Pada
2005 yang telah berlalu, pasca Tsunami
di Aceh, Indonesia dibuat berkecamuk oleh sebuah peristiwa penculikan, yang
dialami oleh reporter dan kameramen Metro TV, bernama Meutya Hafid dan
Budiyono, yang disandera di Irak. Mereka dicurigai sebagai mata-mata pasukan
koalisi Amerika, yang saat itu menimbulkan kerusuhan dalam pemilu pertama di
Irak setelah jatuhnya kekuasaan Saddam Hussein.
Buku ini
menceritakan pengalaman Meutya Hafid dan
Budiyono sebagai sandera di Irak.
Tulisannya begitu renyah dan nikmat dibaca. Wajib dibaca oleh Jurnalis, karena
isinya begitu cocok untuk menambah pengalaman dan pengetahuan di lapangan.
Selain itu,
buku ini dikemas dengan bahasa yang begitu ringan dan masuk ke semua kalangan.
Tulisan khas jurnalis, ditulis dengan gaya feature, sehingga tak bosan dibaca,
tak lenyap kenikmatan yang tersaji dalam buku ini. Kita yang membaca, akan
merasakan langsung dan seperti berada di
lokasi kejadian. Tulisan dalam buku ini mampu menciptakan visual kepada
pembacanya, jadi ketika membacanya
seperti sedang menonton film-film laga di layar lebar. Selamat membaca.
Cerita dimulai
sekembalinya Meutya dari Aceh. Ia mendapat tugas meliput kejadian Tsunami. Ia
bersama rekannya Budiyono langsung mendapat tugas meliput suasana pemilu di
Irak. Medan yang akan mereka tempuh, nyatanya sangat berat, karena di sana
pertempuran yang sangat besar sedang terjadi. Bagdad hancur berantakan, dan
mencekam. Jalanan dipadati tank-tank militer, dan hampir disetiap penjuru
ditemui tentara dengan senjata yang siap men-dor.
Peliputan
seputar keadaan masyarakat dan pemilu di Irak sudah mereka laksanakan, dan
berjalan lancar, siap untuk kembali ke tanah air. Namun, tugas mereka tidak
menjadi selesai di seputar pemilu, mereka dihubungi oleh Don Bosco Salamun, Pimpinan
Redaksi Metro TV, mereka harus kembali ke Irak untuk meliput peringatan Asyura
di Karbala. Awalnya mereka sempat merasa ragu, namun keputusannya mereka
menyanggupi tugas tersebut. Dalam perjalanan mereka yang kedua itulah,
peristiwa penculikan itu terjadi.
Ketika mobil
mereka berhenti di pom bensin, 3 orang pasukan Mujahidin dengan wajah tertututp
Kafiyeh, menyergap mereka dan kemudian membawa mobil mereka bersama sopir KBRI
yang mereka sewa, Ibrahim. Meutya dan rekannya tidak tahu kemana mereka dibawa.
Mereka dibawa ke gurun, padang pasir yang terhampar luas. Tidak ada jalan lain
untuk Meutya dan Budi, kecuali mengikuti para penyandera. Tak mungkin mereka
melarikan diri, bisa jadi mati konyol. Mereka diboyong ke dalam gua kecil yang
terdapat di gurun.
Hampir setiap
malam pesawat berlalu lalang di udara, benar-benar menciptakan suasana yang
mencekam. Ternyata, gua yang menjadi tempat penyekapan mereka tersebut, berada
antara Ramadi dan Fallujah, zona pertempuran antara gerilyawan Irak dan tentara
koalisi. Jika pertempuran pecah, maka gua itu akan menjadi sasaran mantap
kumpulan peluru dari kedua kubu yang bertempur.
Berbeda
dengan suasana penyandera pada umumnya, yang disandera akan mendapatkan banyak
tindak keji dan penyiksaan, ini tidak terjadi pada Meutya, Budi dan Ibrahim
sang sopir, mereka mendapat perlakuan yang ramah, dan mereka hanya diminta
keterangan tujuan ke daerah tersebut. Meutya benar-benar dalam tugas
jurnalistik dan tidak terikat dengan politik manapun, hal ini berhubungan
dengan jurnalis koalisi yang mencuri
informasi dan menyampaikan berita dengan tidak berimbang.
Bersama para
penyandera, bernama Ahmad dan Muhammad, dan Ibrahim sebagai sopir sekaligus
penerjemah mereka, selama di gua, mereka seperti sahabat, menyatukan keakraban
dengan saling berbagi cerita, diantaranya yang paling mengena di hati mereka, yakni
saling berbagi tentang keluarga. Hal ini
pun, membuat Meutya semakin rindu dengan sang Ibu, sanak saudara, dan mendiang
ayahnya yang baru saja berpamit ke pangkuan Ilahi, sungguh membuat sesak hati
Meutya di gurun, begitu pula dengan Budiyono yang rindu kepada Istri dan
anak-anaknya. Mereka berharap segera bebas.
Selama
beberapa hari itu, mereka diperlakukan dengan sangat baik layaknya tamu.
Makanan-makanan hangat dan air setiap hari diantar dalam jumlah yang cukup
banyak, dengan menu-menu yang spesial
pula, padahal mujahidin-mujahidin yang mengantarkan makanan tersebut, nyawa
menjadi taruhannya dalam perjalanan menuju gua.
Pembebasan yang
berliku-liku pun meski dilewati dengan penuh kesabaran dan ketegangan. Banyak
sekali peristiwa yang rasanya membuat nyawa mereka serasa diujung tanduk,
namun ternyata mereka bisa bertahan dan
mampu melewati itu semua.
Buku ini
memberikan pelajaran bagi kita, bahwa setiap pekerjaan itu memiliki resiko,
yang kadang menantang dan berbahaya. Kita pun harus mengukur seberapa siap dan
seberapa besar kemampuan kita dalam mengemban tugas tersebut. Bukannya maju tanpa bekal kemampuan yang
memadai dan bermodal nekat saja. Semua harus dipikirkan dan bertindak dengan
cerdas serta matang.
Buku ini juga
mengajak kita merenungi nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan, dan tidak
menyombongkan diri serta melepas diri akan Keagungan dan Kuasa Tuhan Yang Maha
Esa. Kemudian, ketika manusia berada
dalam keputusasaan dan merasa tak akan melihat hari esok, masih ada Tuhan yang memiliki Kehendak dan Rencana
lain, maka apapun bisa terjadi. Dan atas Perlindungan dan Kekuasaan-Nya, Meutya
dan Budiyono, bisa keluar dengan selamat dan sehat walafiat dari Irak yang
penuh ancaman.
Tidak hanya
penuh ketegangan dan menumbuhkan rasa penasaran pada setiap halamannya, buku
ini juga terkadang mengajak kita tersenyum, tertawa dan bahkan meneteskan air
mata.
Judul Buku: 168 Jam Dalam Sandera
(Memoar Jurnalis Indonesia yang disadera di Irak)
Penulis : Meutya Hafid (Reporter Metro TV)
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Jenis buku: memoar
Tahun terbit: 2007
Jumlah Halaman: 280 Halaman.
Resensi oleh : Sukardi (Adi
TB)
0 Komentar