sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Resensi : 168 Jam Dalam Sandera

Pada 2005  yang telah berlalu, pasca Tsunami di Aceh, Indonesia dibuat berkecamuk oleh sebuah peristiwa penculikan, yang dialami oleh reporter dan kameramen Metro TV, bernama Meutya Hafid dan Budiyono, yang disandera di Irak. Mereka dicurigai sebagai mata-mata pasukan koalisi Amerika, yang saat itu menimbulkan kerusuhan dalam pemilu pertama di Irak setelah jatuhnya kekuasaan Saddam Hussein.



Buku ini menceritakan pengalaman  Meutya Hafid dan Budiyono  sebagai sandera di Irak. Tulisannya begitu renyah dan nikmat dibaca. Wajib dibaca oleh Jurnalis, karena isinya begitu cocok untuk menambah pengalaman dan pengetahuan di lapangan.

Selain itu, buku ini dikemas dengan bahasa yang begitu ringan dan masuk ke semua kalangan. Tulisan khas jurnalis, ditulis dengan gaya feature, sehingga tak bosan dibaca, tak lenyap kenikmatan yang tersaji dalam buku ini. Kita yang membaca, akan merasakan langsung  dan seperti berada di lokasi kejadian. Tulisan dalam buku ini mampu menciptakan visual kepada pembacanya, jadi ketika  membacanya seperti sedang menonton film-film laga di layar lebar. Selamat membaca.

Cerita dimulai sekembalinya Meutya dari Aceh. Ia mendapat tugas meliput kejadian Tsunami. Ia bersama rekannya Budiyono langsung mendapat tugas meliput suasana pemilu di Irak. Medan yang akan mereka tempuh, nyatanya sangat berat, karena di sana pertempuran yang sangat besar sedang terjadi. Bagdad hancur berantakan, dan mencekam. Jalanan dipadati tank-tank militer, dan hampir disetiap penjuru ditemui tentara dengan senjata yang siap men-dor.

Peliputan seputar keadaan masyarakat dan pemilu di Irak sudah mereka laksanakan, dan berjalan lancar, siap untuk kembali ke tanah air. Namun, tugas mereka tidak menjadi selesai di seputar pemilu, mereka dihubungi oleh Don Bosco Salamun, Pimpinan Redaksi Metro TV, mereka harus kembali ke Irak untuk meliput peringatan Asyura di Karbala. Awalnya mereka sempat merasa ragu, namun keputusannya mereka menyanggupi tugas tersebut. Dalam perjalanan mereka yang kedua itulah, peristiwa penculikan itu terjadi.

Ketika mobil mereka berhenti di pom bensin, 3 orang pasukan Mujahidin dengan wajah tertututp Kafiyeh, menyergap mereka dan kemudian membawa mobil mereka bersama sopir KBRI yang mereka sewa, Ibrahim. Meutya dan rekannya tidak tahu kemana mereka dibawa. Mereka dibawa ke gurun, padang pasir yang terhampar luas. Tidak ada jalan lain untuk Meutya dan Budi, kecuali mengikuti para penyandera. Tak mungkin mereka melarikan diri, bisa jadi mati konyol. Mereka diboyong ke dalam gua kecil yang terdapat di gurun.

Hampir setiap malam pesawat berlalu lalang di udara, benar-benar menciptakan suasana yang mencekam. Ternyata, gua yang menjadi tempat penyekapan mereka tersebut, berada antara Ramadi dan Fallujah, zona pertempuran antara gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Jika pertempuran pecah, maka gua itu akan menjadi sasaran mantap kumpulan peluru dari kedua kubu yang bertempur.

Berbeda dengan suasana penyandera pada umumnya, yang disandera akan mendapatkan banyak tindak keji dan penyiksaan, ini tidak terjadi pada Meutya, Budi dan Ibrahim sang sopir, mereka mendapat perlakuan yang ramah, dan mereka hanya diminta keterangan tujuan ke daerah tersebut. Meutya benar-benar dalam tugas jurnalistik dan tidak terikat dengan politik manapun, hal ini berhubungan dengan  jurnalis koalisi yang mencuri informasi dan menyampaikan berita dengan tidak berimbang.

Bersama para penyandera, bernama Ahmad dan Muhammad, dan Ibrahim sebagai sopir sekaligus penerjemah mereka, selama di gua, mereka seperti sahabat, menyatukan keakraban dengan saling berbagi cerita, diantaranya yang paling mengena di hati mereka, yakni saling berbagi tentang keluarga.  Hal ini pun, membuat Meutya semakin rindu dengan sang Ibu, sanak saudara, dan mendiang ayahnya yang baru saja berpamit ke pangkuan Ilahi, sungguh membuat sesak hati Meutya di gurun, begitu pula dengan Budiyono yang rindu kepada Istri dan anak-anaknya. Mereka berharap segera bebas.

Selama beberapa hari itu, mereka diperlakukan dengan sangat baik layaknya tamu. Makanan-makanan hangat dan air setiap hari diantar dalam jumlah yang cukup banyak,  dengan menu-menu yang spesial pula, padahal mujahidin-mujahidin yang mengantarkan makanan tersebut, nyawa menjadi taruhannya dalam perjalanan menuju gua.

Pembebasan yang berliku-liku pun meski dilewati dengan penuh kesabaran dan ketegangan. Banyak sekali peristiwa yang rasanya membuat nyawa mereka serasa diujung tanduk, namun  ternyata mereka bisa bertahan dan mampu melewati itu semua.

Buku ini memberikan pelajaran bagi kita, bahwa setiap pekerjaan itu memiliki resiko, yang kadang menantang dan berbahaya. Kita pun harus mengukur seberapa siap dan seberapa besar kemampuan kita dalam mengemban tugas tersebut.  Bukannya maju tanpa bekal kemampuan yang memadai dan bermodal nekat saja. Semua harus dipikirkan dan bertindak dengan cerdas serta matang.

Buku ini juga mengajak kita merenungi nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan, dan tidak menyombongkan diri serta melepas diri akan Keagungan dan Kuasa Tuhan Yang Maha Esa.  Kemudian, ketika manusia berada dalam keputusasaan dan merasa tak akan melihat hari esok,  masih ada Tuhan yang memiliki Kehendak dan Rencana lain, maka apapun bisa terjadi. Dan atas Perlindungan dan Kekuasaan-Nya, Meutya dan Budiyono, bisa keluar dengan selamat dan sehat walafiat dari Irak yang penuh ancaman.

Tidak hanya penuh ketegangan dan menumbuhkan rasa penasaran pada setiap halamannya, buku ini juga terkadang mengajak kita tersenyum, tertawa dan bahkan meneteskan air mata.



Judul Buku: 168 Jam Dalam Sandera
(Memoar Jurnalis Indonesia yang disadera di Irak)
Penulis : Meutya Hafid (Reporter Metro TV)
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Jenis buku: memoar
Tahun terbit: 2007
Jumlah Halaman: 280 Halaman. 
Resensi oleh : Sukardi (Adi TB)


Posting Komentar

0 Komentar