Oleh : Sukardi | Nama Pena: Adi TB | Senin, 20 April 2015| Cerita Pendek
“Yaaah, bensin habis...”
Kami menjadi panik,
area yang kami lewati sangat gelap.
“Apa itu Jon?”
Udin kaget dan mundur 1 langkah.
“Tenang Din, itu
hanya tikus yang lomba lari, haha” aku tertawa kecil, melihat tingkah si Udin.
Hati kembali
tenang dan melanjutkan perjalanan. Baru separuh jalan, aku melihat bayangan
putih. Mungkin itu hanya khayalanku saja. Aku jadi ingat, tadi aku berangkat
tidak baca doa, dengan santai dan mirip takabbur. Aku baru ingat cerita Nek Wati,
kalau lewat di jalan ini, harus permisi dan jangan takabbur. Aku segera baca
doa dan minta keselamatan untuk sampai tujuan. Bayangan putih tadi semakin
mendekat, dan sekarang terlihat jelas.
“Udin, mau
kemana?” Suara dari sesosok yang kuanggap bayangan putih itu.
“Mau ke
Kendawangan” jawabku memotong perkataan Udin. ia masih gemetaran.
“Mampir dulu lah
ke gubukku” tawarnya dengan nada lembut.
“Kamu Aisyah
kan?” Tanya Udin dari balik kabut, maklum, keadaan jalan berkabut.
“Haha, ia,
Makasih ya Din, kamu masih mengingatku” kata gadis tersebut, sambil tersipu.
“Ya, Udin kan
memiliki daya ingat seribu persen, haha” Aku meledek Udin, yang masih dalam
keadaan gemetaran.
“Emm, Din, kamu kenal dia dari mana?” tanyaku lagi dengan kepo, santai dan mirip berbisik.
“Anu Jon,
kemarin aku mampir di salah toko yang tidak jauh dari jalan ini, dan bertemu
ia, sempat kenalan sebentar, orangnya ramah”. Jelas si Udin dengan nada masih
gemetaran.
“Din, udah lah
gemetarannya, malulah diliat cewek itu?” guyonku.
Udin hanya
mengangguk. Kami berjalan mendekati Aisyah.
“Kenapa motornya
didorong?” tanya Aisyah dari arah belakang kami.
“Kami kehabisan
bahan bakar” jawab kami kompak.
“Ow, Aisyah ada
bensin, kebetulan kemarin beli gak kepakai semua, sisa 1 liter”
“O gitu, sip
lah, kami minta tolong ya” wajah kami
sedikit memelas.
“Hem.. ayoklah,
ke rumah” dengan semangat, Aisyah mengajak kami kerumahnya.
“Jauh ka ?” tanya kami kompak.
“Tidak jauh. Tuuh…”
Aisyah menunjuk rumahnya, yang berjarak sekitar 200 meter dari posisi kami.
Sambil berjalan,
kami tidak banyak bicara, aku dan Udin hanya melihat pemandangan sekitar,
rumah-rumah warganya megah, dan banyak bunga-bunga. Suasana yang damai dan asri.
Rumah Aisyah tampak sepi.
“Pada kemana
orang rumah ni Sya?” tanyaku penasaran.
“Keluargaku lagi
pergi ke acara nikahan, tu yang ada bunyi musik dangdut”.
“Ow, dari
kemarin ya dangdutannya?, kedengaran ke kampungku, rencana kami mau mampir nanti.” Basa basi si Udin yang udah hilang
gemetarannya.
“Iya, singgah
la. Tidak jauh” saran dari Aisyah.
Kami tidak
berlama-lama, setelah mengisi bensin ke dalam tangki motor, aku dan Udin
mengeluarkan uang 5 ribuan, kami
patungan, jadi 10 ribu.
“Ni Aisyah ada
uang buat bayar bensinnya”
“Tak usah lah,
Aisyah sedekah aja”
“Kami merasa tak
enak ni”
“Santai aja,
perjalanan kalian masih jauh kan?, uangnya pakai untuk jajan aja”
“Bener ni?” Udin
memastikan.
“Iya bener, ni
ada oleh-oleh buat emaknya Udin”
“Apa ni Syah?”
Tanya Udin.
“Ada kunyit
dikit, buat rempah dapur, tadi kami panen”
“O ya, makasih
ya”
Kami pamitan
akan melanjutkan perjalanan. Aisyah tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Kunyit
sekantong kecil tadi ku masukkan ke dalam tas.
“Kau mau kah
kunyitnya?”
“Boleh lah Din,
buat masak ikan, hehe”
“Oke lah, nanti
sampai rumah, kita bagilah”
Aku pun
memasukkan kunyit tersebut ke dalam tas ransel, dan kami tancap gas. Kali ini
dengan doa yang lebih kusyuk lagi, mudah-mudahan ndak ada kendala.
****
Mentari di pagi
ini terbit dengan cahaya yang romantis. Lembut bersama angin sepoi-sepoi. Tidak
ada suara ribut, maklum hari ini, hari libur Nyepi. Biasanya, ada saja suara
teriakan anak-anak SD yang berlalu lalang. Bagiku, bukan sesuatu yang
menjengkelkan, malahan menjadi sesuatu yang patut disyukuri, suara anak-anak SD
itu menjadi alarm pribadiku, jadi aku pasti bangun. Kalo hari minggu, karena
sepi, ya saya kesiangan lagi bangun tidurnya. Harap dimaklumi. Hehe..
“Din, bangun“
“Masih gelap
bah”
“Haha, gelap
apa, tengoklah, anak-anak SD sudah huru hara di depan rumah tu”
Udin bangkit
dari tidurnya, dan mengusap-ngusap wajah dan mata, seperti bayi yang baru
bangun tidur. Ditambah dengan senam-senam kecil.
“Jon, kau ada
dengar atau melihat acara musik dangdut kah?
pas kita di jalan, tadi malam?”
“Yang setelah
dari rumah Aisyah kah?”
“Iya, ada gak?,
aku kan fokus mengemudi”
“Gak ada Din,
semakin dekat lokasi, musiknya makin jauh, dan setelah kita masuk di daerah Pesaguan,
musiknya masih ada.”
“Wah, sungguh
aneh. Mana kunyit kita Jo” pinta Udin dengan penuh penasaran.
Aku segera
menyambar tas yang ada disampingku. Perlahan-lahan aku buka. Udin sepertinya
sudah gak sabaran.
“Din,! Lihat!”
“Haaa?? Emas”
“Iya, ini emas,
coba gigit”
Udin mengigit
emas tersebut, dan ternyata asli.
“Kemana
kunyitnya?”
“Meneketehe”
“Emm.. tak
jadilah kau masak ikan Jon”
“Inikah yang
diceritakan Nek Wati?”
“Apa itu Jon?”
“Padang 12”
Kami terdiam,
menatap satu sama lain, Udin gemetaran lagi,
tanganku menarik sarung, dan kembali tidur, dalam hatiku berkata “Padang 12”.
Catatan:
Cerita pendek
“Padang 12”, saya angkat dari khayalan saya tentang ‘PADANG 12’. Alhamdulillah, selesai ditulis dalam
durasi waktu kurang lebih 30 menit.
Padang 12 adalah
suatu daerah yang terletak di antara kecamatan Kendawangan dan Kecamatan
Pesaguan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Sampai saat ini penuh misteri. Saya sungguh penasaran dan belum pernah
ke daerah tersebut. Tidak semua orang bisa melihatnya, kecuali yang berjodoh
atau kebetulan dan dalam keberuntungan.
Penduduk yang
tinggal di padang 12, disebut dengan orang kebenaran atau orang Limun. Sosoknya
tidak berbeda dengan wujud manusia pada umumnya. Hanya saja, mereka tidak
memiliki belahan diantara bawah hidung dan di atas bibirnya.
Kota ini ghaib
dan mewah, bagi orang awam, wilayah yang terletak diantara Kecamatan Kendawang
dan Pesaguan ini hanya tanah kosong seluas 12 KM persegi yang dipenuhi oleh
pohon pinus dan ilalang layaknya sebuah padang rumput. Itulah alasan mengapa
daerah ini disebut Padang 12.
Seperti yang
dituturkan oleh Raja Dangdut, Bung Haji Rhoma Irama, beliau pernah manggung di
Ketapang 2 kali. Yang pertama di Padang
12, beliau kagum dengan perkembangan pembangunan daerah itu. Kemudian manggung yang kedua, di Kota Ketapang,
beliau sangat heran, karana kondisi kota tersebut sangat berbeda dengan keadaan
pertama kali beliau manggung di Ketapang.
Mereka terkadang
juga pergi ke pasar yang ada di wilayah Ketapang untuk membeli kebutuhan
mereka. Uniknya, mereka tidak selalu menggunakan uang sebagai alat pembayaran. Terkadang,
Orang Kebenaran ini menggunakan kunyit atau rempah yang biasa dijadikan bahan
masakan sebagai alat tukar. Dan keesokannya berubah menjadi emas. Begitu juga
ketika memberi bantuan atau imbalan, kunyit tersebut berubah menjadi emas.
Banyak asumsi
tentang orang kebenaran ini, ada yang mengatakan orang-orang suci yang jujur,
dan ada pula yang mengatakan mereka ialah jin islam yang sudah lama menetap di
padang 12. Wallahua’lam.
Percaya atau
tidak, tempat ini ada, dan bernama PADANG 12.
Terima Kasih
kepada para pembaca tulisan Sukardi (Adi TB). Like ya.. J
0 Komentar