Pagi
ini cukup bersahabat. Matahari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Aku
berdiri di balkon rumahku, membiarkan sinar mentari yang terasa hangat
mengenaiku. Aku mencondongkan tubuhku di pagar balkon. Kulihat beberapa remaja berseragam
putih abu-abu bersepeda sambil tertawa lepas di sepanjang jalan. seketika
tatapan mataku menjadi kosong, aku menatap pada sesuatu yang tak jelas dan
mulai melamun.
“Vega..
Vega!” Terdengar suara seseorang yang ku kenal memanggilku.
Aku
tersadar dari lamunanku dan membalikkan badan pada arah suara itu.
“Ada
apa ayah?” Aku memberi seulas senyuman pada lelaki berumur 50an yang sedang
berdiri di ambang pintu balcon tempat aku berdiri.
“Sedang
apa? Menatap jalan lagi?” Tanyanya mendekatiku.
Aku
hanya menggeleng perlahan sambil melipat tanganku didada dan mengalihkan
pandanganku pada lantai.
“Kenapa
Vega? Sakit? Kulitmu terlihat sangat pucat.” Tanyanya kembali sambil memengang
kedua pundakku.
“Aku
tidak sakit Ayah. Mungkin aku hanya terlihat pucat saja karna kulitku putih.”
Jawabku pelan.
“Baiklah.
Mungkin ayah memang terlalu mengkhawatirkanmu.” Ucap Ayah sambil membelai rambut rambut panjangku.
“Um..
Ayah.. ini hampir pukul 7, tidak ke kantor?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan
sambil melirik jam tangan berwarna hitam yang terpasang di tangan kiriku.
Ayah
melirik pada jam tangan miliknya dan tersenyum.
“Mungkin
sebaiknya ayah pergi sekarang. Kita tidak akan tau kalau diperjalanan akan
macet atau tidak bukan.” Usulku sambil memutar bola mataku.
Ayah
mengangguk dan memasukkan kedua tangannya pada saku celananya.
“Baiklah
Vega, sampai jumpa nanti. Belajarlah dengan giat.” Ucap Ayah sambil berjalan
perlahan meninggalkanku yang masih berdiri mematung.
***
“Kenapa melamun Vega? Apa soalnya
begitu susah?” Tanya seorang wanita cantik berusia yang tengah duduk di hadapanku.
“Tidak.” Jawabku singkat
Wanita cantik berkulit kuning
langsat itu hanya mengerutkan dahi sambil menatap ke arahku.
“Oh ya bu..” Ucapku pelan hampir tak
terdengar.
“Ya?” Jawabnya ragu-ragu.
“Ibu kan sudah mengajar saya hampir
6 tahun, apa Ibu Laura tau kenapa ayah memutuskan agar saya home schooling
sejak saya lulus SD?”
“Maaf Vega, tapi saya tidak tau
apa-apa, saya hanya memenuhi perintah Ayah kamu untuk mengajari kamu di rumah.”
Jelasnya.
Aku sangat kecewa dengan jawaban Bu
Laura. Aku kembali pada pelajaranku.
Ah ini terulang lagi! Ucapku
kesal didalam hati. Aku memegangi kepalaku dengan kedua tanganku.
“Kenapa
Vega?” Tanya Bu Laura dengan nada sedikit khawatir.
“Tidak
apa-apa, hanya saja mata saya.. mata saya kabur lagi.” Jawabku pelan.
Aku
bahkan tidak dapat melihat Bu Laura dengan jelas. Mataku sering kabur
tiba-tiba, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena hanya terjadi
beberapa detik maupun beberapa menit dan setelah itu mataku bisa melihat dengan
normal kembali.
“Kenapa
kamu tidak menuruti kata Ayahmu untuk diperiksa rutin oleh Dokter Mata?” Tanya
Bu Laura kembali.
Aku
tertawa dan mengucek mataku.
“Ini
bukan masalah besar Bu. Setelah ini mata saya akan kembali normal lagi seperti
biasa. Dan saya tidak ingin berurusan dengan dokter, itu membuat saya terlihat
seperti orang sakit” Jawabku pelan.
Bu
Laura menggeleng perlahan sambil tersenyum
Ya ini bukan apa-apa. Aku baik-baik saja, aku yakin
akan itu. Ucapku dalam hati
***
Aku
terlihat berbeda dengan bantuan Bu Laura. Malam ini aku mengenakan gaun biru
muda selutut dan berlengan panjang. Bu Laura mengoleskan sedikit lipgloss
berwarna merah muda pada bibirku.
“Ayo Vega kita turun ke bawah, Yang
lain sudah menunggu.” Ajak Bu Laura. Menurutku Bu Laura memang terlihat sangat
cantik dan umm.. Keren. Ya terlihat keren padahal usianya sudah 30an.
Aku turun kebawah dengan Bu Laura.
Di ruang bawah sudah ada ayah dan beberapa orang yang bekerja di rumahku. Aku
tersenyum simpul meihat orang-orang yang biasa bekerja dirumahku. Ada 3 orang
yang bekerja dirumahku, setidaknya mereka sedikit meramaikan suasana.
Sebelumnya aku hanya merayakan ulang tahunku bersama Ayahku saja. Ibuku sudah
tidak ada. Yah, dia meninggal saat melahirkannku.
Ayah berdiri diantara mereka sambil
memegang kue ulang tahun berukuran sedang. Aku berjalan perlahan menuju Ayah
dan memberikan seulas senyum.
“Selamat ulang tahun Vega.” Ucap
Ayah tulus.
Tak lama setelah itu beberapa orang
yang bekerja dirumahku bertepuk tangan sambil mengatakan kalimat tiup
lilinnya berulang-ulang.
Aku melihat ke arah Bu Laura yang
mengangguk dan tersenyum kearahku. Sejenak kutatap lilin yang berbentuk angka
satu dan tujuh dihadapanku. Kupenjamkan mataku dan mengharapkan suatu
permohonan. Kemudian aku membuka mataku perlahan dan meniup lilin dihadapanku.
Bu Laura dan beberapa orang lainnya
bertepuk tangan. Ayah menyimpan kue yang dipegangnya di meja.
“Apa yang kamu inginkan di hari
ulang tahunmu yang ke-17 Vega.” Tanya Ayah padaku. Seketika aku menatap ayahku,
wajahnya terlihat sangat lelah.
Aku menghela napas panjang. Mencoba
memberanikan diri untuk berkata.
“Aku hanya ingin pergi keluar dengan
bebas tanpa pengawasan Ayah.” Ucapku pelan.
Ayah tampak berpikir sejenak. Aku
mengaharapkan jawaban yang sangat ingin kudengar. Aku sedikit gelisah.
“Maaf Vega. Ayah akan memberi apapun
yang kamu mau. Tapi Ayah tidak dapat mengabulkan permintaan mu untuk keluar
rumah tanpa pengawasan.” Ucap ayah. Mata tajam menatapku dalam-dalam.
“Kenapa? Kenapa tetap ga boleh. Aku
hanya minta itu. Aku ingin melihat keluar seperti dulu.” Sela ku. Aku berkata
dengan nada tinggi. Mataku sudah berair. Ayah memegang kedua tanganku. Aku
segera melepaskannya. Kulihat semua orang terdiam melihat kejadian ini, begitu
juga dengan Bu Laura. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Mataku kabur kembali. Aku berlari
menaiki tangga dengan hati-hati dan segera masuk kedalam kamar. Aku membenamkan
wajahku di bantal. Tak lama kemudian seseorang mengelus lembut punggungku.
“Ayah akan berikan alasan kenapa
kamu home schooling dan kenapa kamu tidak boleh keluar tanpa diawasi Vega.”
Ucap Ayah tiba-tiba.
Aku mencoba duduk dan mengusap air
mataku. Aku memeluk bantal dan duduk mendekati ayah di tepi kasur. Ayah
menghela nafas sebelum berkata. Ia
menatap kosong ke arah jendela di kamarku.
“Saat kamu berusia 11 tahun setelah
lulus SD, matamu sering kabur. Kamu mengeluh pada ayah tentang matamu kan?”
Jelas Ayah.
“Dokter waktu itu bilang bahwa itu gejala
penyakit Glaukoma yang lama kelamaan membuat bisa matamu menjadi buta. Sulit
mengobati penyakit ini. Itu kenapa Itu kenapa ayah memutuskan kamu home
schooling dan menawarkan untuk sering periksa rutin ke Dokter.” Lanjut Ayah.
Mataku berkaca-kaca, aku menutup
mulutku dengan kedua tanganku.
“Jadi.. itu sebabnya, Ayah takut
seketika aku akan menjadi buta.” Ucapku dengan suara tertahan.
“Kamu selalu menutup telinga atau
pergi saat ayah ingin mengatakan tentang penyakitmu. Seharusnya Ayah tetap
memberitahumu, Maaf.” Kata Ayah sambil menunduk.
“Aku yang seharusnya minta maaf
Ayah. Aku tidak mendengarkan apa yang Ayah bilang. Aku siap suatu hari sesuatu
yang buruk terjadi padaku.” Ucapku pelan.
“Tidak Risa. Tidak akan terjadi
apa-apa. Mulai besok apa kamu mau ke Dokter untuk berobat?” Tanya Ayah dengan
wajah meyakinkan.
Aku mengangguk dan memeluk Ayah.
***
Keesokan harinya Aku terbangun dari
tidurku. Mataku terasa aneh. Aku tidak melihat setitik cahaya sedikitpun. Aku
mulai khawatir. Apa mati lampu? Tanyaku dalam hati. Aku meraba-raba
kasurku mencari handphone. Berharap Aku bisa melihat dengan cahaya handphone.
Kudapatkan handphoneku tapi Aku
tetap tidak bisa melihat cahaya handphone ku. Aku mulai ketakutan dan berteriak
keras. Tidak lama setelah itu seseorang terderngar berlari kearahku dan
memegang pundakku. Aku mencoba meraba dan memegang tangan itu.
“Ayah. Apa mungkin?” Tanyaku sambil
menangis. Ayah mengusap air mataku dan segera menuntunku untuk berjalan. Aku
terus menangis.
“Ayo Vega. Kita harus segera ke
Rumah Sakit.” Ujar Ayah sambill menuntunku. Aku mengusap air mataku saat aku
sudah duduk di dalam mobil dan sedikit merapikan rambutku.
Tak lama setelah itu aku merasa
mobil sudah berhenti bergerak. Apa sudah
sampai? Tanyaku dalam hati. Setelah itu aku merasakan tangan ayah yang
memegang tanganku dan menuntunku kembali keluar dari mobil.
“Tetap pegang tangan Ayah Vega.”
Ucap Ayah sambil berjalan menuntunku dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa saat
kemudian Ayah mengatakan padaku untuk duduk dan menunggu giliran namaku
dipanggil. Aku merasa sangat khawatir.
“ Vega Diana!” Terdengar nama ku
dipanggil seseorang wanita. Ayah memegang tanganku dan mengatakan ini waktunya
aku masuk ke ruangan.
“Selamat Pagi.” Terdengar suara
seorang Dokter wanita.
Ayah melepaskan tanganku perlahan.
Dan Aku mendengarkan Ayah sedang menjelaskan apa yang terjadi. Kemudian Dokter
itu memanggil kembali namaku dan mulai memeriksa mataku.
Setelah memeriksa mataku Dokter
wanita itu terdengar berbicara serius entah padaku atau pada ayah.
“Maaf tapi matanya sudah buta. Dan
akan sulit untuk mengobatinya.” Ucap dokter itu.
Aku hanya terdiam.Aku tidak bisa
berkata apa-apa. Ayah memegang tanganku kembali setelah mengucapkan terima
kasih pada Dokter. Dan mengatakan padaku bahwa kami akan pulang. Secepat
inikah aku menjadi buta? Pikirku.
Aku sadar Aku keras kepala. Inilah yang
kudapat, aku menuai apa yang aku tanam. Sekarang Aku kehilangan semua cahaya
dimataku. Ayah memelukku. Aku bahkan tak bisa mengeluarkan air mataku lagi. Aku
mencoba menerima apa yang telah terjadi.
Setelah kejadian itu Aku tetap
menjalani kehidupanku dengan bantuan Ayah dan yang lainnya. Aku bahkan
terlihat lebih buruk dari orang yang sakit. Aku menggerutu di dalam hati.
Mulai sekarang Aku akan berjalan di jalan yang tak bercahaya.
0 Komentar