Catatan Panjang Untuk Lagu Berjudul Goblok Milik Puck Mude
Ditulis Oleh: Claudia Liberani Randungan
Foto: Puck Mude pada saat Konser Buku Kalbar Book Fair 2017/ Claudia LR |
Pertemuan pertama saya dengan Puck Mude, seorang musisi lokal beraliran musik rock and roll di Pontianak terjadi di sebuah acara Konser Buku, yang menjadi rangkaian acara Kalbar Book Fair 2017 yang dilaksanakan di Rumah Radakng sejak tanggal 1-7 November. Malam itu saya datang untuk meliput, dan dia menjadi penyanyi yang mengisi acara tersebut. Satu di antara lagu yang dibawakannya berjudul Goblok. Sebuah lagu yang menurut saya cukup menggambarkan bagaimana peran perempuan ditentukan oleh konstruksi sosial.
Perempuan tidak bisa memasak goblok. Begitu kalimat yang terdapat dalam lirik lagunya. Agus Ramdani, nama asli dari Puck Mude mangatakan lagu itu merupakan bentuk kritik terhadap perempuan-prempuan masa kini yang telah melupakan kodratnya.
“Cewek nda bisa masak agak goblok, masa cewek ndak bisa masak, kan lucu, masa laki-laki yang masak? Pesan dari lagu ini ingin menyampaikan kodrat seorang cewek harus bisa masak. Kalau zaman dulu anak cewek harus bisa masak, tapi sekarang sudah dilupakan. Cewek sekarang shopping, clubbing, pacaran jago. Disuruh masak masa nda mau. Macam mana cerita?,” katanya saat saya temui seusai acara malam itu.
Lirik lagu Goblok terngiang-ngiang di telinga saya sampai berhari-hari setelahnya. Tadi pagi saya membuat survey kecil-kecilan, melalui poling Instagram saya bertanya setujukah dengan anggapan yang mengatakan cewek yang tidak bisa memasak goblok, hasilnya dari 221 responden, 81 % mengatakan tidak setuju sedangkan 19 % memilih setuju.
Hasil poling menunjukkan mayoritas teman-teman di instagram saya bukanlah orang-orang yang berpikiran purba. ehe. Mungkin kalau pertanyaan ini saya lempar ke ruang lingkup yang lebih kecil dan khusus, hasilnya akan berbeda, mengingat pertemanan di Instagram tidak terbatas dari kalangan dan daerah tertentu.
Menyoal tentang lirik lagu Goblok yang mengatakan cewek tidak bisa memasak goblok yang kemudian ditegaskannya dengan pernyataan memasak adalah kodrat perempuan, saya ingin meluruskan apa yang dimaksud kodrat.
Kodrat merupakan sesuatu yang datang dari Tuhan, yang sifatnya tidak bisa ditukar-tukar. Kodrat membedakan jenis kelamin. Berbeda dengan gender yang merupakan peran sosial yang diberikan untuk perempuan dan laki-laki. Gender antara laki-laki dan perempuan bisa ditukar, bisa saling melengkapi. Perempuan sering dilekatkan dengan pekerjaan domestik sementara laki-laki dengan pekerjaan produktif. Perempuan dan laki-laki bisa saling melengkapi dalam gender, bisa bertukar posisi, tetap tidak dengan kodrat.
Kodrat adalah sesuatu yang tidak bisa diubah, kodrat perempuan tidak bisa diubah oleh kodrat laki-laki, dan sebaliknya. Kodrat perempuan ada tiga, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ini adalah kodrat perempuan karena hal ini tidak bisa digantikan laki-laki.
Jadi, apakah memasak itu kodrat perempuan?
Tentu saja bukan. Kodrat perempuan hanya tiga.
Memasak bukanlah kodrat. Memasak merupakan keahlian. Anggapan yang mengatakan perempuan tidak bisa memasak goblok harusnya tidak didengar, sama seperti anggapan laki-laki yang tidak bisa mengendarai motor bego, tidak harus didengar.
Memasak adalah keahlian, sama seperti menjahit, menyetir, memasang aliran listrik, atau bertukang. Keahlian akan terus terasah seiring dengan pembiasaan. Lantas mengatakan goblok para wanita yang tidak terbiasa memasak?
Saya kenal banyak teman-teman wanita cerdas yang masa depannya cerah dan mereka sangat lemah ketika berada di dapur. Kehadiran pembantu dan rumah makan siap saji yang selalu terbuka lebar pintunya menjadi satu di antara alasan mengapa orang-orang tidak biasa memasak, sehingga tidak bisa mengolah sayuran atau daging.
Satu dari musisi indie asal Bandung sekaligus penulis yang sering membagi bahan diskusi pada saya, Fiersa Besari saya mintai pendapat juga. Dia yang baru saja menyelesaikan perjalanan dari Gunug Patah bersama Ramon Yusuf Tungka yang tergabung dalam Eiger Adventure menjawab pertanyaan saya dengan berkelakar.
"Entah cewek atau cowok, kalau enggak bisa masak bukan berarti bodoh. Kalau bisa masak, jadi nilai plus. Kenapa? karena aku ngerasain itu pas di hutan kemarin. Bisa masak atau mengenali makanan adalah syarat wajib untuk bertahan hidup. Enggak bisa masak itu kayak enggak bisa nyetir. Enggak bodoh, tapi akan lebih baik kalau bisa," katanya melalui kotak pesan hijau, Line.
Tidak hanya Bung, sapaan akrab Fiersa Besari, teman saya yang merupakan pendiri Liga Filsafat, Sebastianus Lukito mengungkapkan hal senada. Dia menyampaikan memasak bukanlah kodrat, memasak adalah keahlian di suatu bidang yang siapa saja boleh mempelajarinya, dan jika tidak berhasil bukan berarti dia goblok.
"Mau dia perempuan, laki-laki, transgender, biseksual, dll, aku memandang mereka sama rata. Mau menggapai bidang fisika, astronot, atau mau masak, itu kehendak bebas manusia untuk saling melengkapi," ujarnya.
Hal yang sama saya tanyakan pada teman sesama Komunitas Pecandu Buku Jabodetabek, Nunu. Dia yang memang concern menyuarakan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki mengatakan memasak bukanlah kodrat. Memasak adalah keahlian, dan pilihan.
Saya pribadi menentang pernyataan Puck Mude, karena kodrat perempuan adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui. Dapur, sumur, dan kasur bukanlah kodrat tapi tugas yang bisa dikerjakan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Mungkin orang-orang yang stereotip belum membaca jika pekerjaan domestik rumah tangga kini sudah mulai banyak dikerjakan laki-laki, sehingga muncul istilah Bapak Rumah Tangga (BRT), dan berdasarkan catatan Pew Research Center jumlah laki-laki di Amerika Serikat yang memutuskan menjadi BRT semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Saya banyak merenung setelah wawancara itu. Apalagi jika membahas pernyataannya yang mengatakan perempuan masa kini lebih jago shopping, clubbing, dan pacaran (dia menekankan tidak semua perempuan masa kini seperti itu). Terlepas dari peran ganda perempuan, kita juga harus membahas kecacatan eksistensialis terhadap kaum wanita seperti yang dipaparkan Simon de Beauvoir. Lain kali akan saya tulis.
Saya senang menuangkan gagasan saya dalam bentuk tulisan, saya tetap kagum pada bang Agus Ramdani. Beliau merupakan satu dari musisi lokal Pontianak yang kiprahnya sudah tidak diragukan lagi. Lagu-lagunya memang kerap mengangkat isu di lingkungan sehari-hari. Seperti musik adalah kebebasan, begitu pula dengan menulis. Jika Puck Mude bebas menuangkan ide melalui musik, maka saya melalui tulisan.
Tabik dari Clau, cewek berusia 21 tahun, seorang pekerja teks komersil, lulus dari Fakultas Hukum yang memiliki akreditasi A dengan IPK 3.72 dan tidak bisa memasak. Lantas saya goblok?
Bagi saya, siapa saja yang perlu makan, maka harus memasak, mau dia cewek atau cowok. Tidak bisa memasak berarti bodoh? tidak, itu hanya soal pembiasaan. Memasak itu hanyalah satu dari peran ganda seorang wanita, intinya saya menulis ini agar teman-teman atau adik-adik saya tau apa itu kodrat dan gender. Tidak ada labeling lagi kalau anak cewek harus bisa masak, anak cewek harus bisa mengurus rumah, dan labeling lainnya yang jika tidak bisa dipenuhi oleh wanita maka wanita dianggap menyalahi kodratnya, sementara kodratnya adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui. Kodrat adalah yang kita bawa sejak lahir, kalau memasak itu kodrat maka tidak perlu dibuka kelas-kelas memasak karena kalau kodrat maka wanita sudah bisa melakukannya tanpa harus belajar.
Sumber: http://www.claudialiberani.com/2017/11/catatan-panjang-untuk-lagu-berjudul.html?m=1
0 Komentar