TRADISI BE PUSA’
Bagi
masyarakat Kayong (Ketapang dan Kayong Utara) kata Pusa’ bukanlah bahasa asing
dalam keseharian warga yang dulunya satu kabupaten, satu perundohan/peduloran
(keluarga/keturunan). Saban (Setiap) hari
kata ini sering kita jumpai, benar kan sob? Yupz.
Sinomim
dari Pusa’ ini yaitu Jamah, Calet/colet, Jawel dan Palet, yang kalau
diindonesiakan berarti Menyentuh sesuatu. Pusa’ dalam arti Melayu sesungguhnya
ialah menyentuh makanan/minuman yang ditawarkan oleh seseorang ketika kita
sedang tidak ingin ikut makan/minum kerena sedang kenyang, buru-buru ingin
pergi atau sedang berpantang makan/minum barang yang ditawarkan pada kita.
Secara
etimologi (asal kata), saya menduga kata Pusa’ ini berasal dari kata “Pasak”
yang berarti paku yang terbuat dari kayu/bambu/logam untuk menutupi lobang,
yang dalam istilah Pusa’ – pasak bermakna menyentuh sesuatu untuk menutupi
perbuatan yang tidak bisa kita lakukan secara langsung yang berkenaan dengan
makan/minum. Perubahan kata ini tentu melalui proses yang panjang dari
peradaban Melayu Kayong itu sendiri atau sebuah perumpamaan yang muncul secara
kebetulan untuk memudahkan penyebutan saja pada sebuah peristiwa yang terjadi
pada saat itu, dan bahasa ini abadi hingga sekarang. Yang pasti bahasa ini
muncul dari seorang tokoh adat (dukun/tabib) yang memimpin adat kampung di
suatu wilayah kerajaan pada masa itu. Ini hanya praduga saya semata, sebab saya
bukan ahli sejarah dan bahasa apa lagi ilmu etimologinya. Hingga hari ini tidak
ada yang tahu pasti asal-muasal pusa’ ini dari mana dan siapa yang pertama
memulainya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Pusa’ ditulis tanpa tanda petik 1 (‘)
dibelakang katanya yaitu Pusa yang berarti Puso, Dorongan Hati, Momentum
(istilah fisika) dan Keranjang dari daun lontar. Sedangkan kata Pusak menurut
KBBI yaitu Harta Pusaka dan jika diartikan kedalam bahasa Melayu Kayong Pusak
yaitu Acak/berentakan/tidak teratur.
Konon
dari cerita rakyat yang sudah melegenda dikalangan masyarakat Kayong bahwa
Pusa’ ini muncul pada masa Kerajaan Simpang. Sebab saya sering mendengar
istilah dari tokoh-tokoh adat atau sesepuh Melayu mengatakan begini “Jangan
main-main dengan Pusa’, ini adat Simpang, kalau ndak bepusa’ nanti bisa
kempunan (mendapat bala’/kelaca/kutukan).” Ini hanya sebuah kesimpulan yang
bisa saya petik dari pernyataan para sesepuh adat yang katanya kalimat ini
sudah ada secara turun-temurun. Bahkan ada semacam mantra tentan Pusa’ ini sob.
Kamu pernah mendengar ya sob? Gini bunyi mantranya, “Pusa’-pusa’ pali’,” yang
bermakna bahwa kita mohon terhindar dari bala’ karena tidak sempat menyentuh
makanan/minuman yang ditawarkan pada kita atau kita belum sempat membuat
makanan/minuman yang kita inginkan. Kemudian ada juga yang menjilat tangan dan
langsung ditempel ke keningnya sebagai simbol bahwa ia telah melakukan pusa’
atau secara tidak langsung ia telah mencicip makanan/minuman yang dimaksud.
Hebat kan sob?
Terlepas
benar atau tidaknya apa yang saya paparkan di atas, yang pasti kata Pusa’ merupakan
kalimat ampuh yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat adat asli Kayong
terutama etnis Melayu, bahkan pengaruhnya pun hingga kepada warga pendatang
yang menetap di tanah Kayong hingga kini. Yang menjadi pertanyaan besar kita,
benarkah Pusa’ akan menyebabkan seseorang akan Kempunan (terkena
musibah/bala’/celaka) jika tidak kita lakukan? Maaf, tidak bermaksud
mengecilkan atau mengurui para sesepuh kita, nurani saya mengatakan bahwa itu
tidak benar. Tidak benar bahwa akan kempunan jika kita tidak pusa’.
Pernyataan
tidak benar yang saya kemukakan di atas bukan tanpa alasan dan pembuktian.
Pertama: ini saya bukti sendiri selama bertahun-tahun. Awalnya saya pun sempat
meyakini bahwa Pusa’ merupakan kewajiban yang harus saya patuhi karena saya pun
takut dengan kempunan. Namun belakangan saya menerungkan sebuah ungkapan yang
disampaikan paman saya sendiri, katanya “Syaithan itu selalu mengintai
kelemahan kita, jika kita meyakini bahwa apabila kita tidak pusa’ akan kempunan
maka syaithan pun akan merestuinya,” contoh: ketika seseorang menawarkan minum
air kopi tetapi kita menolak untuk minum dan tidak bepusa’ pula maka syaithan
menyertai keyakinan kita akan kempunan tersebut, sehingga pada saat kita
berpergian dari tempat tersebut kita digigit ular atau kecelakaan di jalan.
Mengapa ini syaithan yang melakukannya? Agar manusia berpikir dan percaya bahwa
yang menyebabkan ia celaka ialah kempunan akibat ia tidak bepusa’, jadi bukan
karena ujian atau ketentuan Qada’ dan Qadar Allah atas hambanya. “Ia (syaithan)
berkata, Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku
akan menjadikan hal-hal di muka bumi terlihat baik bagi mereka (manusia) dan
aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis
diantara mereka.” (Q.S. Al-Hijr[15]: 39-40).
Kedua:
bahwa saya telah membuktikan pernyataan saya ini dalam keseharian saya sejak
saya tidak meyakini Pusa’ tersebut. Sering saya ditawarin keluarga atau
sanak-famili makan/minum, baik di rumah sendiri maupun rumah keluarga. Namun
karena perut saya sedang dalam kondisi kenyang maka saya menolak tawaran
tersebut. Ketika sisuruh bepusa’ itu tidak saya lakukan. Ada diantara keluarga
saya yang marah dan bilang bahwa saya sombong atau dengan istilah “Rejeki
jangan ditolak, musuh/musibah jangan ditantang.” Pada hal saya sedang menguji
keyakinan saya dan menunjukan kepada mereka bahwa tidak akan terjadi apa-apa
jika saya tidak bepusa’. Dan itu terbukti dari pengalaman pribadi saya selama
bertahun-tahun, tidak terjadi apa-apa. Karena saya meyakini bahwa takdir itu
Tuhan yang menentukan, bukan sebab tidak bepusa’. Jika saya tidak bepusa’ lalu
mendapat celaka itu hanya suatu kebetulan saja. Dan Alhamdulillah, secara
kebetulan pun itu tidak terjadi. Ini mungkin karena Allah menyertai niat ikhlas
saya karena-Nya.
Ketiga:
bahwa Islam telah memberikan isyarat dan petunjuk kepada kita bahwa meyakini
sesuatu bukan karena keyakinan kita kepada-Nya adalah dosa – perbuatan musyrik
dan syirik karena kita telah menyekutukan Allah dengan sesuatu, dan syirik termasuk
dosa besar. Ini kata pak ustadz/kiyai yang pernah saya dengar sih sob. Berikut
ini aya hanya ingin mencontohkan dua kasus sebagai perumpamaan/pembanding saja.
Contoh
kasus 1: seseorang yang sedang sakit dan sembuh ketika minum obat dari dokter
atau sembuh setelah mendapat jampian dari dukun. Apakah dokter/dukun yang
menyembuhkan orang tersebut dari penyakitnya? Tentu tidak bukan? Orang beriman
akan bilang bahwa Allah yang menyembuhkan peyakitnya melalui perantaraan
dokter/dukun. Tapi bagi orang yang sombong akan bilang bahwa kalau tidak karena
dokter/dukun A maka penyakitku tidak akan sembuh. Tanpa seizing Allah, apapun
tidak akan terjadi.
Contoh
kasus 2: seseorang yang saat ditawarkan makan/minum tapi ia menolak karena
alasan kenyang tanpa mau bepusa’, kemudian setelah itu ia bepergian lalu
mendapat musibah kecelakaan di jalan raya misalnya. Apakah penyebab kecelakan
tersebut akibat ia tidak bepusa’ atau itu karena ketentuan Allah atas dirinya?
Jika kita mengatakan bahwa ia kempunan akibat tidak mau bepusa’ berarti
pendapat kita sangat keliru dan tidak berdasar. Tapi jika kita mengatakan bahwa
ini ketentuan Allah ada kemungkinan benar. Mengapa saya mengatakan ada
kemungkinan benar? Sebab belum tentu setiap musibah yang terjadi pada manusia
itu sepenuhnya ketentuan Allah, karena bisa jadi itu kelalaian manusia itu
sendiri akibat tidak hati-hati atau ia sengaja menantang bahaya, kecuali orang
yang sedang berjalan kaki ditabraknya dan meninggal itu dapat dikatakan takdir
atas diri orang yang ditabraknya.
Mungkin
anda akan mengatakan bahwa 2 contoh kasus di atas kontroversi, tidak nyambung,
saya pun beranggapan demikian. Tapi benang merah yang ingin saya ambil dari 2
contoh kasus tersebut yaitu Hukum Sebab Akibatnya. Hukum sebab akibat pada
kasus 1 di atas sangat jelas. Kesembuhan penyakit pada kasus 1 itu melalui
pertolongan dokter/dukun sebab seijin/restu Allah., akibatnya penyakit yang
diderita si pasien sembuh.
Sedangkan
pada kasus 2 hukum sebab akibatnya tak jelas. Apa mungkin seseorang kecelakaan
disebabkan karena tidak bepusa’? Kententuan Allah pun masih samar-samar pada
kasus tersebut, karena bisa jadi ia ngebut pada saat kondisi orang sedang ramai
di jalan raya, apa lagi ia berkendaraan dalam kondisi mabuk, itu artinya ia
sengaja menantang bahaya. Bukan kerena ia tidak bepusa’ atau ini ketentuan
Allah, namun sebab ia tidak hati-hati atau sedang mabuk, dan akibatnya terjadi
kecelakaan dan menambrak orang lain. Kesimpulannya bahwa kecelakaan yang
terjadi pada orang tersebut bukan akibat kempunan karena tidak bepusa’, tapi
karena tidak hati-hati saja.
Yang
Keempat: bahwa pusa’ hanyalah sebuah kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat Kayong sejak beratus tahun yang lalu. Meyakini pusa’ sebagai
kewajiban yang harus dilakukan berarti kita telah percaya pada sesuatu yang
belum tentu keberannya dan tidak jelas dalilnya menurut Al- Qur’an dan Hadist,
dan berarti kita telah meyakini sesuatu tanpa ilmu dan iman karena Allah. Yang
menyedihkan hati lagi ketika orang tua menyantap sesuatu sementara anak-anak
sedang tidur pulas atau masih bayi belum bisa makan makanan yang dimakan
ortunya, maka si ortunya menjamahkan makanan tersebut ke mulut atau anggota
tubuh anaknya. Yang saya khawatirkan ialah akan mengundang binatang yang suka
dengan manisan/lemak mengerumuni/mengisap makanan yang ada di tubuh anak
tersebut, seperti semut misalnya. Bisa bahaya juga sob?
Menyikapi
hal ini, saya lebih cenderung menyimpulkan bahwa Pusa’ itu adalah istilah
penolakan halus Melayu Kayong dalam menghormati tawaran makan/minum dari
seseorang agar tidak terkesan sombong dan dianggap tak beretika. Artinya jika
tak ingin makan /minum cukup menyentuh makanan/minuman tersebut saja sebagai
tanda bahwa kita telah ikut mencicipi secara tidak langsung. Inilah bentuk
kebersamaan dan sifat menghargai.
Pandangan
saya Pusa’ hanya merupakan sebuah mitos yang mentradisi saja, bukan adat budaya
sebagaimana yang kita dengar dari penuturan orang tua-tua kita. Dan saya secara
pribadi sangat menghargai ini, sebab pesan moralnya dapat. Dalam menjalankan
prinsip saya pun melihat kondisi orang dulu. Saya akan menolak tawaran Pusa’
apabila ia adalah keluarga atau orang terdekat saya, tentu sambil menjelaskan
mengapa saya tidak mau bepusa’. Namun saya tidak bisa menolak tawaran pusa’
tersebut jika yang nawarkan adalah orang yang baru saya kenal atau saya tidak
terlalu akrab dengannya. Niat saya hanya menghormatinya dan membuat ia agar
tidak tersinggung dan mengatakan bahwa saya sombong, bukan karena meyakini
bahkwa saya akan kempunan jika tidak bepusa’. Bagaimana dengan kamu sob?
Pendapat
saya ini tidak bermaksud mengecilkan, mengurui atau menampik Pusa’ yang
dianggap leluhur kita sebagai adat, tapi saya hanya ingin merubah pandangan
kita semua bahwa tidak ada istilah kempunan/bahaya kalau tidak bepusa’ tersebut.
Musibah atau kecelakaan yang menimpa kita itu bukanlah disebabkan kempunan,
namun ada faktor lain yang menyebabkannya, bisa jadi kelalaian kita sendiri.
Hanya sebuah kebetulan saja jika terjadi musibah/kecelakaan pada kita setelah
kita lupa bepusa’, dan sekali lagi itu bukan faktor penyebabnya, hanya
kebetulan saja. Kemudian untuk melestarikan ini sebagai adat atau nilai-nilai
memiliki pesan moral, kita cukup meniatkan di hati bahwa kita bepusa’ bukan
karena takut kempunan tapi untuk menghormati orang yang telah menawarkan kita
makan/minum sehingga kebersamaan itu tetap terjaga. Terus hidari mengungkapan
bahwa kalau tidak bepusa’ itu kempunan, sehingga insya Allah kita akan terhidar
dari sifat musyrik/syirik kepada Allah.
Nah
sob. Mudahan kamu sependapat dengan saya. Dan semoga ini bermanfaat buat kita,
utamanya buat saya dan keluarga. Yang benar dari tulisan ini mungkin itu
petunjuk Allah SWT dan yang salah itu hanyalah kebodohan saya sebagai manusia
yang dhaif, kerena kebenaran itu mutlak milik dan dari Allah kan sob?
0 Komentar