sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

MATA VEGA


Pagi ini cukup bersahabat. Matahari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Aku berdiri di balkon rumahku, membiarkan sinar mentari yang terasa hangat mengenaiku. Aku mencondongkan tubuhku di pagar balkon. Kulihat beberapa remaja berseragam putih abu-abu bersepeda sambil tertawa lepas di sepanjang jalan. seketika tatapan mataku menjadi kosong, aku menatap pada sesuatu yang tak jelas dan mulai melamun.
“Vega.. Vega!” Terdengar suara seseorang yang ku kenal memanggilku.
Aku tersadar dari lamunanku dan membalikkan badan pada arah suara itu.
“Ada apa ayah?” Aku memberi seulas senyuman pada lelaki berumur 50an yang sedang berdiri di ambang pintu balcon tempat aku berdiri.
“Sedang apa? Menatap jalan lagi?” Tanyanya mendekatiku.
Aku hanya menggeleng perlahan sambil melipat tanganku didada dan mengalihkan pandanganku pada lantai.
“Kenapa Vega? Sakit? Kulitmu terlihat sangat pucat.” Tanyanya kembali sambil memengang kedua pundakku.
“Aku tidak sakit Ayah. Mungkin aku hanya terlihat pucat saja karna kulitku putih.” Jawabku pelan.
“Baiklah. Mungkin ayah memang terlalu mengkhawatirkanmu.” Ucap Ayah sambil membelai  rambut rambut panjangku.
“Um.. Ayah.. ini hampir pukul 7, tidak ke kantor?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil melirik jam tangan berwarna hitam yang terpasang di tangan kiriku.
Ayah melirik pada jam tangan miliknya dan tersenyum.
“Mungkin sebaiknya ayah pergi sekarang. Kita tidak akan tau kalau diperjalanan akan macet atau tidak bukan.” Usulku sambil memutar bola mataku.
Ayah mengangguk dan memasukkan kedua tangannya pada saku celananya.
“Baiklah Vega, sampai jumpa nanti. Belajarlah dengan giat.” Ucap Ayah sambil berjalan perlahan meninggalkanku yang masih berdiri mematung.
***
            “Kenapa melamun Vega? Apa soalnya begitu susah?” Tanya seorang wanita cantik berusia  yang tengah duduk di hadapanku.
            “Tidak.” Jawabku singkat
            Wanita cantik berkulit kuning langsat itu hanya mengerutkan dahi sambil menatap ke arahku.
            “Oh ya bu..” Ucapku pelan hampir tak terdengar.
            “Ya?” Jawabnya ragu-ragu.
            “Ibu kan sudah mengajar saya hampir 6 tahun, apa Ibu Laura tau kenapa ayah memutuskan agar saya home schooling sejak saya lulus SD?”
            “Maaf Vega, tapi saya tidak tau apa-apa, saya hanya memenuhi perintah Ayah kamu untuk mengajari kamu di rumah.” Jelasnya.
            Aku sangat kecewa dengan jawaban Bu Laura. Aku kembali pada pelajaranku.
Ah ini terulang lagi! Ucapku kesal didalam hati. Aku memegangi kepalaku dengan kedua tanganku.
“Kenapa Vega?” Tanya Bu Laura dengan nada sedikit khawatir.
“Tidak apa-apa, hanya saja mata saya.. mata saya kabur lagi.” Jawabku pelan.
Aku bahkan tidak dapat melihat Bu Laura dengan jelas. Mataku sering kabur tiba-tiba, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena hanya terjadi beberapa detik maupun beberapa menit dan setelah itu mataku bisa melihat dengan normal kembali.
“Kenapa kamu tidak menuruti kata Ayahmu untuk diperiksa rutin oleh Dokter Mata?” Tanya Bu Laura kembali.
Aku tertawa dan mengucek mataku.
“Ini bukan masalah besar Bu. Setelah ini mata saya akan kembali normal lagi seperti biasa. Dan saya tidak ingin berurusan dengan dokter, itu membuat saya terlihat seperti orang sakit” Jawabku pelan.
Bu Laura menggeleng perlahan sambil tersenyum
Ya ini bukan apa-apa. Aku baik-baik saja, aku yakin akan itu. Ucapku dalam hati
***
Aku terlihat berbeda dengan bantuan Bu Laura. Malam ini aku mengenakan gaun biru muda selutut dan berlengan panjang. Bu Laura mengoleskan sedikit lipgloss berwarna merah muda pada bibirku.
            “Ayo Vega kita turun ke bawah, Yang lain sudah menunggu.” Ajak Bu Laura. Menurutku Bu Laura memang terlihat sangat cantik dan umm.. Keren. Ya terlihat keren padahal usianya sudah 30an.
            Aku turun kebawah dengan Bu Laura. Di ruang bawah sudah ada ayah dan beberapa orang yang bekerja di rumahku. Aku tersenyum simpul meihat orang-orang yang biasa bekerja dirumahku. Ada 3 orang yang bekerja dirumahku, setidaknya mereka sedikit meramaikan suasana. Sebelumnya aku hanya merayakan ulang tahunku bersama Ayahku saja. Ibuku sudah tidak ada. Yah, dia meninggal saat melahirkannku.
            Ayah berdiri diantara mereka sambil memegang kue ulang tahun berukuran sedang. Aku berjalan perlahan menuju Ayah dan memberikan seulas senyum.
            “Selamat ulang tahun Vega.” Ucap Ayah tulus.
            Tak lama setelah itu beberapa orang yang bekerja dirumahku bertepuk tangan sambil mengatakan kalimat tiup lilinnya berulang-ulang.
            Aku melihat ke arah Bu Laura yang mengangguk dan tersenyum kearahku. Sejenak kutatap lilin yang berbentuk angka satu dan tujuh dihadapanku. Kupenjamkan mataku dan mengharapkan suatu permohonan. Kemudian aku membuka mataku perlahan dan meniup lilin dihadapanku.
            Bu Laura dan beberapa orang lainnya bertepuk tangan. Ayah menyimpan kue yang dipegangnya di meja.
            “Apa yang kamu inginkan di hari ulang tahunmu yang ke-17 Vega.” Tanya Ayah padaku. Seketika aku menatap ayahku, wajahnya terlihat sangat lelah.
            Aku menghela napas panjang. Mencoba memberanikan diri untuk berkata.
            “Aku hanya ingin pergi keluar dengan bebas tanpa pengawasan Ayah.” Ucapku pelan.
            Ayah tampak berpikir sejenak. Aku mengaharapkan jawaban yang sangat ingin kudengar. Aku sedikit gelisah.
            “Maaf Vega. Ayah akan memberi apapun yang kamu mau. Tapi Ayah tidak dapat mengabulkan permintaan mu untuk keluar rumah tanpa pengawasan.” Ucap ayah. Mata tajam menatapku dalam-dalam.
            “Kenapa? Kenapa tetap ga boleh. Aku hanya minta itu. Aku ingin melihat keluar seperti dulu.” Sela ku. Aku berkata dengan nada tinggi. Mataku sudah berair. Ayah memegang kedua tanganku. Aku segera melepaskannya. Kulihat semua orang terdiam melihat kejadian ini, begitu juga dengan Bu Laura. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
            Mataku kabur kembali. Aku berlari menaiki tangga dengan hati-hati dan segera masuk kedalam kamar. Aku membenamkan wajahku di bantal. Tak lama kemudian seseorang mengelus lembut punggungku.
            “Ayah akan berikan alasan kenapa kamu home schooling dan kenapa kamu tidak boleh keluar tanpa diawasi Vega.” Ucap Ayah tiba-tiba.
            Aku mencoba duduk dan mengusap air mataku. Aku memeluk bantal dan duduk mendekati ayah di tepi kasur. Ayah menghela nafas sebelum berkata. Ia  menatap kosong ke arah jendela di kamarku.
            “Saat kamu berusia 11 tahun setelah lulus SD, matamu sering kabur. Kamu mengeluh pada ayah tentang matamu kan?” Jelas Ayah.
            “Dokter waktu itu bilang bahwa itu gejala penyakit Glaukoma yang lama kelamaan membuat bisa matamu menjadi buta. Sulit mengobati penyakit ini. Itu kenapa Itu kenapa ayah memutuskan kamu home schooling dan menawarkan untuk sering periksa rutin ke Dokter.” Lanjut Ayah.
            Mataku berkaca-kaca, aku menutup mulutku dengan kedua tanganku.
            “Jadi.. itu sebabnya, Ayah takut seketika aku akan menjadi buta.” Ucapku dengan suara tertahan.
            “Kamu selalu menutup telinga atau pergi saat ayah ingin mengatakan tentang penyakitmu. Seharusnya Ayah tetap memberitahumu, Maaf.” Kata Ayah sambil menunduk.
            “Aku yang seharusnya minta maaf Ayah. Aku tidak mendengarkan apa yang Ayah bilang. Aku siap suatu hari sesuatu yang buruk terjadi padaku.” Ucapku pelan.
            “Tidak Risa. Tidak akan terjadi apa-apa. Mulai besok apa kamu mau ke Dokter untuk berobat?” Tanya Ayah dengan wajah meyakinkan.
            Aku mengangguk dan memeluk Ayah.
***
            Keesokan harinya Aku terbangun dari tidurku. Mataku terasa aneh. Aku tidak melihat setitik cahaya sedikitpun. Aku mulai khawatir. Apa mati lampu? Tanyaku dalam hati. Aku meraba-raba kasurku mencari handphone. Berharap Aku bisa melihat dengan cahaya handphone.
            Kudapatkan handphoneku tapi Aku tetap tidak bisa melihat cahaya handphone ku. Aku mulai ketakutan dan berteriak keras. Tidak lama setelah itu seseorang terderngar berlari kearahku dan memegang pundakku. Aku mencoba meraba dan memegang tangan itu.
            “Ayah. Apa mungkin?” Tanyaku sambil menangis. Ayah mengusap air mataku dan segera menuntunku untuk berjalan. Aku terus menangis.
            “Ayo Vega. Kita harus segera ke Rumah Sakit.” Ujar Ayah sambill menuntunku. Aku mengusap air mataku saat aku sudah duduk di dalam mobil dan sedikit merapikan rambutku.
            Tak lama setelah itu aku merasa mobil sudah berhenti bergerak. Apa sudah sampai? Tanyaku dalam hati. Setelah itu aku merasakan tangan ayah yang memegang tanganku dan menuntunku kembali keluar dari mobil.
            “Tetap pegang tangan Ayah Vega.” Ucap Ayah sambil berjalan menuntunku dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa saat kemudian Ayah mengatakan padaku untuk duduk dan menunggu giliran namaku dipanggil. Aku merasa sangat khawatir.
            “ Vega Diana!” Terdengar nama ku dipanggil seseorang wanita. Ayah memegang tanganku dan mengatakan ini waktunya aku masuk ke ruangan.
            “Selamat Pagi.” Terdengar suara seorang Dokter wanita.
            Ayah melepaskan tanganku perlahan. Dan Aku mendengarkan Ayah sedang menjelaskan apa yang terjadi. Kemudian Dokter itu memanggil kembali namaku dan mulai memeriksa mataku.
            Setelah memeriksa mataku Dokter wanita itu terdengar berbicara serius entah padaku atau pada ayah.
            “Maaf tapi matanya sudah buta. Dan akan sulit untuk mengobatinya.” Ucap dokter itu.
            Aku hanya terdiam.Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ayah memegang tanganku kembali setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter. Dan mengatakan padaku bahwa kami akan pulang. Secepat inikah aku menjadi buta? Pikirku.
 Aku sadar Aku keras kepala. Inilah yang kudapat, aku menuai apa yang aku tanam. Sekarang Aku kehilangan semua cahaya dimataku. Ayah memelukku. Aku bahkan tak bisa mengeluarkan air mataku lagi. Aku mencoba menerima apa yang telah terjadi.
            Setelah kejadian itu Aku tetap menjalani kehidupanku dengan bantuan Ayah dan yang lainnya. Aku bahkan terlihat lebih buruk dari orang yang sakit. Aku menggerutu di dalam hati. Mulai sekarang Aku akan berjalan di jalan yang tak bercahaya.

Penulis: Icmi Risalati, Mahasiswi Poltekkes Pontianak

Posting Komentar

0 Komentar