sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Sarung Untuk Kodhel

Oleh : Sukardi (Adi TB)

Azan subuh berkumandang, seruan bagi umat Islam beribadah kepada Sang Kholig dan Maha Kuasa Allah SWT. Udara sejuk menggeluti hati untuk bangkit dari tidur lelap. Selimut yang merekat, menutupi tubuh dan melukiskan dinginnya suasana subuh. Bisikan nyamuk yang begitu merdu, membuat mata dan tubuh sulit untuk bangkit. Namun pada hati insan yang kuat dan putih, akan berusaha keras untuk melepaskankan nikmatnya tidur, bergegas mengambil air wudhu, mengikhlaskan jiwa dan raga untuk melaksanakan ibadah sholat subuh.


Fatul anak seorang tukang cuci pakaian. Hidup sederhana bersama adik laki-lakinya yang bernama Kodhel. Keseharian mereka tidak semewah orang kalangan ekonomi menengah ke atas, yang bisa menikmati hidup dengan makan teratur. Fatul dan keluarga hanya mampu makan satu kali sehari. Ayah Fatul telah lama wafat, ketika Fatul  berusia tujuh tahun dan  Kodhel berusia lima tahun.      Ibu Fatul berjuang mencari nafkah demi sesuap nasi, walau hanya menjadi tukang cuci pakaian rumah tangga ibu Fatul tidak pernah mengeluh dan berpasrah.       Ibu Fatul tetap semangat demi anak-anak tersayangnya.
           
Sebagai anak pertama Fatul harus bisa belajar hidup mandiri, sejak usia delapan tahun Fatul telah berusaha untuk bekerja. Setiap pagi dia berada di tengah-tengah kendaraan kota tepatnya di lampu merah berjualan koran yang penghasilannya tidak seberapa. Namun semangat Fatul sangat tinggi dia tidak perduli dengan kondisi cuaca seperti hujan dan panas sudah menjadi teman di dalam kehidupannya.
           
Suatu hari ketika Fatul pulang dari menjual koran, ia melihat seorang nenek tua renta yang duduk di pinggir jalan. Penuh rasa penasaran di hati Fatul sehingga ia mencoba  mendekati sang nenek.

Assalamualaikum Nek?’’Fatul mengawali salam kepada nenek.
Waalaikumsalam Nak...,’’nenek menjawab salam Fatul dengan suara pelan.
Mengapa nenek duduk sendiri di sini dan mengapa nenek menangis?” tanya Fatul yang sangat ingin tahu.
Nenek belum makan nak, sudah dua hari.”Jawab nenek itu.
      
Spontan air mata Fatul menetes sedih melihat keadaan sang nenek, hati Fatul tersentuh oleh ucapan nenek itu dan ingin sekali Fatul membantunya. Kemudian Fatul mengambil uang di kantong bajunya dan terdapat beberapa lembaran uang, uang tersebut Fatul dapat dari jualan koran tadi pagi. Cahaya matahari mulai meninggi dahaga pun memburu kerongkongan Fatul, namun kembali ia menatap nenek itu. Hati kecil Fatul berkata untuk memberi uangnya kepada sang nenek.
Nek, Fatul ada sedikit uang untuk nenek, terimalah untuk membeli makanan,” Fatul memberi uang kepada nenek.
“Terimakasih Nak, baik sekali hatimu. Semoga amal kebaikanmu dibalas oleh Allah SWT,’’ ucap terimakasih dan doa dari sang nenek untuk Fatul.

Kodhel adiknya si Fatul ingin masuk ngaji namun faktor ekonomi yang sangat rendah si Kodhel belum punya sarung. Hal itu membuat pikiran dan hati Fatul sedih melihat keadaan adiknya yang memiliki kemauan tinggi untuk masuk mengaji namun tidak punya sarung. Fatul tetap optimis dan yakin akan jalan hidup  yang telah diatur oleh Allah SWT.

“Abang, Kodhel pengen masuk mengaji,” pernyataan Kodhel.
“Bagus, Abang dukung kamu,’’ semangat Fathul.
“Hem… tapi Kodhel tidak punya sarung Bang,” Sedih Kodhel.
“O ya, jangan sedih Dhel, Abang akan usahakan bisa beli sarung untuk Kodhel pakai mengaji” janji Fatul.
“Serius Bang?” tanya Kodhel.
“Iya Dhel, Abang serius.” Fatul menyakinkan.
“Terima Kasih Abang,” Kodhel dengan senyum memeluk Fatul.

            Pagi itu hari jumat, terlihat Fatul yang semangat menjual koran di lampu merah. Dalam hatinya terus berdoa, pikiran Fatul terus terbayang membeli sebuah sarung untuk si Kodhel.
“Koran-koran…., pak, buk, koran. Berita hangat, berita hangat.” Fatul menawarkan koran yang dibawanya.
Satu rangkap koran dipegang pakai tangan kanan dan di angkat, kemudian koran  selebihnya dipegang pakai tangan kiri.
Kendaraan berhenti sejenak di lampu merah. Fatul berjalan dengan hati-hati dan pelan-pelan. Fatul menyelip diantara kendaraan itu dengan sambil menawarkan koran yang dibawa.

Tiba-tiba datang seorang bapak berusia parubaya membeli koran yang dibawa Fatul. Anehnya, bapak tersebut membeli tidak dengan harga seperti biasanya yakni dua ribu rupiah, akan tetapi bapak tersebut membayar dengan uang dua ratus ribu rupiah.

Nak, beli korannya,” kata bapak tersebut.
Iya Pak, berapa? tanya fatul dengan sopan.
Satu saja dan ini uangnya,” bapak tersebut memberi uang.

Betapa kagetnya si Fatul dan dia berusaha menolak, namun bapak tersebut tetap memberikan uang bayaran koran yang Fatul anggap aneh dan ia terima dengan ucapan terima kasih atas bantuan bapak berusia parubaya itu.
Fatul  mengucap syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT melalui perantara bapak si pembeli koran.

Segera Fatul ke toko pakaian untuk membeli sarung. Dan langsung pulang kerumah setelah dari toko. Senja pun hadir dan matahari kembali ketempat peraduannya.

“Assalamualaikum Bu, Kodhel?” Fatul Mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam …” jawab  Ibu dan Kodhel dari dalam gubuk bambu.
“Bu , Dhel, Ni fatul ada bawa sesuatu,” Fatul memberitahu.
“Abang bawa apa tu?” tanya Kodhel.
“Alhamdulillah, Abang dapat rezeki dikit. tadi ketika menjual Koran, ada seorang bapak-bapak yang membayar dengan uang lebih. Dan akhirnya Abang bisa membeli sehelai sarung untuk Kodhel Masuk ngaji.
“Alhamdulillah, Ibu bangga sama kamu Nak,” bangga ibu kepada Fatul.
“Alhamdulillah, Kodhel senang banget bang, terima kasih Bang Fatul,” ucap syukur dan terima kasih Kodhel.


Betapa senangnya hati Fatul telah bisa membelikan sarung untuk si Kodhel. Akhirnya Kodhel pun bisa mengaji dengan menggunakan sarung dari Bang Fatul yang baik hati. (*)                                                                

Posting Komentar

0 Komentar