sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Tujuh Hari Tujuh Malam



Tujuh Hari Tujuh Malam

Oleh: Nur Ummi Mufidah

Dikesunyian malam ini, bulan tampak menggantung di atas sana. Memberikan cahaya yang membuat malam ini tampak indah. Tapi, hanya untuk orang-orang yang berbahagia. Berupa apapun indah bulan di atas sana, tak berguna bagi Fia. Ia merenungi ikan-ikan yang lalu lalang di balik sebuah kaca bening. Ikan Koi itu tampak melenggang anggun, memamerkan lekuk indah tubuhnya yang kuning berkilau. Fia menatapnya, dengan tatapan kosong dan menggenggam selembar foto yang telah terpotong setengahnya.

“Sudahlah Fia. Mau sampai kapan?” suara yang menemaninya sejak tadi. Suara Rita. Fia tak bergeming. “Fia, adikku sayang, jangan membuatku kacau seperti ini. Sebentar lagi Mama pulang, tinggal dua hari lagi. Jika Kau terus seperti ini, apa kata Mama nanti?”

Fia menelan ludah. Air matanya mengguyur lagi. Mengalahkan bulan di langit sana.

“ Tu kan, malah nangis lagi ah !! Boleh bersedih, tapi ini sudah terlalu lama. Tujuh hari tujuh malam Fia. Seminggu !! “

Fia menatap Rita, lalu berpaling ke jendela.
***
Tujuh hari yang lalu.

“ Jadi… k... kau mau pergi ?”
“ Bukan begitu. Aku hanya merasa hubungan kita…”
“ Tidak cocok ?”
“ Bukan juga”
“ Lalu apa ?”
“ Aku, tak mau menyiksamu.”
“ Aku tak merasa tersiksa.” Fia berguman, menunduk sejenak, lalu menusukkan pandangan pada Iwan. “ Atau.. Kau. Ah, sudah kusangka.! Ada wanita lain kan ?”
“ Hati-hati mulutmu.”
“ Mengaku saja.! “

Tiba-tiba Handphone Iwan berdering. Dengan cekatan Fia merogoh sakunya dan mengankatnya. Didengarnya suara wanita yang sepertinya sudah semakin memuakan. “Halo. Sayang, aku udah sampai di Jakarta. Tadi aku mau telfon kamu, tapi tadi aku capek banget. Halo ? Halo? Yang, kok diam ?...” Fia terasa sesak dan lemas. Ia terduduk dan bersandar di badan jalan.

“ Kamu kenapa ? Jangan tidur di situ..”
“ Memang, memang benar. Laki-laki memang tak boleh sukses. Apalagi yang sepertimu. Wan, Kau lupa bagaimana Kau bisa menjadi seperti sekarang  ? Duduk di kursi terhormat, mengamati keuangan dan hanya berjualan tanda tangan hah ?! Kau lupa ? Siapa yang kau bilang seseorang yang hanya ada di dalam hatimu dulu? Dan ingat, saat kau putus asa, apa yang kau katakana padaku Wan? Wan? Kau bilang kau ingin mati. Hah, kenapa tak kubiarkan kau mati saja saat itu.”

“ Kenapa kau mengungkit yang telah lalu.?”
“ Oh, kau lupa ya. Wan, kau …”
“ Ah sudah, sudah. “ Iwan memotong. “ Kau dengar kan tadi, aku sibuk, ada janji malam ini. Ada rapat ! “ Iwan beranjak.
“ Rapat ?!! “ Fia beranjak juga. Tapi Iwan tetap melangkah. “  Kau tinggalkan aku Wan? Disini sendiri ? Wan. Iwan !! “

Iwan tak menggubris. Menghidupkan mobil dan melaju. Bulan pun seakan pergi. Meninggalkan kelam, menggelapkan malam. Menyisakan rintik hujan . Wajah Fia tertutup oleh butir air mata dan air hujan saat itu. Ia tak menghiraukan hujatan air yang terus menerus mengguyur. Menenangkan hatinya. Ia berjalan di bawah lampu-lampu jalan. Sesekali mobil-mobil yang melaju memercikan air lumpur perih, bagaikan cuka yang menghujani hatinya saat ini.
***

Perlahan, jendela yang ia lihat tadi tak lagi bersih. Tetes air hujan menyapa dari luar. Lagi-lagi, bulan bersembunyi. Saat ini yang ia lihat hanyalah Iwan. Dan bulan itu, seperti Iwan. Pergi dengan berselimutkan awan dan memberikan hujaman pedih air mata. Ya, seperti air hujan ini. Masih ada bekas lingkaran putih di jari manisnya. Lingkaran putih yang tak lagi menjadi kebanggaannya. Lingkaran bekas janji yang ia dengar dulu.

“ Fia, sudah Fia. Sudah hari ke berapa ini. Lihat tanganmu. Kau tampak kurus. Besok, kita makan ya, ke salon, spa, jalan-jalan. Mau ya . Ayolah Fia. Aku juga pernah pacaran. Banyak yang mencintaimu Fia, banyaaaaak…”
“ Pergi.”
“ Fia ?”
“ Keluar Kak.!” Fia melotot, memberikan isyarat keluar. Rita hanya menurut.

Sebenarnya, bukan itu. Bukan itu yang membuatnya terasa perih. Yang membuat hatinya terasa perih adalah keterpaksaannya untuk mencoba menerima kenyataan. Menerima sosok wanita kedua yang ternyata Rita, kakaknya. Dan keterpaksaannya lagi, untuk menjadikan  Iwan, abang iparnya.

Posting Komentar

0 Komentar