Oleh
: Sukardi (Adi TB)
Azan
subuh berkumandang, seruan bagi umat Islam
beribadah kepada Sang Kholig dan Maha Kuasa Allah SWT. Udara sejuk menggeluti
hati untuk bangkit dari tidur lelap.
Selimut yang merekat,
menutupi tubuh dan melukiskan dinginnya suasana subuh. Bisikan nyamuk yang
begitu merdu, membuat mata dan tubuh sulit untuk bangkit. Namun pada hati insan
yang kuat dan putih, akan berusaha keras untuk melepaskankan nikmatnya tidur, bergegas
mengambil air wudhu, mengikhlaskan jiwa dan raga untuk melaksanakan ibadah
sholat subuh.
Fatul
anak seorang tukang cuci pakaian. Hidup sederhana bersama adik laki-lakinya
yang bernama Kodhel.
Keseharian mereka tidak semewah orang kalangan ekonomi menengah ke atas, yang bisa menikmati
hidup dengan makan teratur. Fatul dan keluarga hanya mampu makan satu kali sehari.
Ayah Fatul telah lama wafat,
ketika Fatul berusia tujuh tahun dan Kodhel berusia lima tahun. Ibu
Fatul berjuang mencari nafkah demi sesuap nasi, walau hanya menjadi tukang cuci
pakaian rumah tangga ibu Fatul tidak pernah mengeluh dan berpasrah. Ibu
Fatul tetap semangat
demi anak-anak tersayangnya.
Sebagai
anak pertama Fatul
harus bisa belajar hidup mandiri, sejak usia delapan tahun Fatul telah berusaha
untuk bekerja. Setiap pagi dia berada di tengah-tengah kendaraan kota tepatnya
di lampu merah berjualan koran yang penghasilannya tidak seberapa. Namun semangat Fatul sangat tinggi dia
tidak perduli dengan kondisi
cuaca seperti hujan dan panas sudah
menjadi teman di dalam kehidupannya.
Suatu
hari ketika Fatul
pulang dari menjual koran, ia
melihat seorang nenek tua renta yang duduk di pinggir jalan. Penuh rasa
penasaran di hati Fatul
sehingga ia
mencoba mendekati sang nenek.
“Assalamualaikum Nek?’’Fatul mengawali salam
kepada nenek.
“Waalaikumsalam Nak...,’’nenek menjawab
salam Fatul dengan suara pelan.
“Mengapa nenek duduk
sendiri di sini
dan mengapa nenek menangis?” tanya Fatul
yang sangat ingin tahu.
“Nenek belum makan nak, sudah
dua hari.”Jawab nenek itu.
Spontan
air mata Fatul
menetes sedih melihat keadaan sang nenek, hati Fatul tersentuh oleh ucapan nenek itu dan
ingin sekali Fatul
membantunya. Kemudian Fatul mengambil uang di kantong bajunya dan terdapat
beberapa lembaran uang, uang tersebut Fatul dapat dari jualan
koran tadi pagi. Cahaya matahari mulai meninggi dahaga pun memburu kerongkongan
Fatul, namun kembali ia
menatap nenek itu. Hati
kecil Fatul berkata untuk memberi uangnya kepada sang nenek.
“Nek, Fatul ada sedikit uang
untuk nenek, terimalah untuk membeli makanan,”
Fatul memberi uang kepada nenek.
“Terimakasih
Nak, baik sekali hatimu. Semoga
amal kebaikanmu dibalas oleh Allah SWT,’’ ucap terimakasih dan doa dari sang
nenek untuk Fatul.
Kodhel
adiknya si Fatul
ingin masuk ngaji namun
faktor ekonomi yang sangat rendah si Kodhel
belum punya sarung. Hal itu membuat pikiran dan hati Fatul sedih melihat
keadaan adiknya yang memiliki kemauan tinggi untuk masuk mengaji namun tidak
punya sarung. Fatul tetap optimis dan yakin akan jalan hidup yang telah diatur oleh Allah SWT.
“Abang, Kodhel pengen masuk mengaji,” pernyataan
Kodhel.
“Bagus, Abang dukung kamu,’’ semangat Fathul.
“Hem… tapi Kodhel tidak punya sarung Bang,” Sedih
Kodhel.
“O ya, jangan sedih Dhel, Abang akan usahakan bisa
beli sarung untuk Kodhel pakai mengaji” janji Fatul.
“Serius Bang?” tanya Kodhel.
“Iya Dhel, Abang serius.” Fatul menyakinkan.
“Terima Kasih Abang,” Kodhel dengan senyum memeluk
Fatul.
Pagi itu hari jumat, terlihat Fatul yang semangat
menjual koran di lampu merah. Dalam hatinya
terus berdoa, pikiran Fatul
terus terbayang membeli sebuah sarung untuk si Kodhel.
“Koran-koran…., pak, buk, koran. Berita hangat, berita
hangat.” Fatul menawarkan koran yang dibawanya.
Satu rangkap koran dipegang pakai tangan kanan dan di
angkat, kemudian koran selebihnya
dipegang pakai tangan kiri.
Kendaraan berhenti sejenak di lampu merah. Fatul
berjalan dengan hati-hati dan pelan-pelan. Fatul menyelip diantara kendaraan
itu dengan sambil menawarkan koran yang dibawa.
Tiba-tiba
datang seorang bapak berusia parubaya membeli koran yang dibawa Fatul. Anehnya, bapak
tersebut membeli tidak dengan harga seperti biasanya yakni dua ribu rupiah,
akan tetapi bapak tersebut membayar dengan uang dua ratus ribu rupiah.
“Nak, beli korannya,” kata
bapak tersebut.
“Iya Pak, berapa?” tanya fatul dengan
sopan.
“Satu saja dan ini
uangnya,” bapak tersebut memberi uang.
Betapa
kagetnya si Fatul
dan dia berusaha menolak, namun bapak tersebut tetap memberikan uang bayaran
koran yang Fatul
anggap aneh dan ia
terima dengan ucapan terima kasih atas bantuan bapak berusia parubaya itu.
Fatul
mengucap syukur atas rezeki yang
diberikan oleh Allah SWT melalui perantara bapak si pembeli koran.
Segera Fatul ke toko pakaian untuk membeli sarung. Dan
langsung pulang kerumah setelah dari toko. Senja pun hadir dan matahari kembali
ketempat peraduannya.
“Assalamualaikum Bu, Kodhel?” Fatul Mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam …” jawab Ibu dan Kodhel dari dalam gubuk bambu.
“Bu , Dhel, Ni fatul ada bawa sesuatu,” Fatul
memberitahu.
“Abang bawa apa tu?” tanya Kodhel.
“Alhamdulillah, Abang dapat rezeki dikit. tadi ketika menjual Koran, ada seorang bapak-bapak yang membayar dengan uang
lebih. Dan akhirnya Abang bisa membeli sehelai sarung untuk Kodhel Masuk ngaji.
“Alhamdulillah, Ibu bangga sama kamu Nak,” bangga ibu
kepada Fatul.
“Alhamdulillah, Kodhel senang banget bang, terima
kasih Bang Fatul,” ucap syukur dan terima kasih Kodhel.
Betapa senangnya hati Fatul telah bisa membelikan
sarung untuk si Kodhel.
Akhirnya Kodhel pun bisa mengaji dengan menggunakan
sarung dari Bang Fatul
yang baik hati. (*)
0 Komentar