sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Gia Gunawan


Oleh : Sukardi (Adi TB)



Masa orientasi sekolah, menjadi awal pertemuan aku dan dia. Saat itu, pulpenku terjatuh di halaman sekolah. Pulpenku terjatuh, karena aku tergopoh-gopoh, berlari mendekati senior yang sedang memanggilku. Aku sempat kebingungan, ketika berkumpul di taman sekolah, dan akan mencatat perlengkapan, ku rogoh saku bajuku, pulpenku sudah tidak bersamaku lagi, aku sedih, aku penuh harap pulpen itu kembali.

 “Ini pulpenmu kan?” ucap seorang pria bertubuh tegap, sambil memberikan sebuah pulpen. Aku hanya tersenyum, aku langsung mengenal pulpen itu, aku segera mengambil pulpen kesayanganku itu.

“Iya, ini pulpenku, terimakasih Bang?” aku bergegas dari hadapan pria itu. Bukan, bukan karena aku sombong, lagi-lagi aku dipanggil oleh seniorku, aku diperintahkan untuk membersihkan sampah seusai istirahat makan siang.

Pulpen ini pemberian almarhum ayahku, hadiah ulang tahunku yang ke 13 tahun. Masih aku simpan dan aku gunakan pada momen tertentu. Warnanya keemasan,  bertinta hitam. Gia Gunawan, ukiran nama di bagian belakang pulpenku.  Gia namaku, dan Gunawan nama ayahku.

Beliau kembali ke Pangkuan Ilahi, ketika aku mengikuti ujian nasional sekolah menengah pertama. Ayah senang memanggil aku dengan panggilan Sayang. Ayah memberikan sebuah buku dan berpesan kepadaku “Kamu belajar dengan baik ya, buka buku ini setelah usiamu 17 tahun”. Air mataku menetes di atas buku yang Ayah berikan. Sekarang usiaku 16 tahun, 1 tahun lagi aku baru boleh membuka buku ini, sesuai amanah ayahku.

“Adik-adik sekalian, hari ini, MOS terakhir kalian” suara senior dari pengeras suara.
Horee.. gegap gempita suara siswa baru, sambil ketawa-ketiwi. Namun, tidak denganku, aku merasa sedih. Sedih yang kurasakan ini, karena di benakku teringat seorang pria yang membantu mengambilkan pulpen kesayanganku, namun sampai saat ini, aku belum ketemu dia lagi.
“Apakah dia malaikat?” ucapanku dalam lamunan.
“Woi, ngomong opo?, ngelamun aja kamu” Surti, sahabat baru satu kelompok di MOS membangunkan lamunan indahku.
Aku tidak menjawab apa-apa, aku tersenyum dan mengharapkan kehadirannya. Hingga penutupan masa orientasi sekolah, pria itu tidak tampak wujudnya.
*****

Matahari terbit dari ufuk timur,begitu bersemangat, lebih cerah dari biasanya, mungkin Ia tahu akan semangatku mengayuh sepeda, di hari pertama masuk sekolah. Sepeda ini bergerak dengan  nyaman dan ikhlas bersamaku. Sepedaku bernama “Si Blue” karena warna birunya yang gagah, membuat aku semakin suka dengannya. Sepeda ini aku beli ketika awal masuk SMA, ku beli dari hasil tabunganku selama SMP. Sejak kecil, aku diajarin menabung oleh mendiang Ayah, manfaatnya dapat kurasakan sekarang.

“Hei, jago ngebut juga ya” seorang pria menyapa dengan gaya lembut, sepeda warna putih membawanya melaju.
“Emm.. gak juga, ini selow aja” jawabku, mengikuti alur ucapannya tadi.
“Haha, segini selow, gimana lajunya?, yang lain lewat!”
“Kamu, bisa aja ngeledek”
Setelah bertegur sapa, tatapan kami kembali fokus menghadap kedepan, jalanan masih pagi. Aku masih cuek saja dengan pria yang ada di sampingku. Di sela-sela aku tidak menghiraukannya, hatiku tiba-tiba berkata, itu pria yang kamu cari kemarin, aku menghela napas sejenak, dan bertanya lagi ke dalam hati, masa itu prianya? ,
“Kamu…..” aku menoleh ke arahnya. Aku melihat ke depan, ke samping dan menoleh ke belakang. Pria itu sudah menghilang
“Huft aneh…”  aku segera melajukan kendaraanku, 10 menit lagi pagar sekolah ditutup.
Pagar sekolah yang megah, menyambutku dengan sejuta senyuman indah, sahabat satu angkatan, menyapa penuh keramahan. Hanya ada 3 orang pria, yang memandangku dengan penuh sinis dan keganasan. Mereka mirip siluman.
“Hey.. kalau lewat depan kami bertiga, kamu harus sopan!” kata seorang yang cungkring di antara mereka.
Aku tidak meladeni mereka, dan aku lewat saja, menuju parkir sepeda, dan memarkirkan sepedaku. Ternyata mereka bertiga tadi tidak puas, mereka menghampiriku.
“Hey!, kamu tuli ya?” mereka menghampiriku dan menendang sepedaku hingga tumbang.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa, aku hanya menangis. Mereka malah ketawa menjadi-jadi. Semakin kuat, semakin keras. Aku kasihan melihat sepedaku yang tak bersalah, tumbang.
Gubraak…!!!, ketiga pria jahil itu masuk ke dalam gundukan sampah.
“Kalian jangan berani dengan wanita ya. Kalau mau ganggu, ganggu aku saja, kita sebanding”.
Pria itu, pria baik hati dan tampan, lagi-lagi membantuku. Setelah membereskan ketiga pria jahil itu, ia menghampiriku dengan begitu gagah, seperti seorang pangeran yang baru saja menang peperangan, dia tidak sombong, tetap dengan senyum manisnya.
“Kamu tidak apa-apa kan?”  tanya pria itu dengan nada lembut.
“Aku tidak apa-apa, terima kasih ya?” jawabku dengan sopan dan sedikit gugup.
“Namamu siapa?”
“Aku Gia. Gia Gunawan”
“Nama yang bagus. Semangat belajar ya” Ia pergi dan tidak meninggalkan nama, aku masih malu untuk menanyakannya.
****

Hari-hari sekolahku berjalan dengan baik. Prestasiku pun baik. Sahabatku banyak, dari kebiasaanku menulis puisi di mading sekolah, warga sekolah yang senang membaca tulisan di mading, banyak yang mengenalku. Namun, pria yang baik, yang selalu datang ketika ada masalah, dan menghilang ketika aku bahagia, tidak pernah ku lihat lagi, dan besok usiaku sudah 17 tahun. Aku ingin dia datang, dan mengantarkan senyum manisnya. Sungguh gila, aku penuh harap, dan mencari kenyataan yang tak pernah pasti, aku masih bermimpi.
Hari ulang tahunku pun tiba. Aku segera membuka buku yang diberikan mendiang Ayahku.  Aku membaca sebuah tulisan.

“Gia Gunawan, anakku sayang, menikahlah dengan seorang pria yang baik akhlaknya dan taat beribadah. Ayah doakan, kamu bertemu dengan pria yang suka membantumu, dan tak pernah berharap balasan, seperti air yang mengalir deras. Ia Pria yang berjiwa sebagai penjagamu, pengganti Ayahmu. Gia, menikahlah setelah dirimu wisuda. Pendidikan yang baik, akan membuat hidupmu lebih mudah, derajatmu akan lebih baik.
Anakku Sayang,  Salam Ayah, buat Ibumu tercinta”.

Aku menjaga amanah Ayah. Merawat Ibu dengan baik. Sampai saat ini, Sang Pria yang ku kagumi itu, tidak pernah hadir lagi. Aku berharap bisa bertemu denganny, ingin berbagi cerita tentang Ayah ku tercinta, senyumnya membuat aku semakin bersemangat. Aku berdoa kepada Ilahi, semoga kami di pertemukan lagi.
Aku lulus SMA, sebagai lulusan terbaik. Aku diterima di Universitas favorit, jurusan penyiaran yang ku pilih. Menjadi seorang penyiar professional,  menjadi cita-citaku sejak diriku duduk di bangku sekolah dasar. 4 tahun kuliah ku jalani dengan baik. Aku pun  wisuda, dan menjadi sarjana komunikasi.

Aku segera melamar pekerjaan di stasiun Televisi. Hari pertama, aku mengikuti seleksi wawancara, bertemu langsung dengan redaktur.
“Gia Gunawan kan? Apa kabar?” pria itu masih ingat secara utuh akan diriku. Seperti mimpi rasanya, ternyata aku dipertemukan kembali dengan pria yang suka membantuku ketika SMA.
Aku sejak SMA belum tahu nama pria baik itu. Hari ini, aku membaca sebuah nama di meja kerjanya, Sukardi,M.Kom . Nama yang gagah, segagah orangnya.
“Gia, mendiang ayahmu, teman akrab ayahku. Aku sudah kenal kamu sejak kecil, mungkin kamu lupa kepadaku, dulu aku culun abis, haha”.. Pria itu ternyata sudah lama kenal diriku.
Aku tidak banyak bercerita, aku merasa kaku, dan aku mengucapkan banyak terimakasih. Aku diterima kerja, bukan karena ia kenal diriku, namun karena kemampuanku.
Malam Kamis, 20 Mei 2019, ia datang ke rumahku. Ia temui Ibuku untuk melamarku. Aku senang. Kami melaksanakan resepsi pernikahan, setelah dua tahun pernikahan, kami mendapatkan anak perempuan, yang kami beri nama Eni Setiani Sukardi. Senyumnya manis, mirip Ayahnya.
Aku, tetaplah Gia Gunawan, wanita sederhana yang menghargai sebuah proses, untuk menggapai kebahagiaan.

#Selesai

                                                                                                                    


Posting Komentar

0 Komentar