“Bukan Salah Air”
Oleh: Sukardi
Minggu, 7 Desember 2014
Saat ini, aku duduk di kursi. Kursi yang terbuat dari batu.
Tingginya kira-kira 60 cm, bersama meja bundar, tampak serasi. Ku letakkan
kertas putih di meja bundar ini, kugenggam pulpen bewarna pink, namun hatiku
tidak pink, akan tetapi hijau, yang melambangkan kedamaian.
Aku alihkan pandangan dari kertas putih ini, aku melihat alam
sekitar. Angin semilir menerpa wajahku, dingin dan nyaman. Kemudian aku tatap
awan yang bergerak diatasku. Awan-awan itu membentuk peta-peta, yang aku
sendiri belum mengerti maksudnya. Namun, aku nikmati lukisan awan tersebut.
Gemerincik lembut air, terdengar dari arah di sekelilingku, riak
kecil, lucu. Aku jadi teringat dengan adikku yang lucu di kampung. Burung pun
berkicau di pohon-pohon, mereka tahu akan suasana hatiku. Burung itu tahu,
hatiku merindu.
Kembali aku menatap kertas putih yang ada di hadapanku. Ingin aku
gambarkan alam di sekitarku ini. Di balik susunan daun kelapa, tampak cahaya
mentari yang menari. Kali ini aku terbayang wajah seorang wanita. Wanita yang
rela berkorban nyawa untukku. Ialah ibu kandungku.
Melihat air di sekelilingku, aku teringat ketika masih kanak-kanak
mandi bersama ibu. Ketika itu, aku masih suka mandi telanjang.
“Ibu, Ibu” teriakku sambil memainkan air.
“Iya Adi, mandi yang bersih” ucap Ibu sambil menyuci pakaian.
“Ibu, Adi pengen berenang”
“Iya, berenanglah, hati-hati di, jangan terlalu ke tengah ya,
airnya lumayan dalam” titah Ibu.
“Cara berenang itu seperti apa Bu?” tanyaku dengan polos.
“Tiarap, kakinya seperti kodok”
“Beginikah Bu?” tanyaku sambil memperagakan apa yang dicontohkan
ibu tadi.
Ibu terus melanjutkan pekerjaannya, menyuci pakaian bapak, abang
dan aku. Ibu wanita yang rajin. Kalau musim hujan, dan banyak air, ibu menyuci
di dekat tempayan yang digunakan untuk menadah air hujan. Pada hari biasa, ibu
menyuci pakaian di parit, yang berada di depan rumah.
Aku tetap asyik memperagakan cara berenang, mirip kodok. Awalnya,
aku berenang masih di depan tangga, di dekat ibu yang menyuci. Namun, aku lupa
yang diingatkan ibu, yang tadinya jangan berenang sampai ketengah, dan aku
berenang sampai ketengah parit, lumayan dalam, kakiku tidak bisa mencapai dasar
parit.
“Tolong, tolong, Bu tolong” suaraku berteriak samar-samar,
kepalaku keluar masuk dalam parit, telinga dan hidungku terasa penuh dengan
air. Mataku terasa pedas. Napasku terengah-engah. Badanku berada dalam air.
Tanganku berusaha mencapai tepi parit, namun susah.
“Tolong-tolong” kataku kembali. Aku tenggelam.
Ibu lumayan jauh dari posisiku, ketika ibu tersadar dan melihat
posisiku, yang hampir mati. Ibu segera meninggalkan cuciannya. Ibu berenang
menuju posisiku. Ibu membantuku ke tangga. Aku terselamatkan.
Sejak kejadian itu, aku merasa trauma dengan air, dan dewasa ini,
aku kurang bisa berenang. Bukan salah air.
o0o Selesai o0o
0 Komentar