Pangeran
Oleh : Sukardi
(Adi TB)
Senin, 9 Mei 2016
Langkah kecilnya
menari seirama. Bergerak penuh drama. Suasana di sekeliling terasa sama.
Hembusan angin melepas dahaga. Semakin jauh langkahnya, semakin laju napasnya.
Gesit hinggap bak parasit. Cekatan menaruh ungkapan. Dekap doa dalam ucapan,
pemuda kecil bernama Pangeran.
Pangeran,
nama yang indah. Nama yang menempel pada pemuda anak seorang raja. Nama yang
bila diucapkan mampu membuat bidadari yang sedang mandi di sungai, segera
berkemas ingin melihat ketampanannya.
Pangeran
yang ini berbeda, ia hanya anak seorang tukang becak. Ibunya seorang pedagang
tempe goreng di halaman rumah. Pangeran, nama yang disematkan oleh pasangan
yang sederhana, bukan keturunan raja-raja. Pangeran yang tidak memelas senyum
para bidadari, pengeran yang dalam hidupnya mengabdi kepada Ilahi.
“Allahuakbar,
Allahuakbar…,” kumandang azan yang dilantunkan oleh Pangeran. Di sebuah musolah, tidak jauh dari gubuknya. Pangeran memang pria sederhana dan rajin
beribadah. Azan subuh selalu ia yang mengumandangkan. Ini bukan karena
tidak ada orang di kampung tersebut yang bisa azan, ini karena para pemudanya enggan beranjak ke musolah, mampir pun
jarang. Sedangkan para muazin di kampung tersebut sudah lanjut usia, mau bernapas
saja susah, apalagi azan dengan napas yang yang panjang.
Suatu
hari, tumbuh rasa bimbang pada hati Pangeran. Kebimbangan itu muncul ketika
Pangeran akan berangkat merantau. Tujuannya merantau ialah untuk melanjutkan
pendidikan ke bangku kuliah. Kebimbangan yang menumpuk di hati dan pikiran
pengeran ialah siapakah yang akan menggantikan ia azan, apabila ia tiada di kampung
itu.
Sebagai
seorang anak yang baik, ia meminta nasihat kepada kedua orang tuanya.
“Abah,
bagaimana ini, kalau Pangeran berangkat kuliah ke kota, di kampung ini tak ada
yang azan?” ucap Pangeran dengan raut wajah sedih.
Ayah
Pangeran terdiam sejenak, sambil menghela napas, beliau tampak kelelahan
setelah seharian membawa becaknya.
“Ayah
pun bingung Nak, dengan anak pemuda di kampung kita, mereka tidak peduli dengan
rumah ibadah, tidak mau azan, padahal mereka dulu juga belajar mengaji
bersama-sama denganmu, dan di antara pemuda di kampung ini juga ada yang pernah
menang lomba azan di kabupaten. Namun…,” Ayah Pangeran menahan kata, ia tampak
sedih.
Sekarang
giliran sang Ibu yang Pangeran minta pendapatnya.
“Bagaimana
menurut ibu, apakah aku boleh merantau?” tanya Pangeran dengan wajah serius.
“Sebenarnya,
berat rasanya Ibu untuk mengizinkanmu berangkat merantau. Kita tahulah, musolah
kita akan sepi dari kumandang azan,” jawab Ibu langsung ke pokok masalah.
Pangeran,
Ayah dan Ibu mematung di teras rumah ditemani dengan suara-suara penghuni
malam.(*)
Saigon, Pontianak Timur.
*Cerita Pendek ini mengenang kampung
yang terdapat pemuda namun sangat jarang
bahkan tidak pernah mengumandangkan azan di musolah/surau/langgar/masjid.
0 Komentar