sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Istana Qadriyah Pontianak

Sepoi-sepoi angin Sungai Kapuas menyapaku, dalam perjalanan menuju Istana QadriyahPontianak. Gerbang yang dominan bewarna kuning, di persimpangan Tanjung Raya, menyapaku dengan gagah dan penuh wibawa. Sapaan itu seperti diucapkan langsung oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri. 


Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri bin Sayyid Al-habib Husein Al-kadri Jamalulail, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sultan Syarif  Abdurrahman, lahir di kerajaan Matan (sekarang Ketapang).  Ia dilahirkan hari Senin tanggal 15 Rabiul Awal pukul 10 siang tahun 1142 H/1730 M. Anak kedua dari Al-Habib Husein, seorang penyebar Islam dari Arab.
Bersama rekan mahasiswa  Jurnalistik dan Ibu Silvina selaku dosen pengampu mata kuliah Jurnalistik Media Cetak, Kamis, 31 Desember 2015, kami berkunjung ke Istana Qadriyah, dengan dua visi, yang pertama dalam rangka tugas mata kuliah Jurnalistik Media Cetak, dengan tema feature. Yang kedua, liburan akhir tahun. 
15 menit perjalananku menuju  Kampung Dalam Bugis, Tanjung Raya 1, Pontianak Timur.  Tak terasa, sepeda motorku si Biboy telah menapakkan rodanya di parkiran, tepat di samping kiri gerbang Istana Qadriyah. 
Bu Evi dan rekan Jurnalistik  lainnya sudah tiba duluan di wajah Istana. Aku bersama Fathul Birri segera menyusul mereka. Namun, baru beberapa meter, langkah kami tertahan, ada aroma sedap yang menyerang indra penyiuman kami. 
“Emm… sedap Di,” kata Fathul sambil menatap ke arah Mamang penjual pentol kuah.
Aku pun mengikuti langkah Fathul, sembari mengecek saku celana, berharap ada pundi-pundi kehidupan, alias uang.
“Lima ribu bisa Mang?” tanya Fathul kepada si Mamang yang sedang mengaduk-aduk pentol kuah.
“Bisa Dek, mau beli berapa?” kata si Mamang dengan senyum khasnya.
“Dua Mang,” Fathul memesan pentol kuah sebanyak dua gelas plastik.
Tidak lama, pentol kuah hangat terhidang di hadapan kami. Kebetulan aku pun belum sarapan, lumayan mengisi kampung tengah yang keroncongan. 
Setelah beberapa suapan, aku dan Fathul menuju istana, sesampainya di wajah gerbang istana, kami mengucapkan salam. Di setiap langkah kami, terasa diperhatikan dan disambut oleh para pengawal istana yang berseragam lengkap dan memegang tombak tegap. Satu meriam yang posisinya tepat di halaman istana,  menatap tajam dan tegas ke arah kami, yang melambangkan kekuatan dan penjagaan istana.
Istana Qadriyah berdiri gagah di tepi sungai Kapuas, tempatnya di wilayah Kampong Dalam Bugis, dengan ornamennya kental menyiratkan ciri kerajaan Islam. Selain cat warna kuning khas Melayu, terdapat banyak sekali pahatan bulan dan bintang yang menghiasi sisi Istana. Logo ini tertera dipintu masuk dan dinding kayu, serta di bendera kebesaran yang berkibar di halaman Istana.
Kami memandang lurus ke arah istana, indah dan damai rasanya. Di sana,Yuni Mustika dan Abdul Hamid sudah bersiap-siap, mereka tersenyum melihat kedatangan kami yang membawa pentol kuah.
“Enak ni pentol kuah, beli tak ngajak-ngajak” kata Yuni yang sedang menunggu kami di atas sepeda motornya.
Kami pun sudah berkumpul dan berdiskusi kecil, persiapan sebelum menuju ke ruang istana. Setelah diskusi, aku dan Fathul menyempatkan diri mengambil gambar dari depan istana. Setelah itu, kami pun mohon izin masuk kepada penjaga istana.
Di pintu istana kami disambut  oleh  pemandu bernama Muhammad Irfan Al-Kadri, Ia yang  bertugas memberi keterangan tentang Istana Qadriyah. Ruang Istana di dominasi warna kuning. Singgasana Raja berwarna keemasan, berdiri kokoh dikelilingi foto para pembesar kerajaan dan beberapa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci keramik. 
Pandanganku tertuju pada  sebuah cermin antik dari Eropa,  yang dinamakan “Kaca Seribu” hadiah kepada sultan ke-6.  Aku dan pengunjung lainnya mencoba bercermin pada cermin antik itu, ternyata benar bayangan kami menjadi banyak, oleh sebab itu disebut kaca seribu.
Ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para petinggi mengambil keputusan.
Lantainya masih papan kayu berlian (Kayu Ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Kayu ini dikenal memiliki kekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasapun tak akan kuat untuk  memotong batangnya. Pasti kita juga tak akan menemukan ukiran indah berbahan kayu berlian. Konon, jika direndam didalam air bertahun-tahun, kayu berlian akan awet selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
Istana Qadriyah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Istana Qadriyah menjadi peradaban pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak, pada masa itu  diperkenlkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri. Pada masa itu, sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah lebih dahulu menetap di kerajaan Mempawah.
Istana Qadriyah berdiri 1773, jadi dua tahun setelah masjid Jami’. Merupakan Kesultanan paling muda di Kalimantan Barat.  Setelah Sultan Syarif Abdurrahman membuka negeri, barulah Belanda masuk untuk meminta (bernegoisasi) untuk menduduki (menjajah) Kesultanan Pontianak.
Barang-barang di Istana sudah banyak yang berupa duplikat. Karena hilang pada 1 generasi. Tepatnya pada agresi Jepang, Perang Dunia 2. Barang-barang Istana diambil oleh Jepang dan banyak cendikiawan muslim yang terbunuh.
Sungguh sejarah yang panjang dan menakjubkan, yang kita temukan dari data-data di Istana. Segar dan semangat  serta  aura positif dapat kami serap. Setelah melihat dan bertanya-tanya tentang sejarah dan barang-barang yang ada di dalam Istana Qadriyah, kami bersantai di teras istana, lagi-lagi semerbak angin Sungai Kapuas menyibak dahaga dan gerah kami. Damai rasanya. Rekaman ingatan dan catatan kami hari ini, akan tertuang dan menjadi bahan bacaan, semoga perjalanan dan tulisan kami bermanfaat.


Pontianak, 31 Desember 2015.

Penulis : Sukardi (Adi TB)

Posting Komentar

0 Komentar