Prosesi Penobatan Kesultanan Pontianak ke IX/ Foto: Sukardi |
Pontianak, sukarditb.com- Islam dan budaya lokal sangat menarik
untuk dipelajari. Di dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang islam di sekitar
kita yang erat dan menampilkan budayanya masing-masing. Ada beberapa budaya yang pelaksaannya
dihubungkan dengan penyampaian ajaran agama islam. Melihat sejarah Wali Songo,
Sunan Kalijaga menerapkan pendekatan dakwah kepada mad’u melalui pertunjukan
seni wayang. Dakwah Sunan Kalijaga berjalan dengan baik dan budaya wayang pun
semakin terkenal. Selain budaya, terdapat juga bukti-bukti bangunan dan
peninggalan sajarah yang berhubungan dengan penyebaran agama islam.
Keraton Pontianak, merupakan
salah satu situs bersejarah yang ada di Kalimantan Barat. Peradaban islam dan
perjuangan mempertahankan Negara Indonesia dari penjajah juga terekam dalam
sejarah Keraton Pontianak.
Saya melakukan riset mengenai
sejarah masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman dan Keraton Kadriah Pontianak.
Saya bertemu dengan salah satu tokoh keturunan Keraton Pontianak. Yakni Pak
Simon. Nama tersebut beliau dapat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar pada
masa Belanda. Nama tersebut diberikan oleh paman beliau, Sultan Hamid II.
Karena menyesuaikan dengan sekolah. Pak Simon sekolah di Sekolah Dasar Bluder
Katolik. Sekolah tersebut terbuka untuk umum. Bahasa Belanda menjadi bahasa
pengantar, beliau sekolah selama tiga tahun.
Pak Simon memiliki nama asli
Syarif Selamat Joesoef Alkadrie. Beliau menduduki jabatan di Keraton Pontianak
sebagai ketua umum Pangeran Bendahara, dan sekarang menjadi Pemberhati Budaya
Kalimantan Barat. Ibu Pak Simon bernama Syarifah Khadijah Alkadri memiliki
gelar Ratu Perbu Wijaya. Kakek Pak Simon bernama Sultan Syarif Muhammad
Alkadrie, Sultan ke-6 di Keraton Pontianak.
Istri Pak Simon bernama Syarifah
Zainab binti Agil Assegaf. Dikaruniai anak tiga perempuan dan satu laki-laki.
Syarifah Yusufia Alkadrie, Syarif Yusuf Alkadrie (Alm), Syarifah Fadlun
Alkadrie, dan yang bungsu bernama Syarifah Syafina Alkadrie.
Sejarah Berdirinya Kota Pontianak
Syarif Abdurrahman Al-Kadri bin
Sayyid Al-habib Husein Al-kadri Jamalulail, yang kemudian terkenal dengan
sebutan Sultan Syarif Abdurrahman lahir
di kerajaan Matan (sekarang Ketapang).
Ia dilahirkan hari senin tanggal 15 rabiul Awal pukul 10 siang tahun 1142
H/1730 M. Anak kedua dari Al-Habib Husein, seorang penyebar Islam dari Arab.
Sebagai seorang keluarga di
lingkungan istana Sultan Ma’aziddin, Syarif Abdurrahman muda pun menikmati
pendidikan dan pengetahuan yang cukup, Matan sebagai kerajaan kecil waktu itu,
terletak dibagian ujung Selatan Kalimantan Barat merupakan salah satu pelabuhan
dagang yang banyak disinggahi baik oleh para pedagang dari Banjarmasin, Sumatra
dan pantai utara pulau Jawa. Juga banyak disinggahi oleh para pedagang Cina
maupun Belanda dan Inggris, Arab dan India. Kesibukan pelabuhan dagang ini
memberikan kesempatan kepada pemuda Syarif Abdurrahman mempelajari seluk beluk
kaum pedagang. Ia pun sering mendapat kesempatan ikut berlayar dengan perahu
para pedagang. Kehidupan kerajaan Matan telah mendidik dan memberi bekal
kedewasaan Syarif Abdurrahman tentang masalah kekuasaan di kerajaan dan masalah
perdagangan sebagai salah satu sumber kehidupan pada masa itu.
Ketika Habib Husein berpindah
dari negeri Matan ke neegri Mempawah, tahun 1755, seluruh keluarganya dibawa
pindah ke Mempawah. Habib Husein sengaja meminta permukiman baru yang berada di
Kuala Mempawah dan dekat ke Laut. Ia ingin berhubungan dengan masyarakat yang
berlalu lintas sambil berdagang sehingga penyebaran agama Islam akan lebih
mudah berkembang keberbagai daerah. Pada waktu itu pusat kerajaan Mempawah
dipimpin oleh Opu Daeng Menambun berada di Sebukit di Mempawah Hulu.
Pemukiman keluarga Habib Husein
di Galah Herang yang sekaligus merupakan pusat pengajaran agama Islam, dalam
waktu singkat telah ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah pesisir
pantai Barat Kalimantan Barat ini telah mendorong Syarif Abdurrahman yang waktu
itu masih berumur 18 tahun untuk ikut menelusuri kehidupan para pedagang
disekitar Mempawah. Ketika berumur 22 tahun ia pergi ke Negeri Banjar untuk
berdagang.
Pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 H
atau pada pertengahan tahun 1771, pangeran Syarif Abdurrahman kembali ke
Mempawah dengan membawa Armada kapal layarnya serta kapal Tiang Sambung yang
dipersenjatai dengan Meriam. Tiba di Mempawah, baru diketahuinya bahwa
ayahandanya Habib Husein Al-kadrie telah berpulang kerahmatullah. Kematiannya
disebabkan pula sudah sangat rindu pada putra tersayangnya yang sudah lama
pergi. Rakyat Mempawah sangat senang dengan kedatangan pangeran Syarif
Abdurrahman . ia membagi-bagi beras, pakaian dan uang, hasil pengembaraannya
selama beberapa tahun.
Semua saudara dan keluarganya
mufakat untuk berlayar mencari tempat pemukiman yang dianggap tepat. Cita-cita
ayahnya, Habib Husein untuk mencari tempat di negeri Timur di daerah yang subur
dimana anak cucunya dapat hidup dengan baik, dilanjutkan oleh pangeran Syarif
Abdurrahman.
Keinginan pangeran Syarif
Abdurrahman untuk berlayar mencari pemukiman bari didukung pula oleh karena ia
memiliki kapal yang cukup banyak dan kuat dan telah mempunyai modal dan barang
dagangan yang cukup. Di antara anak buahnya adalah orang-orang Benggali asal
kapal Perancis yang dikalahkannya.
Pada sore hari kedua Jumat 9
Rajab 1185, 18 Oktober 1771 menyusuri sungai Kapuas, Pangeran Syarif
Abdurrahman menemukan sebuah pulau di tengah sungai yang kemudian dinamakan
pulau Batu Layang. Pada malam harinya rombongan 14 kapal mendapat gangguan.
Menurut kisahnya, gangguan tersebut berasal dari para hantu yang mendiami Pulau
Batu Layang dan daerah sekitarnya. Gangguan pada malam hari itu yang
ditafsirkan sebagai hantu jahat, membuat takut anak buah perahu rombongan.
Keesokan harinya mereka tidak meneruskan perjalanan, sambil memperhatikan
situasi sekitarnya. Pada siang hari pun mereka ditakuti oleh suara-suara
mengerikan. Malam berikutnya merekapun mendapatkan gangguan dari suara semacam
hantu dan gangguan lainnya.
Karena selalu diganggu oleh hantu
jahat yang disebut kuntilanak atau Pontianak sehingga untuk mengusirnya harus
di tembak dengan meriam, maka tempat dimana Pangeran Syarif Abdurrahman
membangun pemukiman baru disebutnya Pontianak.
Gangguan yang menakutkan itu
sesungguhnya datang dari para perampok dan penjahat yang banyak terdapat
diperairan sungai Kapuas dan sungai Landak. Mereka bersembunyi didaerah
pertigaan pertemuan kedua sungai itu. Apabila ada perahu atau kapal datang yang
melewati muara Sungai Kapuas, mereka menyerang dan merampasnya dan kemudian
lari bersembunyi dipedalaman sungai Kapuas dan sungai Landak.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 H
atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan sungai Kapuas dan sungai
Landak. Selama 8 hari pertama pangeran Syarif Abdurrahman memimpin dan menebas
hutan diujung delta sungai Kapuas dan sungai Landak. Pekerjaan satu minggu ,
mereka berhasil mendirikan rumah sederhana dan tempat beribadah di daerah itu.
Dan kemudian tempat itu dinamakan Pontianak.
Sementara pangeran Syarif Abdurrahman meneliti daerah sekitarnya yang
ternyata sudah didiami oleh penduduk suku Dayak dan orang-orang Melayu
disepanjang sungai Landak dan sungai Kapuas. Kedatangan rombongan Syarif
Abdurrahman itupun menarik perhatian orang yang lalu lintas di daerah itu.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan
sya’ban 1192 H, bertepatan dengan hari senin dengan dihadiri oleh Raja Muda
Riau, raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al-Habib
Al-Kadrie.
Pada 1992 H, Syarif Abdurrahman
dikukuhkan menjadi sultan pada Kesultanan Pontianak. Letak pusat pemerintahan
ditandai dengan berdirinya Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman Al-Kadrie dan Keraton Kadariah, yang sekarang terletak
di Kelurahan dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.
Dengan bantuan Sultan Pasir,
Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka,
juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi
seseorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di
Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai Landak dan kemudian
mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur, dan Pontianak
berdiri.
Masuknya Islam di Pontianak
Di Kalimantan, Islam masuk
melalui Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab Bernama Sultan Syarif
Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan
Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno. Masuknya Islam di Kalimantan ini juga
tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yaitu
Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam perspektif yang berbeda
kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan Ekonomi dan Perdagangan.
Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan oleh
pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada perdagangan
atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.
Di Mempawah Habib Husein
Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau menikahkan
putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid Raja Mempawah
Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat
menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja
Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein
Al-Qadrie.
Umat Islam pada masa awal
masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut
Islam masih sedikit. Tetapi, setelah berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada
tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan
Pontianak dengan Rajanya yang bernama SultanSyarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang
menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat.
Kehadiran kesultanan yang
bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan agama islam di
Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak dipinggir sungai Kapuas dengan
Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai Sultannya menyebabkan Islam yang
menjadi mayoritas dimana masyarakat di sekitar kesultanan Pontianak seperti, di
Kamping Bansir, di Kampung Kapur, Kampung banjar Serasan dan Kampung Saigon
sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat
seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada jaman tersebut beliau adalah
salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie mengundang
Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di lingkungan Keraton Kadariyah
Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada masa itu sudah menyebarluas
kewilayah Pontianak. Ustadz Dza’far yang kelak menurunkan anak yang bernama
Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang Muhammadiyah di Sungai Bakau
Kecil di Mempawah.
Hubungan Islam dan Budaya Istana Kadriah Pontianak
Sejarah Tokoh
Dahulu kala, empat orang pemuda
berangkat dari kota Trim Hadralmaut, negeri Arab. Yang masing-masing bernama Ma
Al Habib Husin, Al Syayid Abubakar Idrus, Al Syayid Umar Al Seaf dan Al Syayid
Muhammad Quraisy. Tujuan mereka
melaksanakan pesan yang disampaikan oleh sang guru, yakni pergi ke
negeri hijau yang berada di sebelah Timur Arab, untuk mencari ilmu serta
menyebarkan syiar Islam.
Perjalanan awal mereka bertemu
dengan negeri Malaysia. Tepatnya di negeri Trengganu. Ternyata di negeri
Trengganu menjadi awal perpisahan keempat pemuda ini. Masih memiliki tujuan
yang sama, memperluas daerah Islam, Al Syayid Umar Husin Al Segaf masuk ke
negeri Siak. Syayid Mohammad bin Achmad Quraisy memilih untuk menetap di
Trengganu.
Dua orang lainnya Syayid Abubakar
Idrus dan Al Habib Husin menuju Aceh. Nah, di Aceh inilah mengembangkan dan
mengajarkan hukum Syara. Pengembaraan Al Habib Husin masih panjang. Dia sempat
singgah di Betawi (Jakarta) selama kurang lebih tujuh bulan. Setelah
menyinggahi Betawi, beliau menuju Semarang. Di Semarang ini Al Habib Husin
bertemu dengan seorang ulama bernama Syekh Salim Hambal dan tinggal bersama di tempat
Syekh Salim Hambal selama kurang lebih dua Tahun.
Ternyata waktu dua tahun,
merupakan waktu yang cukup lama buat Al Habib Husin. Beliau bermaksud keluar
dari Semarang, menuju daerah Timur, sebagaimana dimaksud gurunya menjelang
keberangkatannya dari Hadral Maut. Habib Husin mendiskusikan nya dengan Syekh
Salim Hambal. Syekh Salim menyarankan supaya ke negeri Matan. Di Matan Al Habib
Husin bertemu dengan Syayid Hasim bin Yahya.
Orangnya dikenal berani. Kemana-mana selalu membawa tongkat besi, dan janggut
panjang yang selalu diberi pacar hingga bewarna merah.
Di negeri Matan, Syayid Hasim di
kenal dengan sebutan Tuan Janggut Merah dan memiliki sifat fanatik. Fanatik
disini ialah, dimanapun dia melihat benda yang berupa patung dengan motif
makhluk hidup, seperi ular, dan bentuk lainnya, si Tuan Janggut Merah akan
menghancurkan patung tersebut dengan tongkat besinya itu.
Kedatangan Al Habib Husin
terdengar oleh Raja Kerajaan Matan, yang kemudian berhasrat untuk menjamu
sebagai perkenalan dan penghormatan kepada Al Habib Husin yang baru datang dari
Semarang, dan berkeinginan untuk menyebarkan syiar agama Islam.
Dalam perjamuan ini, dilengkapi
pula dengan jamuan makan sirih. Alat pembelah pinang, yang biasa di sebut
Kacip, malah dipatah-patahkan oleh Tuan Janggut Merah. Karena dibagian Kacip
tersebut ada gambar yang berbentuk makhluk hidup. Tentu, pihak majelis dan
Kerajaan Matan menjadi kurang senang terhadap Syayid Husin. Patahan dari
Kacip itu, di kumpulkan oleh Syayid
Husin, dan dengan ridho Allah SWT, Kacip kembali pada bentuk semula. Setelah
kejadian pada Kacip , Raja Matan
menyerahkan jabatan Mufti (Hakim) Peradilan Agama dan Penyebaran Syariat Agama
Islam, kepada Al Habib Husin. Karena
kebenaran yang dibawa Habib Husin, maka
Raja Matan dan seluruh rakyat hormat kepada Habib Husin.
Raja Matan, menikahkan putrinya
yang bernama Nyai Tua kepada Al Habib Husin, dari Pernikahan Al Habib Husin dan
Nyai Tua, di anugrahi empat Zuriyat (Anak), yang pertama perempuan, bernama
Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Aluyah dan yang terbungsu,
Syarif Alwi.
Selama memangku jabatan Mufti di
Matan, nama Al Habib Husin menjadi terkenal dan tersebar luas. Raja Kerajaan
Mempawah, Opu Daeng Manambon, menyuruh agar Al Habib Husin mau pindah ke Mempawah untuk mengajar Agama
Islam. Namun permintaan Raja Mempawah belum dapat dipenuhi, karena Al Habib
Husin merasa bertanggung jawab dan merasa dikasihi oleh rakyat Matan. Tak lama
kemudian, datanglah perahu lancing dari negeri Siantan dengan nahkoda bernama
Achmad membawa dagangan ke Negeri Matan. Namun di sini Achmad telah berbuat
tidak patut terhadap seorang wanita sehingga menimbulkan kemarahan Raja Matan,
dan ia akan dibunuh.
Namun mengingat Raja Matan
memberikan tanggung jawab peradilan agama kepada Al Habib Husin, maka niat
membunuh Nahkoda Achmad tidak terlaksana. Oleh Al Haib Husin diputuskan bahwa Achmad tidak dihukum bunuh, melainkan dihukum dengan membayar
denda dengan uang dan nakhkoda Achmad disuruh untuk bertobat serta memohon mpun
kepada Raja sebagai hokum Ta’zir. Keputusan itu akhirnya di terima oleh Raja
Matan, walaupun bertentangan dengan keinginannya.
Setelah menerima putusan,
nakhkoda Achmad memohon kepada Raja Matan untuk pulang ke negeri Siantan. Namun diam-diam Raja Matan memerintahka dua
orang untuk menyerang nakhkoda Achmad
dan ia terbunuh di muara Kayang Matan. Mendengar kejadian itu, Al Habib Husin
merasa kecewa terhadap tindakan dan dendam Rajanya.
Kemudian Al Habib Husin menulis
surat kepada Raja Opu Daeng Manambon dan menyatakan kesediaannya untuk hijrah
ke Mempawah. Jika diterima, Al Habib
Husin minta dibuatkan sebuah rumah dan surau yang terletak di kuala dimana
penghabisan pohon nipah.
Raja Mempawah yang menyanggupi
permintaan Al Habib Husin, kemudian berangkat sendiri mencari tempat yang
dihajatkan oleh Al Habib Husin. Dengan
diiringi anak cucu serta menteri-menterinya, dalam pencarian tersebut Raja
Mempawah menemukan tempat yang dimaksudkan Al Habib Husin, yaitu pada
penghabisan pohon nipah dan diberi nama “Galah Hirang”. Di tempat ini segera
dibangun rumah dan surau. Setelah pembangunan rumah dan surau selesai, Raja
mempawah menyuruh anaknya bernama Gusti Haji Gelar Pangeran Mangku untuk pergi
ke Matan dengan membawa dua perahu besar untuk menjemput Al Habib Husin. Dan
pada Tahun 1160 pada delapan hari bulan Muharram, Al Habib Husin berangkat
menuju Mempawah. Dalam kepindahannya setelah 17 tahun tinggal di negeri Matan,
Syarif Abdurrahman belum dewasa.
Setelah Syarif Abdurrahman
berusia 18 tahun, Al Habib Husin berniat mengawinkan putranya dengan putrid
Mempawah bernama Utin Tjandramidi. Menurut cukilan dalam kisah pinangan Al
Habib Husin, Raja Mempaawah terasa berat menerimannya. Namun untuk menolak
pinangan, Raja Mempawah sangat segan mengingat Al Habib Husin sebagai guru yang
mengajar agama Islam sangat dihormati.
Maka terpikirlah oleh Raja Mempawah untuk mencari alasan atas pinangan
Al Habib Husin, dengan meminta mahar 1000 buah pahar ( tempat hidangan
makanan). Di luar dugaan Raja Mempawah, mahar yang diminta dapat dipenuhi Al
Habib Husin. Janji wajib ditepati, karena barang yang diminta sebagai mahar
sudah dipenuhi, maka pinangan Al Habib Husin diterima oleh Raja Mempawah Opu Daeng
Manambon. Akhirnya Syarif Abdurrahman dikawinkan dengan Putri Utin Tjandramidi.
Selama Al Habib Husin tinggal di
Mempawah, putranya Syarif Abdurrahman selalu merantau ke Pulau Tambelan,
Siantan, Palembang, dan Banjar. Di Banjar Syarif Abdurrahman menikah lagi
dengan bernama Ratu Syah Ranun, dan oleh Sultan Banjar, syarif Abdurrahman
diangkat menjadi Pangeran Syarif
Abdurrahman Nur Alam. Setelah dua tahun di Banjar Syarif Abdurrahman kembali ke
Memepawah, kemudian berangkat kembali ke Banjar selama empat tahun. Namun
begitu pulang ke Mempawah didapati ayahnya Al Habib Husin telah wafat pada
Hijrah Sunnah 1184 tahun WAW tiga hari Zulhijah pukul dua arba’a dimakamkan di
Kampung Galah Hirang, Mempawah. Syarif Abdurrahman dan saudara-saudaranya yaitu
syarif Alwi, Syarif Abubakar, dan Syarif Hamid Ba’bud musyawarah bertujuan
keluar mencari tempat kediaman baru.
Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
- Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie - Masa Pemerintahan 1 September 1778 – 28 Februari 1808
- Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie - Masa Pemerintahan 28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
- Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie - Masa Pemerintahan 25 Februari 1819 – 12 April 1855
- Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie - Masa Pemerintahan 12 April 1855 – 22 Agustus 1872
- Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie - Masa Pemerintahan 22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
- Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie - Masa Pemerintahan 15 Maret 1895 – 24 Juni 1944 - *Interregnum 24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
- Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie) - Masa Pemerintahan 29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978 *Interregnum 30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
- Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie - Masa Pemerintahan 15 Januari 2004 – 15 Juli 2017
- Sultan Syarif Machmud Melvin Alkadrie bin Syarif Abubakar Alkadrie - Masa Pemerintahan 15 Juli 2017 sampai sekarang.
Masjid Jami’ Sultan Syarif
Abdurrahman Pontianak
Masjid Jami’ Sultan Syarif
Abdurrahman berada di kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, kecamatan
Pontianak Timur, Kota Pontianak. Masjid ini hanya berjarak 200 meter di sebelah
barat Istana Kadriah.
Masjid Sultan Abdurrahman berada
di dekat pusat kota Pontianak. Lokasi
masjid dapat dijangkau melalui jalur sungai dan jalur darat. Pengunjung yang
memilih jalur sungai dapat mengaksesnya dengan menggunakan sampan atau speed
boat dari pelabuhan Senghie, sedangkan pengunjung yang menggunakan jalur darat
dapat naik bus yang melewati bus jembatan Sungai Kapuas.
Pada tahun 1770 M, Habib Husein
Al Kadri wafat di kerajaan Mempawah. Tiga bulan kemudian, anak beliau yang
bernama Syarif Abdurrahman dan saudara-saudaranya, sepakat untuk meninggalkan
Kerajaan Mempawah dan mencari daerah permukiman baru. Pada tanggal 23 Oktober
1771 M (24 Rajab 1181 H), rombongan Syarif Abdurrahman menemukan lokasi yang
sesuai di delta Sungai Kapuas Kecil, Sungai Landak, dan Sungai Kapuas. Setelah
delapan hari menebas hutan, rombongan ini lalu mendirikan tempat tinggal dan sebuah
langgar (Mushola/Surau).
Seiring dengan pesatnya
perkembangan kawasan tersebut, lambat-laun lannggar sederhana itu pun kemudian
berubah menjadi masjid. Sultan Syarif Usman (1819-1855 M), Sultan ke-3
Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan pertama kali yang meletakkan
fondasi bangunan masjid sekitar tahun1821 M/1237 H.
Bukti masjid tersebut dibangun
oleh Sultan Syarif Usman dapat dilihat pada inskripsi huruf Arab yang terdapat di atas mimbar
masjid yang menerangkan bahwa Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dibangun oleh
Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharram 1237 H. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus
dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya yang sekarang
ini.
Untuk menghormati jasa Sayyid
Syarif Abdurrahman Alkadri, pendiri Kota Pontianak dan sultan pertama
Kesultanan Pontianak, masjid yang berada disebelah barat Istana Kadriah itu pun diberi nama Masjid
Jami’ Sultan Abdurrahman.
Masjid ini memiliki panjang 33,27
meter dan lebar 27,74 meter ini merupakan masjid tertua dan masjid bersejarah
di Pontianak. Masjid yang undak (seperti tajug ala arsitektur Jawa) paling
atasnya mirip mahkota atau genta besar khas arsitektur Eropa ini menjadi saksi
sejarah perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota Pontianak dan sekitarnya.
Mayoritas konstrusi bangunan
masjid terbuat dari kayu belian pilihan. Dominasi kayu belian masih dapat
dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, dan sebuah bedug besar yang
terdapat di serambi masjid. Enam tonggak utama (soko guru) penyangga ruangan
masjid yang berdiameter 60 sentimeter juga terbuat dari kayu belian. Konon,
tonggak-tonggak tersebut telah berusia 170 tahun. Selain enam tonggak utama,
terdapat empat belas tiang pembantu yang berfunsi sebagai penyangga ruangan
masjid. Pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada pintu dan jendela masjid yang
cukup besar, sedangkan pengaruh Timur terlihat pada mimbarnya yang berbentuk kubah.
Seperti bangunan rumah Melayu
pada umumnya, masjid ini juga memiliki kolong di bawah lantainya. Meski persis
berada di atas air Sungai Kapuas, masjid ini tidak pernah kebanjiran karena
fondasi masjid berjarak sekitar satu setengah meter di atas permukaan tanah.
Di masjid ini, terutama pada
hari-hari besar Islam selalu membuat kegiatan. Baik itu kegiatan bersifat
keagamaan, maupun bersifat kegiatan kemasyarakatan berupa
perlombaan-perlombaan. Dimana kegiatan
tersebut sering dilakukan di masjid manapun di halaman masjid. Masjid ini harus dilestarikan dan menjadi
kebanggaan Kota Pontianak.
Istana Kadriah
Istana Kadriah berdiri gagah di
tepi sungai Kapuas, tempatnya di wilayah Kampong Dalam Bugis, dengan ornamennya
kental menyiratkan ciri kerajaan Islam. Selain cat warna kuning khas melayu,
terdapat banyak sekali pahatan bulan dan bintang yang menghiasi sisi Keraton.
Logo ini tertera dipintu masuk dan dinding kayu, serta di bendera kebesaran
yang berkibar di halaman Istana. Ruang Istana di dominasi warna kuning.
Singgasana Raja berwarna keemasan berdiri kokoh dikelilingi foto para pembesar
kerajaan dan beberapa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci keramik.
Tampak pula sebuah cermin antik dari Eropa,
yang dinamakan “Kaca Seribu” hadiah kepada sultan ke-6. Terdapat Alquran
tulis tangan, yang di tulis pada masa Habib Usman. Ruangan ini masih menyiratkan
aura kegagahannya sebagai tempat para petinggi mengambil keputusan.
Lantainya masih papan kayu
berlian (Kayu Ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Kayu ini dikenal memiliki
kekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasapun tak akan kuat untuk memotong batangnya. Pasti kita juga tak akan
menemukan ukiran indah berbahan kayu berlian. Konon, jika direndam didalam air
bertahun-tahun, kayu berlian akan awet selama puluhan tahun bahkan ratusan
tahun.
Keraton Kadriah merupakan salah
satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Keraton Kadriah menjadi peradaban
pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak, pada masa
itu diperkenlkan oleh Sultan Syarif
Abdurrahman Alkadri. Pada masa itu, sebelum ia mengenalkan ajaran Islam dan
menetap di Pontianak, ia sudah lebih dahulu menetap dikerajaan Mempawah.
Keraton Kadriah berdiri 1773,
jadi dua tahun setelah masjid Jami’. Merupakan Kesultanan paling muda di
Kalimantan Barat. Setelah Sultan Syarif
Abdurrahman membuka negeri, barulah Belada masuk untuk meminta (bernegoisasi)
untuk menduduki (menjajah) Kesultanan Pontianak.
Barang-barang di Keraton sudah
banyak yang berupa duplikat. Karena hilang pada 1 generasi. Tepatnya pada
agresi Jepang, Perang Dunia 2. Barang-barang Keraton diambil oleh Jepang dan
banyak cendikiawan muslim yang terbunuh.
Kesultanan Kadriah dengan
Kerajaan senusantara, memiliki tatanan adat istiadat serupa tapi sama. Tak
samanya itu, di Pontianak karena bermuara dengan syariat Islam. Segala sesuatu
itu menurut atiran Islam.
Dari segi berpakaian, menggunakan
pakaian gamis yang tidak berkerah. Setelah sultan ke-6 yakni Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, barulah boleh menggunakan
menggunakan pakaian modern. Beliau menyesuaikan keadaan negeri. Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie disebut juga sultan pembeharuan. Ada hal-hal tertentu
mengenakan pakaian kerajaan, seperti ketika melaksanakan upacara adat.
Di Kesultanan Kadriah, terdapt
seni yang bernapaskan islam, yakni Hadrah dan Zapin. Yang sangat utama adalah
tentang perayaan hari besar Islam. Yakni Maulid Nabi, dirayakan secara
besar-besaran. Isra’ Mi’raj. Dan pada tanggal 1 Muharram 1436 H, bertepatan
tanggal 25 Oktober 2014, ialah hari wafatnya Sultan Syarif Abdurrahman, dari
Keluarga Kesultanan akan mengadakan “Haul”.
Ada tiga sarana pendidikan, yakni
Madrasah Abdurrahmaniah, Madrasah Saigoniah, dan Al Raudhatul Islamiyah. Banyak
ustad lulusan dari Madrasah tersebut. Tidak hanya dari kalangan kesultanan yang
bisa belajar, dari semua suku bisa belajar.
Tahun 2014 ini, dilakukan perenofasian pada prapon, atap dan
pengecatan pada badan Keraton Kadriah. Dengan target waktu pengerjaan 180 hari
di mulai pada bulan September 2014. Yang bekerja ialah para ahli bangunan
lokal. Bahannya menggunakan kayu Mengkiray, yang sudah di open, hingga cukup
kering dan di pian. Dana didapat dari bantuan Pemerintah Kota Pontianak.
23 Oktober 2018, Kota Pontianak
bersusia 247 tahun.
Jadi terlihat jelas dari rekaman
sejarah, dan peninggalan sejarah yang masih berdiri kokoh, yakni Keraton
Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, bahwa penyebaran dan
perabadan Islam dan berkaitan dengan budaya lokal di kota Pontianak sangatlah
besar. Islam yang sangat fleksibel, tidak memisahkan budaya, itulah yang
memikat rakyat Pontianak yang kaya akan budaya.
Hasil riset ini sangat menambah
wawasan dan pengetahuan tentang peninggalan peradaban islam dan asal mula
terbentuknya Pontianak. Sebagai pemuda
penerus bangsa, para pelajar dan mahasiswa dan semua rakyat yang ada di Nusantara
pada umumnya dan masyarakat Pontianak pada khususnya, agar menjaga dan
melestarikan harta karun peninggalan para pahlawan yang telah berjuang keras
membasmi penjajah dan yang utama mensyiarkan ajaran agama Islam.
Penulis: Sukardi, S.Sos
0 Komentar