Bersama rekan mahasiswa Jurnalistik
dan Ibu Silvina selaku dosen pengampu mata kuliah Jurnalistik Media Cetak,
Kamis, 31 Desember 2015, kami berkunjung ke Istana Qadriyah, dengan dua visi,
yang pertama dalam rangka tugas mata kuliah Jurnalistik Media Cetak, dengan
tema feature. Yang kedua, liburan akhir tahun.
15 menit perjalananku menuju Kampung
Dalam Bugis, Tanjung Raya 1, Pontianak Timur.
Tak terasa, sepeda motorku si Biboy telah menapakkan rodanya di parkiran,
tepat di samping kiri gerbang Istana Qadriyah.
Bu Evi dan rekan Jurnalistik lainnya
sudah tiba duluan di wajah Istana. Aku bersama Fathul Birri segera menyusul
mereka. Namun, baru beberapa meter, langkah kami tertahan, ada aroma sedap yang
menyerang indra penyiuman kami.
“Emm… sedap Di,” kata Fathul sambil menatap ke arah Mamang penjual
pentol kuah.
Aku pun mengikuti langkah Fathul, sembari mengecek saku celana,
berharap ada pundi-pundi kehidupan, alias uang.
“Lima ribu bisa Mang?” tanya Fathul kepada si Mamang yang sedang
mengaduk-aduk pentol kuah.
“Bisa Dek, mau beli berapa?” kata si Mamang dengan senyum khasnya.
“Dua Mang,” Fathul memesan pentol kuah sebanyak dua gelas plastik.
Tidak lama, pentol kuah hangat terhidang di hadapan kami. Kebetulan
aku pun belum sarapan, lumayan mengisi kampung tengah yang keroncongan.
Setelah beberapa suapan, aku dan Fathul menuju istana, sesampainya
di wajah gerbang istana, kami mengucapkan salam. Di setiap langkah kami, terasa
diperhatikan dan disambut oleh para pengawal istana yang berseragam lengkap dan
memegang tombak tegap. Satu meriam yang posisinya tepat di halaman istana, menatap tajam dan tegas ke arah kami, yang
melambangkan kekuatan dan penjagaan istana.
Istana Qadriyah berdiri gagah di tepi sungai Kapuas, tempatnya di
wilayah Kampong Dalam Bugis, dengan ornamennya kental menyiratkan ciri kerajaan
Islam. Selain cat warna kuning khas Melayu, terdapat banyak sekali pahatan
bulan dan bintang yang menghiasi sisi Istana. Logo ini tertera dipintu masuk
dan dinding kayu, serta di bendera kebesaran yang berkibar di halaman Istana.
Kami memandang lurus ke arah istana, indah dan damai rasanya. Di
sana,Yuni Mustika dan Abdul Hamid sudah bersiap-siap, mereka tersenyum melihat
kedatangan kami yang membawa pentol kuah.
“Enak ni pentol kuah, beli tak ngajak-ngajak” kata Yuni yang sedang
menunggu kami di atas sepeda motornya.
Kami pun sudah berkumpul dan berdiskusi kecil, persiapan sebelum
menuju ke ruang istana. Setelah diskusi, aku dan Fathul menyempatkan diri
mengambil gambar dari depan istana. Setelah itu, kami pun mohon izin masuk
kepada penjaga istana.
Di pintu istana kami disambut oleh pemandu bernama Muhammad Irfan Al-Kadri, Ia
yang bertugas memberi keterangan tentang
Istana Qadriyah. Ruang Istana di dominasi warna kuning. Singgasana Raja
berwarna keemasan, berdiri kokoh dikelilingi foto para pembesar kerajaan dan
beberapa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci keramik.
Pandanganku tertuju pada sebuah
cermin antik dari Eropa, yang dinamakan
“Kaca Seribu” hadiah kepada sultan ke-6. Aku dan pengunjung lainnya mencoba bercermin
pada cermin antik itu, ternyata benar bayangan kami menjadi banyak, oleh sebab
itu disebut kaca seribu.
Ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para
petinggi mengambil keputusan.
Lantainya masih papan kayu berlian (Kayu Ulin) yang terkenal akan
kekuatannya. Kayu ini dikenal memiliki kekuatan luar biasa, bahkan gergaji
biasapun tak akan kuat untuk memotong
batangnya. Pasti kita juga tak akan menemukan ukiran indah berbahan kayu
berlian. Konon, jika direndam didalam air bertahun-tahun, kayu berlian akan
awet selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
Istana Qadriyah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di
Pontianak. Istana Qadriyah menjadi peradaban pertama yang melambangkan bahwa
Islam sudah berkembang di Pontianak, pada masa itu diperkenlkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman
Alkadri. Pada masa itu, sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di
Pontianak, ia sudah lebih dahulu menetap di kerajaan Mempawah.
Istana Qadriyah berdiri 1773, jadi dua tahun setelah masjid Jami’.
Merupakan Kesultanan paling muda di Kalimantan Barat. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman membuka
negeri, barulah Belanda masuk untuk meminta (bernegoisasi) untuk menduduki
(menjajah) Kesultanan Pontianak.
Barang-barang di Istana sudah banyak yang berupa duplikat. Karena
hilang pada 1 generasi. Tepatnya pada agresi Jepang, Perang Dunia 2.
Barang-barang Istana diambil oleh Jepang dan banyak cendikiawan muslim yang
terbunuh.
Sungguh sejarah yang panjang dan menakjubkan, yang kita temukan dari
data-data di Istana. Segar dan semangat
serta aura positif dapat kami
serap. Setelah melihat dan bertanya-tanya tentang sejarah dan barang-barang
yang ada di dalam Istana Qadriyah, kami bersantai di teras istana, lagi-lagi
semerbak angin Sungai Kapuas menyibak dahaga dan gerah kami. Damai rasanya. Rekaman
ingatan dan catatan kami hari ini, akan tertuang dan menjadi bahan bacaan,
semoga perjalanan dan tulisan kami bermanfaat.
Pontianak, 31 Desember 2015.
0 Komentar