Oleh : Sukardi (Adi
TB)
Masa orientasi sekolah, menjadi
awal pertemuan aku dan dia. Saat itu, pulpenku terjatuh di halaman sekolah. Pulpenku
terjatuh, karena aku tergopoh-gopoh, berlari mendekati senior yang sedang memanggilku.
Aku sempat kebingungan, ketika berkumpul di taman sekolah, dan akan mencatat
perlengkapan, ku rogoh saku bajuku, pulpenku sudah tidak bersamaku lagi, aku
sedih, aku penuh harap pulpen itu kembali.
“Ini pulpenmu kan?” ucap seorang pria bertubuh
tegap, sambil memberikan sebuah pulpen. Aku hanya tersenyum, aku langsung
mengenal pulpen itu, aku segera mengambil pulpen kesayanganku itu.
“Iya, ini pulpenku, terimakasih
Bang?” aku bergegas dari hadapan pria itu. Bukan, bukan karena aku sombong, lagi-lagi
aku dipanggil oleh seniorku, aku diperintahkan untuk membersihkan sampah seusai
istirahat makan siang.
Pulpen ini pemberian almarhum
ayahku, hadiah ulang tahunku yang ke 13 tahun. Masih aku simpan dan aku gunakan
pada momen tertentu. Warnanya keemasan,
bertinta hitam. Gia Gunawan, ukiran
nama di bagian belakang pulpenku. Gia namaku,
dan Gunawan nama ayahku.
Beliau kembali ke Pangkuan Ilahi,
ketika aku mengikuti ujian nasional sekolah menengah pertama. Ayah senang
memanggil aku dengan panggilan Sayang. Ayah memberikan sebuah buku dan berpesan
kepadaku “Kamu belajar dengan baik ya,
buka buku ini setelah usiamu 17 tahun”. Air mataku menetes di atas buku
yang Ayah berikan. Sekarang usiaku 16 tahun, 1 tahun lagi aku baru boleh
membuka buku ini, sesuai amanah ayahku.
“Adik-adik sekalian, hari ini,
MOS terakhir kalian” suara senior dari pengeras suara.
Horee.. gegap gempita suara siswa
baru, sambil ketawa-ketiwi. Namun, tidak denganku, aku merasa sedih. Sedih yang
kurasakan ini, karena di benakku teringat seorang pria yang membantu
mengambilkan pulpen kesayanganku, namun sampai saat ini, aku belum ketemu dia
lagi.
“Apakah dia malaikat?” ucapanku
dalam lamunan.
“Woi, ngomong opo?, ngelamun aja
kamu” Surti, sahabat baru satu kelompok di MOS membangunkan lamunan indahku.
Aku tidak menjawab apa-apa, aku
tersenyum dan mengharapkan kehadirannya. Hingga penutupan masa orientasi
sekolah, pria itu tidak tampak wujudnya.
*****
Matahari terbit dari ufuk timur,begitu
bersemangat, lebih cerah dari biasanya, mungkin Ia tahu akan semangatku
mengayuh sepeda, di hari pertama masuk sekolah. Sepeda ini bergerak dengan nyaman dan ikhlas bersamaku. Sepedaku bernama
“Si Blue” karena warna birunya yang gagah, membuat aku semakin suka dengannya.
Sepeda ini aku beli ketika awal masuk SMA, ku beli dari hasil tabunganku selama
SMP. Sejak kecil, aku diajarin menabung oleh mendiang Ayah, manfaatnya dapat kurasakan
sekarang.
“Hei, jago ngebut juga ya”
seorang pria menyapa dengan gaya lembut, sepeda warna putih membawanya melaju.
“Emm.. gak juga, ini selow aja”
jawabku, mengikuti alur ucapannya tadi.
“Haha, segini selow, gimana
lajunya?, yang lain lewat!”
“Kamu, bisa aja ngeledek”
Setelah bertegur sapa, tatapan
kami kembali fokus menghadap kedepan, jalanan masih pagi. Aku masih cuek saja
dengan pria yang ada di sampingku. Di sela-sela aku tidak menghiraukannya,
hatiku tiba-tiba berkata, itu pria yang
kamu cari kemarin, aku menghela napas sejenak, dan bertanya lagi ke dalam
hati, masa itu prianya? ,
“Kamu…..” aku menoleh ke arahnya.
Aku melihat ke depan, ke samping dan menoleh ke belakang. Pria itu sudah menghilang
“Huft aneh…” aku segera melajukan kendaraanku, 10 menit
lagi pagar sekolah ditutup.
Pagar sekolah yang megah,
menyambutku dengan sejuta senyuman indah, sahabat satu angkatan, menyapa penuh
keramahan. Hanya ada 3 orang pria, yang memandangku dengan penuh sinis dan
keganasan. Mereka mirip siluman.
“Hey.. kalau lewat depan kami
bertiga, kamu harus sopan!” kata seorang yang cungkring di antara mereka.
Aku tidak meladeni mereka, dan
aku lewat saja, menuju parkir sepeda, dan memarkirkan sepedaku. Ternyata mereka
bertiga tadi tidak puas, mereka menghampiriku.
“Hey!, kamu tuli ya?” mereka
menghampiriku dan menendang sepedaku hingga tumbang.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa,
aku hanya menangis. Mereka malah ketawa menjadi-jadi. Semakin kuat, semakin
keras. Aku kasihan melihat sepedaku yang tak bersalah, tumbang.
Gubraak…!!!, ketiga pria jahil
itu masuk ke dalam gundukan sampah.
“Kalian jangan berani dengan
wanita ya. Kalau mau ganggu, ganggu aku saja, kita sebanding”.
Pria itu, pria baik hati dan
tampan, lagi-lagi membantuku. Setelah membereskan ketiga pria jahil itu, ia menghampiriku
dengan begitu gagah, seperti seorang pangeran yang baru saja menang peperangan,
dia tidak sombong, tetap dengan senyum manisnya.
“Kamu tidak apa-apa kan?” tanya pria itu dengan nada lembut.
“Aku tidak apa-apa, terima kasih
ya?” jawabku dengan sopan dan sedikit gugup.
“Namamu siapa?”
“Aku Gia. Gia Gunawan”
“Nama yang bagus. Semangat
belajar ya” Ia pergi dan tidak meninggalkan nama, aku masih malu untuk
menanyakannya.
****
Hari-hari sekolahku berjalan
dengan baik. Prestasiku pun baik. Sahabatku banyak, dari kebiasaanku menulis
puisi di mading sekolah, warga sekolah yang senang membaca tulisan di mading,
banyak yang mengenalku. Namun, pria yang baik, yang selalu datang ketika ada
masalah, dan menghilang ketika aku bahagia, tidak pernah ku lihat lagi, dan
besok usiaku sudah 17 tahun. Aku ingin dia datang, dan mengantarkan senyum
manisnya. Sungguh gila, aku penuh harap, dan mencari kenyataan yang tak pernah
pasti, aku masih bermimpi.
Hari ulang tahunku pun tiba. Aku
segera membuka buku yang diberikan mendiang Ayahku. Aku membaca sebuah tulisan.
“Gia Gunawan, anakku sayang, menikahlah dengan seorang pria yang baik
akhlaknya dan taat beribadah. Ayah doakan, kamu bertemu dengan pria yang suka
membantumu, dan tak pernah berharap balasan, seperti air yang mengalir deras.
Ia Pria yang berjiwa sebagai penjagamu, pengganti Ayahmu. Gia, menikahlah
setelah dirimu wisuda. Pendidikan yang baik, akan membuat hidupmu lebih mudah,
derajatmu akan lebih baik.
Anakku Sayang, Salam Ayah, buat
Ibumu tercinta”.
Aku menjaga amanah Ayah. Merawat
Ibu dengan baik. Sampai saat ini, Sang Pria yang ku kagumi itu, tidak pernah
hadir lagi. Aku berharap bisa bertemu denganny, ingin berbagi cerita tentang
Ayah ku tercinta, senyumnya membuat aku semakin bersemangat. Aku berdoa kepada
Ilahi, semoga kami di pertemukan lagi.
Aku lulus SMA, sebagai lulusan
terbaik. Aku diterima di Universitas favorit, jurusan penyiaran yang ku pilih.
Menjadi seorang penyiar professional, menjadi cita-citaku sejak diriku duduk di
bangku sekolah dasar. 4 tahun kuliah ku jalani dengan baik. Aku pun wisuda, dan menjadi sarjana komunikasi.
Aku segera melamar pekerjaan di
stasiun Televisi. Hari pertama, aku mengikuti seleksi wawancara, bertemu
langsung dengan redaktur.
“Gia Gunawan kan? Apa kabar?”
pria itu masih ingat secara utuh akan diriku. Seperti mimpi rasanya, ternyata
aku dipertemukan kembali dengan pria yang suka membantuku ketika SMA.
Aku sejak SMA belum tahu nama
pria baik itu. Hari ini, aku membaca sebuah nama di meja kerjanya, Sukardi,M.Kom . Nama yang gagah, segagah
orangnya.
“Gia, mendiang ayahmu, teman
akrab ayahku. Aku sudah kenal kamu sejak kecil, mungkin kamu lupa kepadaku,
dulu aku culun abis, haha”.. Pria itu ternyata sudah lama kenal diriku.
Aku tidak banyak bercerita, aku merasa
kaku, dan aku mengucapkan banyak terimakasih. Aku diterima kerja, bukan karena
ia kenal diriku, namun karena kemampuanku.
Malam Kamis, 20 Mei 2019, ia
datang ke rumahku. Ia temui Ibuku untuk melamarku. Aku senang. Kami
melaksanakan resepsi pernikahan, setelah dua tahun pernikahan, kami mendapatkan
anak perempuan, yang kami beri nama Eni Setiani Sukardi. Senyumnya manis, mirip
Ayahnya.
Aku, tetaplah Gia Gunawan, wanita
sederhana yang menghargai sebuah proses, untuk menggapai kebahagiaan.
#Selesai
0 Komentar