. Saya suka bikin lampion. Silakan dipilih dulu, cari yang
Abang suka,” jemari mungilnya menunjuk deretan lampion yang sedang ia jual.
Aku tersenyum. Masih berlama-lama, aku merasa nyaman melihat lampion
buatan gadis ini, seimbang dengan nada suaranya yang santun.
“Cahaya merah dari lampion ini Bang, menjadi pengharapan di tahun baru,
semoga diwarnai dengan keberuntungan, rezeki dan kebahagiaan,” gadis itu
memberi pengetahuan sambil memegang sebuah lampion dengan motif hati.
“Emm…yang berkaitan dengan legenda, adakah?” aku bertanya menikmati
nada bicara si gadis.
“Legenda klasik pun, menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan
dengan raksasa bernama Nian” ucap gadis itu sembari meletakkan kembali lampion
yang ia pegang tadi.
“Menarik. Aku beli lampion yang ini ya,” lampion dengan motif hati
menarik perhatianku.
“Selamat Tahun Baru Imlek ya Bang,” si gadis menyerahkan sebuah
kantong yang berisi lampion, masih dengan senyum manis dan ceria.
“Selamat Tahun Baru Imlek juga, Ashima,” pandanganku kembali ke masa
kecilku.
Si gadis penjual lampion tetap memberikan senyumnya.
“Tiiit…. Tiiit…!!”
Lamunanku tersadar. Lagi-lagi suara Klakson yang menggelegar.
****
Petasan malam Tahun Baru Imlek bergemuruh, gemerlap kembang api di
udara curahkan sejuta warna. Bahagia kurasa. Damai menyambut tahun baru bersama
semangat baru, diusiaku yang telah beranjak dua puluh satu.
Di teras ini, aku menatap sebuah lampion, dengan corak hati. Nuansa
tulus cahaya yang dipancarkan, setulus ia yang membuat lampion ini. Aku kembali
meresap semangat sahabatku. Cahaya Ashima berdiri jelita, membawa aura indah di
dalam lampion cinta.#
Oleh : Sukardi (Adi TB)
Pontianak, 8 Februari 2016
0 Komentar