Aturan Membaca Tulisan Ini :
1. Tutup
dulu ceritanya, lihat covernya dan baca Basmalah.
2. Lakukan
Aturan pertama dulu.
3. Setelah
itu, buka lembar-demi lembar atau halaman demi halaman ( jangan di lompati)
karena tulisan ini disusun tanpa daftar isi. Maka dari itu, dilarang keras
untuk membukanya dari tengah. Tujuannya, agar cerita lebih berkesan, karena
tulisan ini disusun berdasarkan waktu (kejadian) oleh sang penulis.
4. Baca
saat sedang menganggur (tidak sedang sibuk) agar isi dapat dimengerti dan tidak
banyak bertanya pada penulis.
5. Baca
semuanya, kalaupun ada tulisan yang membuat anda bingung, tanyakan, tapi,
jangan bertanya sampai anda selesai membaca.
6. Selamat
Berpetualang. :D
Awal Berjumpa (katanya)
OPAK,
Orientasi Pengenalan Akademik Kemahasiswaan, disinilah awal cerita ini dimulai,
katanya, kata siapa ? kata saya barusan. Hehe. Saat itu saya berangkat dari
rumah. Seperti biasa, dengan terburu-buru mengejar waktu yang sebenarnya sudah
lewat dari jam masuk yang tertera di jadwal. Untungnya, ini hanyalah OPAK susulan
yang tidak terlalu sadis dan tidak terlalu ketat seperti OPAK utama yang telah
lalu. Saat itu saya sampai di Kampus, saya melihat para peserta OPAK lain yang
sudah berbaris rapi di halaman Kampus.
Selesai
memarkirkan motor , saya langsung menyusul ke barisan yang lain. Ada satu hal
yang membuat saya kesal, mau tau ? Bukan, bukan itu, saya tidak dimarahi
senior, saya bisa diam-diam menyusul barisan yang telah ada, tanpa
sepengetahuan senior. Yang membuat saya kesal adalah, tidak ada satu teman pun
yang terlihat. Kelompok 17, hanya saya saat itu. Ah, kesal. Saya sudah mencari
sampai ke penjuru barisan, tidak ada wajah yang saya kenal. Ada, tapi bukan
kelompok saya. Dengan rasa kesal, saya pun menghubungi mereka melalui Handphone
, maklum lah, masih remaja, jadi senggol sikit bacok! Haha, apa hubungan nya
coba ? Oke, lanjut. Setelah menanyakan keberadaan mereka, ternyata jawaban
mereka hanya bisa membuat saya makin kesal. Ada yang lagi tidur, ada yang
kehujanan, dan ada yang lagi di luar kota, aaah, geraam! Ingin rasanya saya
seret mereka satu persatu sampai ke kampus. Tapi apa daya bensin tak sampai,
haha.
Setelah
itu, saya pun mempunyai niat untuk menyusup ke kelompok lain, tapi ternyata
setiap kelompok itu harus di data dan melampirkan daftar nama anggota kelompok
yang hadir. Saya pun berfilsafat,(hehe) kalau saya menyusup ke kelompok lain,
bagaimana dengan nama saya ? Padahal saya hadir saat itu, kalau saya hadir,
tapi tidak absen, lalu saya tidak lulus OPAK, bagaimana? Saya bingung
sodara-sodara. Tiba-tiba ditengah kebingungan saya, saya bertemu dengan teman
saya, Nadia, anggota kelompok 1. Saya pun bercerita tentang keluhan dan
kekesalan saya terhadap teman-teman kelompok saya.
“
Ya sudah, masuk kelompok aku aja ! “ kata Nadia setelah mendengar kekesalanku.
“
yakin ?”
“
Ah, masuk aja. Ayo cepat sini “ Karena di desak dan dibujuk rayu oleh Nadia,
saya pun memasuki barisan kelompoknya. Tapi saya tetap saja kesal. Saya kesal
melihat kekompakan kelompok-kelompok lain . Walaupun sedikit yang datang, tapi
setidaknya jumlahnya bisa lebih dari lima orang, sedangkan saya, hanya saya
sendiri sepertinya. Kalaupun ada, paling hanya satu atau dua orang. Ah,
sudahlah. Setelah bergabung dengan kelompok 1, karena saya masih kesal, saya
pun berfikir untuk pulang.
“
Eh, mane kelompok aku nih ? Dah lah, aku pulang jak !” kataku dengan santai
“
Eh, jangan pulang. Gabung sama kelompok aku aja.” Tiba-tiba seorang lelaki
memberikan respon.
Ternyata
ia ketua dari kelompok 1. Saya pun terdiam dan akhirnya saya bergabung dengan
kelompok 1. Sebenarnya, saya hanya iseng, saya hanya ingin menguji dan melihat
respon dari kelompok 1. Dan respon yang saya dapat ternyata hangat dan
baik-baik saja, malahan langsung dari ketua kelompok. Jadi kalau ada yang
protes kenapa saya masuk ke kelompok 1, saya bisa minta pembelaan dari ketua
kelompok. Hehe.
Oke,
saya hanya menceritakan sedikit disini. Lalu, apa hubungannya dengan “ Pohon
Rindang” ? Tenang, sabar, nikmati dulu aroma bukunya. Ini hanyalah pengantar.
Semua pertanyaan yang ada di benak anda akan terjawab satu per satu. Baiklah,
dengan mengucapkan Assalamu’alaikum, selamat membaca .
Pohon Rindang
Setelah
beberapa minggu berlalu, perkuliahan pun telah berjalan dengan aktif. Hari ini,
hari Jumat, seperti biasanya akan diadakan yasinan dan sholawatan di Masjid
kampus tercinta. Minggu ini kebetulan tuan rumahnya adalah dari UKM Drumband
Genta Swara Khatulistiwa. Acara dimulai setelah selesai melaksanakan ibadah
solat Magrib. Saya masih dirumah, memasang sepatu dan tidak lupa juga dengan
kaca mata saya. Maklum, kalau malam sering ada debu yang masuk, jadi harus
pakai kaca mata.
Perjalanan
saya mulai dengan membaca Basmalah, seperti biasa. Saat itu suasana jalanan
sepi dan tenang, cuaca pun cerah. Saya berkendara dengan kecepatan sedang,
sesekali kalimat nyanyian keluar dari mulut saya. Tak terasa, ban motor saya
pun menyentuh halaman Masjid Kampus. Teman-teman saya yang lain sudah terlihat
di Masjid, saya pun dipanggil dan langsung diperintahkan untuk menyusun
strategi, haha udak kayak mau perang aja. Bukan, bukan strategi, saya
diperintahkan untuk menyusun gorengan , haha.
Gorengan
yang menggoda, kebetulan perut saya sangat lapar malam itu, dari awal, gorengan
itu tampak meledek saya dan menggoda saya untuk mengigitnya, ah, dasar gorengan
genit. Setelah selesai menyusun gorengan di atas piring, saya pun
menghidangkannya di depan para Mahasiswa yang hadir.
Acara
pun dimulai, seluruh Mahasiswa yang hadir tampak khusyu dan hikmat membaca ayat
demi ayat surah Yasin. Saya masih terbata-bata dan terkadang tertinggal, karena
memang jarang membaca surah tersebut. Biasanya malam Jum’at membaca surah
Al-Kahfi yang memang menurut saya telah direkomendasikan oleh Rasulullah. Tidak
masalah, karena ayat apapun tetap memiliki nilai dan pahala bagi yang membaca,
hehe. Kok jadi kayak ceramah. Oke, lanjut. Setelah selesai, kemudian
dilanjutkan dengan do’a dan kemudian semua Mahasiswa yang hadir menikmati
hidangan yang telah disajikan. Hanya berupa gorengan seadanya, tapi itu tidak
penting, yang penting perut kenyang, eh salah, yang penting kebersamaan, hehe.
Sambil
mendengarkan pemateri berbicara, saya melihat-lihat wajah Mahasiswa yang hadir.
Ada yang khusyu dan hikmat mengunyah, ada juga yang pura-pura mengerti tentang
apa yang dibicarakan oleh pemateri, ada juga oknum yang menyeludupkan gorengan.
Tapi, ada satu wajah-yang kalau dilihat, membuat hati saya tenang. Wajahnya tenang,
seperti pohon yang rindang, membuat orang-orang yang duduk di bawahnya merasa
teduh. Haah, siapa dia, sepertinya tidak asing. Saat sedang asik mengamati dari
jauh, tiba-tiba dia melihat saya, oh tidaaak !! Tapi tenang sodara-sodara,
jangan panik. Dengan perlahan , tapi pasti saya mencoba untuk tenang dan
memberikan senyuman saya, dengan lembut dan spontan, dia juga membalas senyuman
saya. (asiiiik)
Entah
kenapa ia begitu ‘teduh’ , apa mungkin karena ia sedang berada di Masjid?
Tempat yang dapat menambah ke-‘anggunan’ seorang lelaki muslim ? Ah, tidak
juga, memang menurutku wajahnya teduh, seperti pohon rindang. Setelah dilihat
lebih dalam, Saya baru ingat, ternyata ia adalah ketua kelompok 1 sewaktu OPAK.
Saya sering melihatnya berkeliaran di Kampus, entah siapa namanya. Dan mulai
saat itulah Saya menamainya ‘Pohon Rindang’.
Latihan
Drumband
Dari
Man2 (Madrasah Aliyah Negeri 2) setelah selesai melatih disana, saya berangkat
menuju Kampus untuk melakukan latihan Drumband yang memang rutin dilakukan setiap
Sabtu. Sekitar 5 menit, saya pun sampai di Kampus tercinta. Dari jauh sudah
terdengar suara tabuh dari alat-alat Drumband, suara dari teman-teman saya yang
sudah hadir lebih dulu. Saya pun memarkirkan motor saya dan berjalan kearah
mereka. Setelah sampai, saya mengeluarkan benda pusaka saya, Terompet, dari
dalam tas coklat saya.
Sebelum
latihan saya melakukan pemanasan dengan mengatur napas saya secara perlahan.
Saya belum terlalu mahir, sama dengan teman saya, Jais yang juga baru pertama
kali menyentuh alat yang bernama Terompet. Latihan ini adalah persiapan
Drumband kami yang diundang oleh salah
satu organisasi di Kampus, yang katannya akan dihadiri oleh Wali Kota. Latihan
pun dimulai. Saya melihat teman-teman
saya yang tampak sangat semangat. Terkadang beberapa candaan-candaan keluar
dari mulut mereka, saya hanya tersenyum. Saya kurang semangat kali ini. Kenapa
? Karena saya belum hapal lagu yang akan saya bawakan untuk penampilan beberapa
hari lagi.
“
Haaaaah. . .” begitu suara saya saat memaksakan napas saya yang belum sampai
menyamakan nada terompet senior saya. Sesekali dada saya berdebar dan kepala
saya terasa pusing dan mengambang, tapi tidak hanya saya, para pemain terompet
yang lain pun merasakan hal yang sama.
“
Ya, memang begitu rasanya. Berarti cara meniup Terompet Anda sudah benar” kata
senior saya.
Saya
merasa sudah cukup, lidah saya meraba-raba bibir bawah saya (maaf kalau agak
vulgar) hehe , sesekali saya gigit, saya sudah merasa sakit dan sepertinya
sudah lecet, itu artinya saya tidak boleh meniup lagi. Saya pun duduk untuk
istirahat sebentar. Saat saya mulai merasa lelah, tiba-tiba saya melihat sosok
yang saya kenal, ya itu dia si Pohon Rindang. Dengan tas ransel hitam nya, yang
sepertinya dipenuhi oleh banyak barang dan jaket hitam yang sering ia pakai. Ia
mendekati teman-teman saya yang lain, sepertinya Ia merasa tertarik dengan
Drumband, sampai-sampai terkadang Ia merekamnya dengan Hp miliknya. Saya pun
pura-pura tidak melihat dan tersenyum sejenak. Karena posisi saya yang sedikit berjauhan
dengan teman-teman saya yang lain, dan berjauhan juga dengan si Pohon Rindang
itu, sesekali saya meliriknya. Wajahnya sangat ‘teduh’, sekali lagi, Ia membuat
saya merasa tenang. Setelah melihat-lihat teman-teman saya, Ia pun pergi dan
melewati saya. Saya tersenyum dan Ia pun membalas senyuman saya. Saya
melihatnya berjalan dari belakang, semakin jauh dan pandangan saya semakin
buram.
Seketika,
rasa lelah dan tidak semangat saya hilang. Mungkin selain wajahnya yang ‘teduh’
, Ia juga bisa menghisap rasa jenuh dan lelah seseorang, terutama saya? Hemm,
mungkin saja. hehe
Gazebo
Saat
itu saya dan teman-teman Drumband yang lain sedang bersiap untuk tampil dalam
undangan salah satu UKM yang ada di Kampus. Suasana saat itu sedikit gerimis
dan dingin. Saya dan teman-teman drumband saya berteduh di sebuah bangunan
bundaran kampus yang biasa dikenal dengan nama Gazebo. Kami pun memukul alat
musik masing-masing tanpa merasa lelah. Saat sedang asik melihat teman-teman
lain yang sibuk memukul alatnya dengan penuh semangat, seperti mimpi, saya
melihatnya lagi, melihat Pohon Rindang itu. Seperti biasa, dengan tas ransel
hitam, celana hitam dan baju hitam (kalau tidak salah) hehe. Ia tampak
berbincang-bincang dengan seseorang, mungkin temannya. Setelah itu ia pun berjalan
menuju ke arah Gazebo, ke arah kami. Saya yang awalnya melihatnya, secara cepat
memalingkan wajah, dan kembali melihat teman-teman saya yang sibuk menabuh alat
musiknya.
Jelang
beberapa saat, saya terkejut karena melihatnya (pohon rindang) sudah berada di
samping saya. Ia tersenyum dan saya pun membalas senyumannya.
“
Assalamu’alaikum..” katanya dengan lembut
“
Wa’alaikumsalam,” kata saya lebih lembut lagi.
“
Namanya siapa ?” katanya sambil menyuguhkan tangan kanan
“
Ummi . . .” kata saya dengan sedikit menunduk
“
Apa ?? “
“
Ummi, u , em, em, i, ummi “ kata saya mengeja dengan suara yang agak keras.
“
ooh, Ummi, saya . . .” katanya
menyebutkan nama
“
ooh, “ saya mengangguk . Padahal saat itu saya tidak mendengar siapa namanya.
Entah karena suara tabuhan Drumband yang sangat berisik saat itu, atau memang
konsentrasi saya yang sedikit buyar.
“
Masak lupa sama aku ? Aku kan kemarin yang masuk kelompok kau..”
“
Yang mana ya ? “
“
Ah, ada kemarin yang waktu OPAK “
“
Oh, itu kau ke ? “
“
Iye lah. Hehe” saya pun tersenyum dan memandang ke arah lain. Saya merasa
terlupakan, tapi ya sudah, mungkin memang dia lupa, atau wajah saya yang
berubah, hehe. Beberapa saat kemudian, ia pun berpamitan dan pergi.
Tiba-tiba
teman-teman saya tampak hening dan sebagian ada yang kembali ke Markas kami.
Ternyata, penampilan hari ini tidak jadi dilaksanakan. Teman-temanku tampak
kecewa, bahkan ada yang meneteskan air mata. Saya ? Biasa saja, saya mencoba
mengambil yang positif, setidaknya kami bisa lebih banyak latihan dan bisa
tampil di lain acara dengan persiapan yang matang. Dan, saya bisa bertemu
dengan si Pohon Rindang. Aduh, siapa namanya tadi ? Ah, saya lupa. Sejak saat
itu, setiap melihat Gazebo, saya mencoba mengingat namanya, tapi tetap saja,
tidak ada yang terbesit. Ah, kesal sekali. -_-
Sahabatku Tak Merestui
Dari
parkiran kampus, saya berjalan menuju kelas. Dengan hati yang biasa-biasa saja,
saya langkahkan kaki dengan santai. Saya singgah sebentar untuk melihat
tempelan yang ada di Mading Tarbiyah, saat sedang melihat Mading,
“
Umiiii.......... Ummmiiiiii.......” tiba-tiba suara itu menyapa saya dari
belakang. Saya pun berbalik arah dan yang saya lihat, si Pohon Rindang itu.
Suasana hati saya seakan berubah, yang tadinya kelabu dan biasa-biasa saja,
sekarang menjadi me-ji-ku-hi-bi-niy-u, hehe, alias menjadi berwarna. Secara
spontan pun saya tersenyum padanya, kemudian saya berlalu dan berjalan menuju
kelas yang memang tidak jauh dari Mading. Saya langsung duduk dan menikmati
pelajaran dengan sangat semangat.
“
Ih, aku senang nih ..” kata saya pada teman saya
“
Senang kenapa ? Tumben ..”
“ Kak, kayaknye Aku lagi suka sama orang
lah..” kataku pada Sri.
“
Hah ?! Siape ? “ tanya Sri penasaran
“
Ih, ndak tau namanya, kayaknye anak Syariah lah, waktu itu satu kelompok dengan
Nadia..”
“
Kok ndak tau namenye ? Tanya Nadia lah ..”
“
Ih, ndak ah. Aku mau usaha, nanti kucari sendiri namanya..”
“
Mane orang nye ..?” kata sri makin penasaran
“
Ih, nanti lah, kalau kita ketemu, aku bilang kau , hehe “
Setelah
sekian lama, dan sekian banyak yang saya ceritakan pada Sri, saya pun selalu
eh, nggak selalu , terkadang suka melihat-lihat, siapa tau ada si Pohon Rindang
itu, dan kemudian akan saya tunjukan pada Sri. Waktu itu (kalau tidak salah)
saya sudah masuk dan terduduk di dalam kelas. Saya duduk di dekat pintu, agar
saya dapat melihat orang-orang di luar. Tiba-tiba ada si Pohon Rindang itu
melintas di tepi jalan sekre UKM kampus, sepertinya ia menuju LPM.
“
kak, kak, itu orang nye ...” kataku mengejutkan Sri
“
Mane, mane ..? “ jawabnya penasaran
“
Alah mak, udah masuk dah kak. Nanti lah, tunggu keluar lagi, hehe “
“
Ih, kau nih ..” katanya kesal. Sri memang tidak bisa sabar, dan cepat
penasaran. Apalagi ini menyangkut tentang saya, hehe. Beberapa saat kemudian,
ia pun keluar dan duduk di depan sekre LPM, saya lupa baju apa yang ia pakai,
tapi yang jelas selalu dengan jaket hitam dan ransel nya yang besar.
“
Tuh kak, orang nye, lucu kan ? hehe “
“
Mane ? “
“
Itu bah, yang duduk di situ. Hehe “ kataku menunjuk.
“
Itu ?! Hah, kayak gitu, ndak ndak. Aku ndak setuju !! “
“
Ndak ee, kenapa pulak, hemm” kataku dengan wajah sedih
“
Ndak mau ah, pokoknya ndak ..!”
“
Ih, jahat. Lucu tuh, hem..”
“
kau nih cantek macam ginik , suke same yang macam gitu, ah, cari yang genah
sikit bah !! “
“
Jangan liat muke nye, liat lah potensi nye, aktif nye, alim nye, huuu... Bagus
tu muke nye, tedoh, hehe. Kau nih ndak bisa melihat aura seseorang bah, weeek
...” kata saya membela diri
“
Aaaaaah !!! “ Sri pun memalingkan wajahnya. Saya hanya bisa terdiam dan sedikit
manyun saat itu. Memang selera saya dan selera Sri berbeda. Entah apa yang saya
sukai dari si Pohon ini, ah, tapi sudah lah, saya kan hanya sebatas suka dan
mengagumi saja, tidak ter-obsesi. Toh, kalau jodoh ndak kemana, hehe.
Sejak
saat itu lah, saya dan Sri terkadang berdebat dengan hal yang sama. Apalagi
saat di jalan, bertemu dengan Pohon Rindang itu, ia pasti melarang dan
menasehati saya, tapi saya, masih tetap kekeuh dan keras kepala. Karena kata
Pak Mario Teguh, wanita idaman itu : sederhana, tapi ngeresep di hati, tidak
perlu super cerdas, tapi galak membela laki-lakinya, haha. Saat itu kebetulan
ada seorang anak laki-laki yang menyukai saya, anak Syariah, Sri malah setuju
dengan anak itu, tapi saya tetap tidak mau. “ Aura nya beda ..” itu yang terus
saya rasakan saat melihat anak itu dan melihat si Pohon Rindang itu. Saya tetap
merasa tenang saat melihat si ‘Pohon’ , ah, pokoknya saya masih tetap betah
berlama-lama duduk dan berteduh disini, dibawah Pohon Rindang ini. Hehe, eh ini
serius. O_O’’
Modus 1
Waktu
itu saya sedang duduk di depan kelas saya, di sebuah kursi panjang yang terbuat
dari kayu. Saya tidak sendiri, saya bersama teman-teman kelas saya.
“
Eh Mi, temankan Aku nge-print tugas yok..” kata Hilya, teman saya. Saya pun
seketika mengangguk dan berjalan kearahnya.
“
Mau nge-print kemana ? “ kata saya .
“
Ke sana yuk.” Katanya menunjuk ke arah pagar Kampus yang berada disamping. Kami
pun berjalan menuju pagar tersebut. Memang terdapat tempat fotocopy dan
print disana, tetapi setelah kami berdua berada dibalik pagar, kami melihat
tempat percetakan itu tutup.
“
Yaaah, tutup bray, jadi gimana ?” tanya saya pada Hilya.
“
Ndak tau..” katanya putus asa.
“
Nah, ke Syariah aja yok !” kata saya.
“
Ayok..” katanya.
Kami
pun langsung berbalik dan meuju gedung Syariah. Saya merasa senang, karena
siapa tau saya bisa melihat si Pohon Rindang itu di Syariah. Tapi, setelah
sampai, jangankan pohon, tanah pun tak ada, haha. Salah permirsa, maksudnya
jangankan si Pohon, tempat percetakan pun tutup saat itu. Karena tidak ingin
menunggu lama, akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali ke kelas, dan akan
kembali lagi ke gedung Syariah ini kalau sudah buka nanti.
Singkat
cerita, setelah mengikuti satu perkuliahan, kami pun melaksanakan rencana yang
tadi telah kami buat. Saat keluar kelas, pemandangan yang saya tunggu akhirnya
muncul, ya, si Pohon sedang duduk di trotoar jalan di dekat gedung Dakwah
bersama beberapa teman-temannya. Saya pun mengajak Hilya untuk melewati gedung
Syariah, tapi dari belakang, tidak langsung melewati Pohon Rindang itu, saya
takut modus saya terbaca olehnya. Hilya pun menurut saja, karena ia memang
belum tahu tentang hal ini.
Nah,
setelah sampai di gedung Syariah, ternyata tempat percetakan tadi buka,
‘Alhamdulillah’, kami pun masuk dan Hilya pun memberikan Flashdisk kepada petugas, alah resmi amat petugas, udah
kayak polisi aja, bilang aja tukang print, haha.
Waktu
itu, suasana sangat ramai sehingga membuat hati saya sedikit resah dan gelisah,
ada semut merah, hehe. Gelisah kenapa ? Karena saya takut sang Pohon Rindang
itu pergi dari tempat yang tadi, kalau sampai ia pergi dan menghilang, lah,
gagal sudah modus dan rencana yang sudah saya buat.
Sekian
menit berlalu, akhirnnya keluar juga beberapa lembar kertas lengkap dengan
tulisan-tulisan pendukungnya. Hati saya pun lega, tapi setengah kesal.
“
Lama benar gak !” ucap saya dalam hati.
Kami
pun keluar dan kembali ke kelas. Saya mengajak Hilya untuk berjalan dari arah
depan kali ini. Saat kaki saya menyentuh trotoar jalan, memang jodoh tidak
kemana, si Pohon Rindang itu masih duduk tak berubah di tempat yang tadi, dan
masih bersama teman-temannya. (Hore). Saya pun tersenyum tipis, tipis sekali,
menahan rasa bangga atas rencana saya yang berhasil.
“
Santai Mi, santai Mi “ kata saya berbicara sendiri.
“
Ngape ? “ kata Hilya
“
Ndaaak, hehe..”
Lima,
empat, tiga, dua dan akhirnya saya berada persis diseberangnya (si Pohon). Ia
sudah melihat saya dari jauh, kami pun tersenyum dan,
“
Bang Adiiii...” kata Hilya tiba-tiba meledak.
“
Iyaaa ..” kata si Pohon Rindang itu sambil melambaikan tangannya dan berjalan
ke arah kami. Hilya pun menghampirinya juga. Setelah itu mereka berdua
berbincang sedikit dan Hilya pun berjalan lagi ke arahku.
“
Kau kenal sama Dia ..? “ kataku penasaran
“
Kenal, lewat Facebook” kata Hilya santai.
Saya
pun mengangguk, memberikan tanda paham kepada Hilya. Sesampainya dikelas, saya
mengadukan ini kepada teman saya, Sri.
Modus 2
Saat
ini saya dan teman saya, Sri sedang duduk di Gazebo. Kami sedang membicarakan
hal-hal seputar Kampus. Selain itu, saya juga sedang mendengarkan curhatan yang
datang dari Sri, tentang pacarnya. Tiba-tiba Sri gelisah, menyenggol-nyenggol
saya dengan kakinya.
“
Mi,Mi,Mi…!!”
“
Apa sih ?” kata saya bingung.
“
Itu itu, liat arah jam 5..”
“
Jam aku ke jam kau ?”
“
Ih, belakang, cepaaat..!”
Dan
saat saya menoleh ke belakang, ternyata ada si Pohon Rindang itu bersama
temannya. Saya pun tersenyum dan menegurnya, ia pun membalas senyuman saya dan
melanjutkan lagi berbincang dengan temannya.
“
Ehem..!” kata Sri menegurku yang sedang asik senyum-senyum sendiri memandang si
Pohon Rindang itu dari belakang. “ Nah, mulai dah ilang ingatan..” katanya
lagi. Aku pun memandang Sri dan tersenyum.
“
Hehe, rejeki Kak. Eh, kalau ada Die, tenang-tenang sikit lah, nanti Die GR.”
“
Aah, ndak bah. Habis Kau tu aku kasi sinyal ndak loading. Dah, ke kelas yok!”
“
Eh, nanti lah, Dia lagi ke Akademik tu, nanti pulang lewat sini, biar ketemu
lagi, hehe”
“
Huh, dasar..” dan kami pun melanjutkan pembicaraan kami. Ditengah-tengah
pembicaraan kami yang tidak lumayan lama, saya melihat si Pohon Rindang itu
lagi, sedang berjalan dari gedung Akademik. Dari Gazebo, tempat ku duduk
jaraknya masih sangat jauh. Saya pun mempersiapkan diri, tetapi tetap menjaga image.
“
Iii Kak, itu Die.. Liat aku udah rapi kan ..?” kataku pada Sri sambil merapikan
baju dan kerudung.
“
Udah-udah..” katanya semangat. Kami berdua pun memandangnya dari jauh, mataku
tidak lepas dari gerak-geriknya. Saya dan Sri pun pura-pura menyibukan diri dan
tidak melihatnya. Tapia pa yang terjadi.
“
Alah Mak ! “ kata saya tiba-tiba
“
Kenapa ?” kata Sri lalu menoleh ke belakang, menghadap ke arah si Pohon
Rindang.
“
Die malah lewat situ..” kataku lesu.
“
Hahaha!!” kata Sri menertawaiku dengan kerasnya. “ Nyaman ! “ kemudian
melanjutkan tertawa lagi. Tapi saya tetap melihat si Pohon Rindang itu. Hingga
kemudian ia tidak terlihat lagi, tertutup oleh gedung-gedung lama yang berjejer
di dekat gedung Dakwah. Kali ini modusku untuk bertemu dengannya pupus sudah.
Perkiraanku ternyata salah. Seharusnya ia pulang melewati gazebo, tetapi ia
malah melewati jalan pintas, Ah! Kesal. Dan Saya tidak mendapatkan apa-apa,
hanya mendapat tertawaan dari Sri yang makin menjadi-jadi.
Kopiahmu Nak
Jum’at,
entah tanggal berapa dan jam berapa.
Setelah
selesai melaksanakan perkuliahan, saya dan Sri berjalan-jalan di sepanjang area
kampus. Sekedar mencari angin dan membuang kepenatan ba’da kuliah, hehe. Bukan
ada maksud apa-apa, kami hanya malas pulang di jam ini, karena jalanan pasti
macet oleh jamaah-jamaah yang ingin melaksanakan sholat Jum’at. Jadi, kami
putuskan untuk pulang saat orang-orang sedang sholat Jum’at.
Saya
dan Sri duduk di pendopo Syariah, saya membuka buku dan membaca beberapa bacaan
yang saya temui, seperti biasa, sambil mendengarkan curhatan yang keluar dari
mulut Sri. Mata saya tak lepas dari salah satu pintu UKM, ya pintu LPM. Entah
kenapa, hati saya selalu menuju ke sana, dengan harapan ada sosok ‘keteduhan’
keluar dari pintu itu. Tapi sejauh ini, tidak ada apapun yang keluar.
Setelah
itu, mata saya tertuju pada bacaan yang saya pegang. Sri pun memutar sebuah
lagu dari handphonenya, kalau tidak salah lagu Gissel. Saya tidak tau
apa judul lagunya, yang jelas, ada kata tulang rusuknya, pake kuah tanpa cabe,
hehe. Tiba-tiba, pandangan saya tertuju pada pintu yang tadi, secara bersamaan,
si Pohon Rindang itu keluar dengan tas ransel hitamnya, celana hitam, jaket
hitam dan kopiah putihnya (Subhanallah).
“
Kak, ada Die..” kata saya sambil memandang buku bacaan. Sri pun menoleh
kebelakang. “ Jangan diliat, jangan diliat..!” kata saya. Tapi Sri tidak mau
menurut.
“
Aku ndak liat kok, aku lagi dengarkan lagu.” Katanya cuek. Saya tetap meliat ke
buku bacaan saya. Hati saya sebenarnya memaksa, ingin melihatnya yang sedang
berjalan di trotoar jalan, tentu saja tidak jauh dari pendopo Syariah, tempat
kami duduk. Tapi Saya takut ketahuan olehnya. “ Kak, die liat kita kah..?”
Tanya saya pada Sri.
“
Tadak bah..” katanya memancing, tapi saya tetap pura-pura membaca buku yang
saya pegang. “ Ih, hidungnye lucu.” Sambung Sri lagi. Ah, kali ini Sri
berhasil, akhirnya saya punmenoleh dan memandangnya. Haaah, hati saya teduh dan
tenang. Ia tampak semakin teduh oleh kopiah putihnya, dengan langkah pasti dan
pandangan lurus (mungkin) menuju ke masjid. Hati kecil saya kemudian berkata,
lelaki seperti dia, pasti akan dimiliki oleh wanita yang beruntung. Biarlah,
saya hanya akan menjadi penggemarnya yang setia, hehe.
Oh Ternyata
Masih
di hari yang sama (kalau tidak salah) setelah kejadian kopiah di atas. Sepulang
dar kampus, saya terbaring dengan handphone tergenggam di tangan kanan
saya. Saya sedang online. Saya membuka media jejaring sosial, Facebook
singkat saja FB ya. Saat sedang membuka, ada beberapa permintaan pertemanan
yang datang dari berbagai orang. Saya pun mengkonfirmasi beberapa dari mereka,
yang mempunyai teman yang sama dengan saya dengan jumlah yang cukup banyak.
Nah,
setelah itu, saya iseng, melihat daftar nama ‘teman yang mungkin anda kenal’ di
FB. Dugaan saya benar, pada baris kedua, saya meliahat foto si Pohon Rindang
itu. Saya melihat foto profilnya, dengan senyum cerianya dan baju hijaunya yang
cocok. Saya pun tersenyum, tapi saat saya ingin membuka FBnya, koneksi di Hp
saya macet, ah, cukup membuat saya kesal.
Akhirnya
saya keluar dan berjalan menuju depan Tv. Saya pun menghidupkan Laptop saya dan
menyambungkannya ke internet. Saya pun segera membuka FB lagi. Karena saya lupa
siapa namanya, saya pun melihat daftar ‘teman yang mungkin anda kenal’ di FB
saya. Ya, ketemu. Imam apa lah gitu, ‘panjang banget’ pikir saya.
Saya
pun meng-klik dan menjelajah di profil facebooknya.
Selama perjalanan saya, saya merasa teduh oleh suguhan status dan foto-foto
miliknya. Walaupun sebagian statusnya tergolong misteri dan tidak jelas, tapi
tak apa, yang terpenting saat itu adalah, saya sudah menemukannya. Ditengah
perjalanan saya, saya pun menggulung layar FBnya, dan apa yang saya lihat.
“
Hah ?” hati saya langsung tersentak. “ Jadi..” saya pun bersandar di kursi yang
sedang saya duduki saat itu. Menatap layar monitornya dengan lama. Kemudian
mata saya berkedip dengan sedikit cepat. Berair.
Kemudian
saya arahkan kursor laptop ke arah pojok kanan pada bingkai FB. Dan menekan
kata ‘KELUAR.
Males
Keesokan
harinya, anda tau apa yang saya lakukan. Hal yang biasa dilakukan para wanita
pada umumnya, curhat. Ya, saya pun langsung menceritakan hal kemarin pada teman
saya, Sri. Saat itu saya sedang bersantai di kantin Tarbiyah.
“
Kak ...”
“
Emh.” Kata Sri acuh.
“
Kemarin aku buka facebook Die.”
“
Katanya mau nanya namanya secara langsung ? Kok udah tau FB nye ?”
“
Eh, ndak sengaja, ada tawaran ‘teman yang mungkin anda kenal’ ya udah ku buka.
Tapi aku lupa lagi kok namanya. “
“
Nah, lalu, ?”
“
Malas dah Kak. Kayaknya emang udah ada yang punya.”
“
Hah ? Masa ?” katany terkejut.
“
Iye. Aku liat fotonya. Dan aku baca tulisannya. Kayaknya emang untuk cewek itu.
Ah pedeh . Ambilkan pisau sama jeruk.! “
“
Heh, mau ngape ?”
“
Buat Indomie Kak.” Jawabku dengan datar.
“
Ooh. Hahaha...” kami pun tertawa sesaat.
“
Manis Kak tulisannya. Tapi aku ndak baca semua. Baca awalan sama akhirun,
tengahnya entah apa. Aku ndak kuat, kena angin, berair mataku.”
“
Ah, angin pulak. Kau cemburu ?”
“
Eh, endak lah. Aku kan Cuma fans!”
“
Fans apa? Udah jelas. Lain bah kau tu kalau suka sama orang.”
“
Iye sih. Kayaknya emang suka sama die. Tapi belum cinta. Tapi, ah, sudah lah,
udah ada yang punya. Aku baca ceritanya Kak, dari awal ketemu satu ruangan,
sampai satu kelompok, lalu satu jurusan pula, manis kan ? Rupanya dia jurusan
dakwah, bukan Syariah. Udah sangat indah Kak. Aku ndak mau ganggu.”
“
Iye lah, cari yang lain lagi jak. Lagian apa lah kayak gitu.”
“
Lucu tu.. Hem..”
“
Malai dah!”
“
Hehe, endak bah.” Kataku tersenyum mengaduk Mie instan.
Ratapen ( Ragu tapi Penasaran )
“
Benar lah sikit ?” kata Hilya keheranan.
“
Iye lah. “
“
Tapi setau aku dia tu ndak ada cewek Mi. Itu tu kalau ndak salah sahabatnya.”
“
Iya sih, memang judul tulisannya sahabat, tapi kan...” saya terhenti untuk
merenung sejenak (cie elah) . Saya merasa ragu. Mungkin mereka menutupi
hubungan mereka dengan kata ‘sahabat’ atau
“
Woi !! “ Hilya mengejutkan.
“
Iye iye. Ah, ndak tau lah. Aku ndak suka sama dia lagi.!”
“
Tapi benar lo, itu tu kawan Die.”
“
Dah lah. Kalau jodoh ndak kemana. Tenang jak. Oh iya, dia jurusan Dakwah
rupanya, aku kira Syariah...”
“
Emang gak dakwah !! “ kata Hilya kesal.
“
Kok ndak bilang.? ”
“
Katanya mau nyari tau sendiri. Aku kira udah tau.” -_-
Setelah
pembicaraan singkat ini. Aku pun pulang ke rumah. Berbaring di kasur dan
memandang layar handphoneku. Jariku
ku arahkan pada aplikasi FB. Kubuka kembali dan kuketik “Imam...” fotonya pun
keluar di bawah kotak search, kubuka
dan kulihat kembali. Kok belum di konfirmasi ? Ah, tunggu aja kalik.
Minggu
pertama...
Minggu
kedua...
Minggu
kesekian...
Yes
!! udah di konfirmasi. Apa lagi ya. Em...oh, baiklah mari kita kenalan. Saya
pun mencoba membuka pesan, untuk memunculkan percakapan, semoga dengan
percakapan ini, kami bisa menjadi sedikit akrab. Tapi kendalanya, saya bingung
ingin memulai dari kalimat apa. Kalau kalimat ‘ salam kenal’ paling ia hanya
membalas ‘salam kenal juga’ lalu pasti saya lagi yang harus bertanya ‘kamu
siapa, nama, dari dan jenis apa’ hah, masa cewek yang nannya hal itu ? Nanti
dia malah mengira aku wanita modus. Tapi memang modus, hehe.
Kemudian
aku berpikir sejenak. Nah, saya pun mengetik ‘Makasih ya Bang’ pada kotak pesan
dan langsung mengirimnya. Kalau seperti ini kan dia pasti akan bingung dan
membalas ‘makasih kenapa?’ Dan lain lain, hahaha. Dan percakapan pun akan
menjadi panjang. :D (yes)
Unek-unek
Tapi,
pada kenyataannya tidak ada balasan darinya. Mungkin ia memang sibuk dan jarang
membuka pesan. Pesanku tampaknya belum ada tanda telah terbaca. Dan saya, masih
terus menunggu.
Menunggu.
Dan
menunggu.
Sempat
ada lampu hijau menyala, tandanya ia sedang online.
“
Ayolah, buka pesan nye. Baca dikit.!” Tapi, lampu hijau pun mati lagi. Entah
apa yang ia lakukan dalam waktu yang sesingkat itu di Facebook. Mungkin hanya membuang debu monitor.
Selama
penantianku-yang-entah menantikan apa, waktu berlalu, harapan saya pun meredup.
Pernah suatu hari saya berjalan di kampus dan berpapasan dengannya (pohon
rindang) itu, lagi-lagi ia memunculkan sesuatu yang membuat saya sedikit
‘merona’. Padahal, sudah sangat lama saya memutuskan untuk berhenti dan
berpindah mencari pohon yang lain. Apa
daya, setiap melihatnya, rasa kekesalan atau protes terhadapnya malah hilang.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan rasa ini mengalir.
Untungnya,
selama pertemuanku dengannya yang terjadi secara tidak sengaja, saya tak pernah
melihatnya tampak dengan wanita. Wanita manapun, belum, belum pernah. Dan
mungkin karena itu saya tetap saja mau membiarkan perasaan bahagia itu datang
saat setelah melihatnya beberapa detik. Walaupun sesaat setelah itu terkadang
kekesalan saya kambuh, (gara2 pesan facebook
mungkin).
Misalnya,
ia keluar dari gedung akademik. Dan kebetulan saya sedang menuju ke arah gedung
yang sama. Dari jauh ia sudah melihat, dan saat berpapasan ia tersenyum dan
merunduk sedikit
“
Assalamu’alaikum..” tentu saja saya menjawab dengan senyum dan salam pula.
Hanya begini saja, hati saya akan terjaga kebahagiannya, Insya Allah sampai
saya menjelang tidur pada malah harinya.
Atau,
saat saya melihatnya berdiri pada trotoar di depan gedung Dakwah, saya sudah
mempersiapkan senyum secara tulus, alami dan maksimal. Agar mungkin dapat
membuatnya merasa nyaman juga dan tertarik. Melalui senyuman-senyuman ini, saya
hanya ingin berdialog
“
Hey kamu. Ini aku nih, tau kan? Yang ngirim pesan di facebook. Yang namanya ‘Ummy MF’ kok ndak di balas sih.? Wajahku
dengan yang di facebook beda kah? Kan
editnya dikit, ndak banyak. Lagian, namaku pun kamu udah tau kan? “
Dan
ini yang membuat saya merasa heran. Kenapa ia yang begitu tampak ramah di dunia
nyata, tetapi sepertinya tampak acuh dan kurang perduli pada media sosial.
Masih menjadi sebuah misteri.
Sore Itu
Sepulang
dari kampus, sekitar menuju waktu Zuhur.
Saat
itu saya selesai melaksanakan latihan Drumband
dan akan melanjutkannya lagi pada sore hari. Saya pun mandi dan makan siang.
Berbaring di kasur dan merasakan permukaan kasur yang begitu memanjakan.
Akhirnya, saya pun tertidur.
Saya
terbangun saat menjelang Asar, entah kenapa, mata saya masih sangat mengantuk.
Dan saya memutuskan untuk berbaring. Mungkin besok saja lah saya latihan. Tadi
pagi kan sudah. Kalau sudah begini, tanggung, paling nanti saya datang dan
hanya latihan sebentar. Setelah itu pulang. Ah, buka facebook saja.
‘toneng!’
tiba-tiba terdapat suara pemberitahuan. Oh, ada pesan masuk. Saya buka dan saya
lihat. Hah??! Pohon rindang ngapain nih? Ternyata ia membalas pesan yang sudah
saya kirin beberapa abad silam. Dan baru di balas saat ini. “ Yaelah,
malesin..” saya pun membalas dengan sedikit jutek. Dan sambil berkata, “ Ini
sih nggak usah di balas aja sekalian ! “
Tapi,
kemudian ia memulai percakapan baru. Ternyata ia mengingatkan bahwa anak-anak
DB sedang latihan. Dan saya pun membalasnya dengan berbasa basi. Memberitahukan
bahwa saya sudah melaksanakan latihan pada paginya.
Kemudian,
ia pun off. Tu kan, singkat padat.
Hanya membuka facebooknya beberapa
menit. Mungkin ia sedang bersiap untuk solat Magrib.
Rejeki
“
Lah, kok alat yang lain ndak ada ?” tanyaku pada Syamsul, teman satu UKM.
“
Kan hari ini yang latihan Cuma melodi. Jadi terompet sama bell, yang lain
besok”
“
Ooh gitu. Trus, latihan ke mana ?”
“
Ke situ, ada anak MA-Syahid “ ia menunjuk menuju taman di belakang gedung
dakwah. Kami pun berjalan menuju ke sana. Kami melaksanakan latihan dengan
riang gembira. Hehe. Walaupun saya waktu itu kesal dengan Deni yang sudah bisa
meniup dengan nada tinggi, tak masalah, yang penting keceriaan.
Di
tengah-tengah latihan, tiba-tiba si Pohon rindang itu lewat. Ia berjalan di
atas trotoar dan eh, menuju ke arah kami .
Tapi
saat itu saya sudah malas.!
Saya sudah tidak sesenang yang kemarin.!
Kali ini sudah biasa saja.!
Saya pun menghindar dan menjauh. Berharap ia
tidak melihat saya dan kemudian pergi. Tapi, hati kecil saya pun sebenarnya
menahannya, dan merasa senang akan kedatangannya. Dan rasa grogi pun
mu...mun...muncul. (Tu kan grogi)
Saya
pun memutuskan untuk menjauh dan duduk di bawah pohon (pohon asli). Pandangan
saya lemparkan pada anak-anak MA-Sayhid yang sedang latihan. Syamsul dan Deni
pun menghampiri saya. Kemudian Deni duduk di dekat saya, mengambil air minum.
Hal yang membuat saya gelisah adalah si pohon rindang itu mengikutinya dan
tampak berbicara.
“
Hai “ katanya menyapa. Dan saya hanya tersenyum.
“
Jadi kah ?” katanya pada Deni
“
Jadi lah, semoga jak buka”
“
Tapi, nanti ini muat ndak ?” katanya berbicara pada Deni lagi.
“
Muat.”
“
Mau ke mana sih ?” saya pun dengan kepo-nya
mulai ikut campur.
“
Mau ke pusda, ikut ndak ?” katanya menjawab.
“
Mau, ayok !! “ tentu saja jawaban ini yang spontan keluar dari mulut saya.
Dengan semangat dan antusias kami pun pergi menuju perpustakaan daerah. Rasa
tak percaya pun terus menghantui perasaan saya. Ini serasa tidak begitu nyata,
tapi ini nyata.
Saya
berusaha menjaga sikap. Menahan rasa senang saya saat itu. Di perpustakaan.
Ternyata ia begitu ramah dan memang ramah. Malah kesannya terlalu ramah. Haha.
Saya merasa nyaman, dan rasa grogi saya sedikit berkurang. Kami berbicara
seakan-akan telah kenal lama. Padahal hari itu adalah hari pertamaku
benar-benar berbicara dengannya. Hanya berdua. Tidak ada gangguan suara DB,
tidak ada yang memanggil dan yang menambah efek nyaman adalah ruangan yang
remang. Karena saat itu perpustakaan sedang mengalami gangguan listrik.
Kami
tampak begitu akrab. Membicarakan tentang beberapa khayalan yang keluar dari
pikiran masing-masing, hingga bertukar informasi tentang hobi dan kebiasaan.
Dan TERNYATA, kami mempunyai kesenangan yang sama. Menulis. Dan banyak lagi
kesamaan yang lain. Saya tak menyangka.
“
Woi ! Kitak ni berduaan.” Deni tiba-tiba mengejutkan. Ah, mengganggu saja. “Aku
di ruang baca ye.” Katanya kemudian pergi. Kami pun menyusulnya beberapa saat.
Saya mengambil, entah buku apa ini, kenapa ini yang saya ambil. Ya sudah, baca
saja.
Kemudian
kami melaksanakan ibadah solat Magrib, dan lagi-lagi kami melakukannya dengan
berdua. Karena lampu sedang tidak hidup. Rasa nyaman dan tenang lagi-lagi
menghampiri saya. Entah karena memang terasa sunyi, atau karena di depan saya
terdapat seorang iman yang dapat menyejukan hati. Alhamdulillah, terimakasih
Tuhan, telah menjawab doa dan kesabaran saya. Luar biasa. Saya merasa nyaman
sekali.
Setelah
selesai melaksanakan solat, kami pun kembali ke ruang baca.
“
Lama nye solat !? “ Deni sedikit kesal. Kemudian ia pun menuju lantai tiga,
tempat ibadah yang ada di perpustakaan. Kami pun berdua lagi. Duduk
bersebrangan dan sibuk membaca.
“
Eh, nama Kau siape ?” kata saya bertanya.
“
Ah, masa lupa? Ummi kan ? “ ia balik bertanya.
“
Iya...”
“
Nah, aku aja ingat.” Katanya lalu melihat buku. Tapi kan aku lupa. Tiba-tiba
Deni datang.
“
Aku ni sebenarnya di suruh Bapak aku jualan.”
“
Jualan apa ?” kata saya bertanya
“
Baju. Ada tu di rumah. Dari Jogja, terserah mau di jual berapa.”
“
Boleh boleh. “ si pohon rindang menimpal. Dan hingga akhirnya kami pun sibuk
membicarakan bisnis dari Deni. Namun tak lama, petugas perpus pun
memberitahukan pada seluruh pengunjung untuk meninggalkan perpustakaan, karena
keadaan cahaya yang tidak memadai. Kami pun berkemas dan menuju keluar. Dan
diikuti oleh beberapa pengunjung yang lain.
Di
parkiran.
“
Jadi, konfirmasi lagi jak ye tentang jualan nye. Oke ?” kata saya duluan.
“
Oke,”
“
Kalian ada nomorku kan ?”
“
Aku ndak ada. Kau. Kasi nomormu jak “ kata Deni pada pohon rindang.
“
Oke, berapa nomornya ? kosong lapan...?” dan kami pun bertukar nomor. Lagi-lagi
saya serasa kurang percaya, uh, ingin melompat-lompat rasanya.
“
Eh, aku kasi nama siapa ni ?” tanyaku pada pohon Rindang.
“
Adi. Sukardi.”
“
Oke, udah masuk kan nomorku ? Nanti SMS aja kalau ada info lagi.”
“
Sip.”
Dan
kami pun berpisah di tempat itu. Angin dan gerimis malam itu menyejukan hati
dan perasaanku. Tak kusangka, dan kalimat ini yang terus muncul. Tak menyangka
akan begini jadinya. Mungkin memang ini sudah disusun oleh-Nya. Entah apa yang
akan terjadi nanti. Haaaah, tenang sekali rasanya.. Dan sekarang aku harus
mengingat namanya, Su kar di. Wah,dapat nama,dapat nomor HP pulak.
Iya,
mungkin ini, mungkin ini yang sering dikatakan orang Melayu.
“
Name gak rejeki !! “
Kemudian
Kemudian,
setelah kejadian langka itu, kami pun membuat suatu perkumpulan. Kalau dalam
bahasa anak Gaol ya seperti geng lah.
“ DUA Sepok”. DUA yang artinya Deni, Ummi dan Adi. Lalu “Sepok” yang artinya
sifat kami yang sedikit sepok dengan
benda-benda yang asing. Atau dalam istilah lain,katro,atau gaptek. Tapi tidak
semua, hanya beberapa benda.
Kami
melakukan hal-hal menarik. Berjualan, makan, bernyanyi, berkumpul, dan segala
macam. Rasanya, memang seperti sahabat yang telah kenal lama. Dan hingga saat
itulah, terkadang sebuah kekagumanku yang dulu perlahan hilang. Karena
sepertinya ia memang hadir dalam hidupku untuk menjadi teman, atau sahabat.
Kalau tidak, mengapa harus ada Deni. Kesannya,aku malah memanfaatkan hal ini
untuk perasaanku sendiri. Makanya,kupendam saja. Toh, mungkin ia memang sudah
dimiliki yang lain.
Hari-hari
berlalu. Sri dan Hilya sudah kukabari tentang ini. Tentang kedekatanku pada
pohon rindang itu, dan mereka tentu saja senang.
“
cie sekarang udah di depan mata “
“ Boleh lah makan-makan ni..” ejek Sri
“ Ah, makan-makan apa. Usah nak ngede-ngade. “
“ Ndak nyangka kan ? Tau-tau bisa jadi gini.” Hilya
menyambung.
“ Iye Kak, seru eh. Rupanya sifat kami banyak yang sama.
Hobby nye pun sama, sama-sama suka baca dan nulis. Mungkin memang cuman
jadi kawan bah Kak.” Kataku.
“ Em, ndak mungkin bah. Kau tu pasti suka dengan die.
Bukan sekedar fans, tapi cinta” kata Sri dengan penekanan kata cinta.
“ Ah, ndak tau lah. Kita liat lah nanti. Kalau
misalnya aku cerita tentang ini, gimana ? Percaya ndak ye Die ?”
“ Entah..”
“ Em, nanti aku mau buat cerita Kak. Cerita dari awal
sampai sekarang. Mulai dari pertama kali aku ketemu Die. Hahaha... Kitak bantu
ye.”
“ Siiip...”
Kemudian kami pun menyantap Indomie yang telah mengembang.
Tes STAIN TV
Hari ini, bertepatan dengan hari Jumat akan diadakan tes
seleksi masuk STAIN Tv. Suatu hal yang menurutku masih kebetulan. Ia, si Pohon
Rindang itu pun mengikuti tes ini. Sama dengan saya yang dulu bersusah payah
mengumpulkan segala macam perlengkapan dan syarat yang ditentukan.
Misalnya foto, foto yang harus dilampirkan harus seluruh
badan. Sedangkan saya tidak pernah berfoto seluruh badan. Akhirnya, saya harus
foto dulu. Lalu, mencucinya lagi, dengan berbekal tiga ribu rupiah, saya
mencuci foto yang berukuran (kalau tidak salah) 4R yang seharga seribu lima
ratus rupiah. Sisanya masih ada seribu lima ratus rupiah, kemudian saya
manfaatkan untuk menfotocopy kartu Mahasiswa. Nah sisanya lagi, saya simpan.
Haha, walaupun seratus rupiah, itu tetap uang kan ?
Saya lalu teringat ejekan teman saya dulu, “ ah, Cuma
lima ratus bah !” katanya. Lalu saya menjawab dengan santai “ wee, kalau uang
lima ratus rupiah ada satu lemari gimana ? Atau uang lima ratus rupiah ada
seratus biji, hah ! Dapat bakso sama nomor Hp mamang nye.. Hahaha “ . “ Betul
juga “ katanya. Dan hingga saat itulah temanku yang tadi itu mulai menabung dan
menyimpan walau seratus rupiah pun.
Aku dan S, haha, pake inisial ya, tapi karena judul
tulisan ini Pohon Rindang, walaupun saya sudah tahu namanya, kita pakai julukan
“Pohon Rindang” saja ya. Agar kalau ada seseorang yang menemukan tulisan ini,
dan langsung membacanya dari tengah, ia akan penasaran, siapa itu pohon
rindang, dan ia harus membukanya lagi dari awal. Sip.
Oke, kemudian saya dan si Pohon Rindang itu berjalan,
menuju ke ruang UPT, atau ruang Theater. Ah, rasanya sudah lama tidak ke
ruangan ini semenjak pertunjukan Komsan “kemarin”. Di dalam ruangan ini masih
sepi, belum ada banyak orang. Kami pun duduk pada kursi paling
depan. Katanya, orang-orang hebat selalu di kursi yang terdepan. Ada juga yang
bilang kalau orang-orang sukses itu ada di belakang layar. Ah, ada-ada saja.
Terserah, mau jadi orang hebat atau orang sukses.
Beberapa
menit berlalu. Sejak awal masuk tadi, si Pohon Rindang itu tak henti-hentinya
berbicara dan bercanda. Beberapa candaannya hampir membuat saya tersipu malu,
hehe. Orang pun sudah banyak yang berdatangan, sepertinya acara akan dimulai.
Tiba-tiba ia bercanda dengan beberapa orang yang ada di belakang saya, ia
tampak menghadap kesana. Ia pun memberikan isyarat pada saya untuk melihat
mereka. Saat saya menoleh kebelakang, ah, ada wanita itu. Wanita yang di foto
itu. Pacarnya ? Bukan, itu temannya.
Entah
kenapa hati saya terasa kacau saat itu juga. Selain bingung karena tak ada
teman wanita, juga karena ada dia, dia si perempuan itu. Tepat di belakang
saya, agak geser ke kanan dikit. Beberapa kali saya menelan ludah. Selera makan
saya seketika hilang. Saya melirik lagi ke samping, baru kali ini saya merasa
canggung. Tangan saya dingin. Sebenarnya, biasa memang kalau harus berkumpul
dengan orang-orang asing, dalam artian di ruangan ini, saat ini hanya Sukardi,
si pohon rindang itu yang saya kenal. Tapi, lidah saya pilu, kaku, beberapa
wanita yang lain sedang asik berbincang dan beberapa yang lain lagi sepertinya
tampak pendiam. Misal.
“
Namanya siapa ? “
“
Ine. “
“
Jurusan apa ?”
“
Dakwah.” Udah, segitu. Serius ini nggak mau nanya balik ? Ah.!! Ini lagi si
Pohon Rindang, malah ngegombal. Nggak sadar apa di belakang saya itu ada
‘teman’ mu yang masih dalam tanda kutip. Tiba-tiba semakin parah, si Pohon
Rindang itu memintaku untuk berkenalan. Saya mengangguk saja. Menoleh ke
belakang, dan mengulurkan tangan kanan yang terasa seperti es!
“
Eng.. Ummi..”
“
Mia.”
“
Apa ?”
“
Mia.” Ulangnya lagi.
“
Oo.” Mia. “ Salam Kenal” kata saya kemudian tersenyum.
Lagi,
saya menelan ludah dan menghembuskan napas perlahan. Hati saya berkecamuk.
Penjelasan tentang materi yang ada di depan mata saya terasa buyar . Saya
tegang, tak mampu bergerak. Ini serius, saya benar-benar tegang. Saya seperti
mahluk pribumi yang sedang diawasi tentara kolonial Jepang dari segala sisi.
Bergerak dengan tiba-tiba, DUAR !! Mati saya. Sesekali saya menggigit bibir.
Menahan semuanya. Menggosok-gosok tangan yang sudah kaku dan beku. Ya Allah, mau nangis. Ucap saya dalam
hati. :(
Siangnya
Akhirnya.
Setelah beberapa jam berlalu, serasa sangat lama. Acara pembukaan pun selesai.
Katanya, kami akan di seleksi setelah melaksanakan ibadah solat Zuhur dulu.
Saya diajak oleh si Pohon untuk keluar dari ruangan. Barulah, kali ini saya
merasa lapar. Sekilas, sempat ada pikiran yang membuat saya untuk berhenti
mengikuti tes nanti. Malas rasanya, malas jika harus ada di antara mereka. Atau
mungkin di antara kalian by D’massiv. Tapi, saya mengingat-ingat niat saya
sejak awal, bukan ini yang saya inginkan. Akhirnya, dengan tekat dan semangat
yang tinggal sekian persen, saya pun maju.
Singkat
cerita, dimulailah test. Bertepatan di gedung Dakwah. Pada 14 Maret pukul
14.00. Kami pun melihat daftar nama. Akan di taruh di ruang mana kami nanti.
Ternyata saya dan Pohon Rindang bersebelahan ruang, tapi satu ruangan dengan
wanita itu. Lagi-lagi ia yang dipermasalahkan. Sudah Ummi, sudah.! Detik-detik
mengharukan terjadi saat menunggu nama kami di panggil. Si Pohon Rindang itu
berbicara seperti pembawa berita yang ada di Tv. Dan di temani juga dengan Paul
(temannya) dan si wanita itu, ‘temannya’ juga. Kali ini saya benar-benar
merasakan bagaimana rasanya tersenyum di atas hati yang sedang sesegukan
menangis. Itulah, sering memang antara wajah dan hati yang tidak singkron. Saya
maunya, ya sudah. Santai saja, anggap saja seperti teman yang lain. Tapi hati
saya bingal . Ia malah galau dan
remuk sendiri.
“
Nur Ummi...” kata kakak panitia memanggil.
“
Iya Kak.” Saya pun berjalan mendekati pintu. Saya lihat si Pohon Rindang itu
untuk sejenak, agar mendapatkan keteduhan. “ Semangat ya !! “ katanya seperti
memberikan peluru. Saya pun mengangguk dan siap bertempur. ‘Bismillah...’
Singkat
cerita.
Saya
pun keluar dari dalam ruangan test.
“
Gimana ?” kata si Pohon bertanya. Saya tersenyum saja.
“
Belum di panggil kah ?”
“
Belum.” Katanya. “ Emang kenapa?”
“
Nanti aja aku cerita.”
“
Ah, istirahat lagi. Di sambung nanti setelah asar katanya” kata si Pohon dengan
wajah lesu.
“
Hem... sabar ye. Ayuk lah kite solat.” Jawab saya dengan memasang wajah
malaikat---maut. Wkwk
“
Iya.” Katanya lagi tetap dengan wajah kesal, lalu menuruni tangga. Hati ku
menjadi girang kembali.
Saat
akan menuju Masjid, saya pun menceritakan tentang test wawancara tadi. Ia
sepertinya sangat penasaran.
“
Jadi ya gitu lah. Kakak nye galak. Aku kan senyum, mau mencairkan suasana bah,
eh, malah kakak itu mukanya masam! Kalau kakak yang di belakangku malah sambil
ketawa-ketiwi wawancaranya. Ah, kesal !! “
“
Hahaha, masa ?”
“
Iye. Kamek kan di suruh pilih antara DB sama STAIN Tv, ya Aku pilih DB lah.
Soalnye kan ‘karir’ aku dari situ awalnya. Sampai-sampai aku kesal, trus
bilang, ‘kakak berharap saya jawab apa sih ?’ Tapi sambil senyum-senyum sih,
hehe.”
“
Emm, dah lah santai jak, jangan kesal. Aku pun malas jadi nye.”
“
Dah lah, pasrah jak ye, ndak usah terlalu ambisi.”
“
Aok..”
Ihiw,
sepikiran kita. Kataku dalam hati. Lagi-lagi masalah hati.
Oke,
sekarang semua tes wawancara sudah usai. Kami sedang menunggu kepastian antara
pulang dengan menunggu pengumuman selanjutnya.
Saat
sedang menunggu kepastian panitia, saya duduk di teras depan kelas. Berdiam
diri saja. Saya melihat si Pohon Rindang itu sedang bersemangat sekali. Ia dari
tadi mengajak saya berfoto dan memoto dirinya. “ Narsis” pikir saya.
Ia
juga bercanda dengan wanita itu. Awalnya, ia duduk di samping wanita itu. Hati
saya pun mulai lagi, seakan-akan tak terima dengan semua ini. (hehe, yang ini
lebay). Ditambah lagi sesekali si Pohon Rindang itu mencubit-cubit tangan
wanita itu. Ya Allah, ini benar-benar ujian yang nyata !!
Saya
sendiri terkadang tak percaya, apa saya benar-benar cemburu? Kok bisa? Kalau
memang iya, berarti saya, benar-benar cinta dengan si Pohon ? Kok bisa ? Ah,
tidak mungkin rasanya.
Tapi
hati saya berbicara tanpa saya kehendaki. “ Jangan lah gitu. Tolong, jangan di
hadapan saya, di belakang saya juga jangan.” Dan keajaiban pun datang. Ia lalu
berpindah dan duduk di samping saya. Minta foto berdua. Sedang asik-asiknya
berfoto, eh si wanita itu malah mengejek.
“
ooo jadi gitu sekarang, ada kawan baru, kawan lama di lupakan.” Dengan nada
bergurau. Dan saya pun tersenyum menatap Pohon Rindang itu.
“
Ahaha, ndak bah eh ! “ kata si pohon rindang itu lalu berpindah tempat lagi.
Ah.
Walaupun
pada akhirnya ia berpindah lagi ke samping saya, hati saya tidak begitu tenang.
Sesekali wanita itu melemparkan pandangan. Kemudian saya tersenyum. Melihat
matanya, saya semakin takut. Sepertinya ia menyimpan suatu makna. Makna
keberatan hati, sama seperti saya. Kalau harus begini, biarlah si Pohon duduk
bersamamu saja mbak, saya tidak ada maksud menganggu kalian, saya sadar diri,
saya ‘anak baru’. :( hiks!! Mulai saat itu, saya menyimpulkan, untuk
kedepannya, sepertinya kami (saya dan wanita itu) agak sulit untuk menjadi
akrab. Terutama bagi saya.
Oh Ternyata (lagi)
*Tulisan
ini saya copy paste dari buku harian
saya yang bertanggal 2 April 2014 dan berjudul Sebuah Rasa. Dengan sedikit perubahan.
Assalamu’alaikum wahai
cucu/cicitku yang kece dan bersahaja ! Apa kabar? Hehe, bosan ya ditanyain
kabar terus? Jangan bosan dong. Ya sudah, dari pada bosan, baca cerita embah
aja ya. :).
Malam ini, tepatnya
pada malam Kamis tanggal 2 April 2014, di jam 20.34 saya merasakan sesuatu.
Sesuatu yang sudah lama tidak pernah saya rasakan. Sesuatu yang... ah, sudah
lah. Tadi siang, kegiatan saya seperti biasa, kuliah di pagi hari, dan
dilanjutkan dengan mengajar les private. Setelah selesai mengajar, saya pun
menjemput teman saya di Mujahidin. Saat di perjalanan, tiba-tiba hujan turun.
Saya pun singgah di halte di pinggir jalan. Saya duduk sambil melihat kendaraan
yang lewat. Beberapa saat kemudian, saya pun memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan, karena saya pikir, hujan semakin tampak reda. Sedikit lagi saya
akan mencapai Mujahidin, eh, tiba-tiba hujan pun datang dengan sangat lebat.
Saya bingung harus berteduh dimana, karena tanggung, saya pun melaju dan langsung
menuju Mujahidin.
Sesampainya di
Mujahidin, hujan yang tadinya lebat dan ramai pun tiba-tiba menyepi dan
berhenti. Ah, tapi mungkin ini adalah hujan kecil. Saya pun mematikan motor dan
bertemu dengan teman saya. Saya berbincang-bincang sebentar sambil menunggu
hujan yang terkadang datang dan terkadang pergi. Tak banyak yang kami
bicarakan, bagi saya, itu hanya sekedar pembuka karena sudah lama kami tidak
bertemu.
Setelah itu, kami pun
pergi ke perpustakaan daerah. Pada saat masuk, saya merasa sedikit malu karena
teman saya membukaan pintu perpustakaan untuk saya. ^_^ Tapi intinya bukan itu
yang membuat saya malu. Yang membuat saya malu adalah para petugas perpustakaan
yang melihat tingkah teman saya, mereka tersenyum
dan sedikit tertawa. Mungkin karena saya sudah sering ke perpustakaan, mereka
mengenali saya. Kemarin saya bersama teman lelaki yang lain, sekarang dengan
yang lain lagi, hahaha. Ah, tapi saya santai saja lah. Kebetulan, saya memang
lebih banyak teman lelaki dari pada teman perempuan. Tapi saya tetap menjaga
kodrat saya sebagai wanita, cie elah ! Oke, lanjut ke cerita.
Setelah absen dan
menaruh tas di loker. Saya pun keruang baca, menaruh alat tulis dan buku, lalu
berjalan mencari buku di ruangan lain. Saya memilah-milah dan mencari buku
penunjang mata kuliah saya. Tiba-tiba, teman saya menyusul, mungkin karena saya
terlalu lama mencari buku, hehe. Tapi Cuk, menurut saya, saya tidak terlalu
lama. Karena takut terjadi keributan, saya pun mengusirnya, haha jahat ya Cuk ?
Tidak Cuk, saya dan teman saya, si Pohon Rindang itu memang agak sedikit gila,
jadi kalau bertemu pasti bercanda, dan biasanya terkesan ribut (berisik) hehe.
Setelah di usir, ia pun pergi dan kembali ke ruang baca. Nah Cuk, saya
menemukan dua buku yang pas dengan tema perkuliahan saya, dan langsung
membawanya ke ruang baca.
Setelah sampai, dan uh!
Saya merasakan hawa yang sangat-sangat dingin. Ternyata, saya duduk di depan
AC. Cuaca sedang hujan, baju saya sedikit basah, lalu duduk pun tepat di depan
AC, kalau dibiarkan beberapa jam saja, pasti saya sudah membeku. Akhirnya, saya
pun berpindah dan mendekati teman saya, si Pohon Rindang itu, biar hangat,
hehe. Tapi tenang cuk, tidak terlalu dekat, masih jaga jarak, hihi. Dan di
situlah, segala macam topik pembicaraan terungkap. Mulai dari hal-hal yang
umum, kemudian ke hal-hal yang khusus. Sebenarnya cuk, saya memang sudah lama
mengidolakan teman saya itu, tetapi karena saya wanita, saya tampak bersifat
dingin dan (sepertinya) biasa-biasa saja.
Topik demi topik telah
dibicarakan. Dari mulai kakek si Topik, sampai ke anak cucunya. Hingga menjurus
pada masalah pribadi, masalah cinta~ ehem. Dia menanyakan, kapan terakhir saya
pacaran, dan saya pun menjawab sekitar kenaikan kelas tiga SMA, atau kelas dua
SMA pada semester dua. Dan saya pun menanyakan kembali, kapan terakhir kali ia
pacaran, dan ia pun menjawab saat kelas dua SMP. Setelah itu, ia pun bercerita
tentang pengalaman-pengalaman lucunya saat mengalami cinta monyet sewaktu umur
sekolah. Tentang ia yang mengirimkan surat sampai bertumpuk-tumpuk dan bimbang,
apakah surat itu akan dibalas atau tidak. Katanya, minimal satu hari langsung
dapat balasan surat dari pacarnya, dan maksimal tiga hari baru dapat terbalas.
“ Aku kangen kalau nunggu sampai tiga hari..” katanya. Kami pun tertawa bersama
setelah itu. Mengingat tentang cinta monyet masa sekolah, dengan keluguan dan
penuh kepolosan.
Cerita pun berlanjut ke
jenjang perkuliahan, tapi masih tentang ce i en te a, cinta~. Ia bercerita,
tentang seorang gadis yang mengidolakannya saat di kampus. Tapi bukan saya.
Gadis itu sangat bersungguh-sungguh katanya. Sampai-sampai temanku
diperkenalkan pada kedua orang tua gadis itu. Gadis itu pun malah menyatakan
cintanya pada temanku, tapi temanku masih ragu dan belum bisa menerimanya.
Gadis itu pun menangis, temanku merasa tidak tega dan merasa bersalah, walaupun
ia tidak bersalah. Cinta itu tidak bisa dipaksa kan cuk ? Saat temanku sedang
asik bercerita, ia pun menyodorkan tulisan yang tersimpan di laptopnya, sekitar
dua halaman. Awalnya, saya tidak mau membacanya, tapi karena hanya berjumlah
dua halaman, saya pun mencoba dan memberanikan diri.
Saat pertengahan
paragraf pertama, hati saya mulai gelisah, bergerak dan mulai merasakan perih.
Haaahh... saya mencoba menghembuskan napas dengan perlahan. Memasuki paragraf
kedua, tentang hal-hal yang indah dan puji-pujian terhadap gadis itu, semakin
membuat hati saya merasa perih. Saya tidak pernah menyangka, ternyata gadis itu
adalah teman saya sendiri, tapi bukan teman akrab, hanya teman sekelasku.
Paragraf demi paragraf
saya lewati dengan berbagai kata cinta yang indah. Konsentrasi saya mulai
buyar, mata saya mulai berkedip dengan cepat, mata saya mencoba menahan gejolak
air mata yang sedari tadi ingin mengalir. Sesekali saya mencoba mengalihkan perhatian
saya dengan melihat pengunjung perpustakaan, atau sekedar membalas pesan
singkat yang masuk ke Hp saya. Saya melirik teman saya yang sedang asik membaca
buku. Lagi, saya menarik napas panjang, menahan air yang bersembunyi di kelopak
mata saya ! Saya tidak ingin menangis di sini, belum, belum saatnya.
Ketika saya mulai
gelisah, dan selesai menghabiskan dua lembar tulisan yang sebenarnya takut
untuk saya baca, tiba-tiba teman saya melirik ke arah saya. Dengan spontan saya
pun tersenyum, seakan-akan tulisan yang saya baca adalah tulisan yang lucu. “
Lalu sekarang gimana ?” tiba-tiba kata ini yang keluar dari mulut saya. Teman
saya pun bercerita lagi, bahwa sekarang mereka tidak pernah berhubungan. Saya
pun mereda.
Tiba-tiba ia menyuruh
saya membaca lagi, tentang pertemuannya dengan sahabat baiknya dari Melawi. Ya,
tulisan yang sudah pernah kubaca ketika dulu.Tulisan yang membuat saya sama
rapuhnya ketika membaca tulisan yang tadi. Sebenarnya saya ingin menolak,
karena saya sudah pernah membaca tulisan itu, jauh sebelum teman saya mengenali
saya. Tapi kalau saya bilang seperti itu, saya takut semuanya terbongkar, jadi
saya baca saja. Untungnya saat sedang membaca, teman saya juga sedang
berbicara, jadi saya tidak terlalu fokus dengan bacaan. Toh, saya juga sudah
tau jalan ceritanya. Sudah cuk, jangan sedih, baca saja tulisannya.
Makan Sate
Tema berubah, saat saya
mengajaknya makan bersama. Kebetulan, perut saya sejak tadi sangat lapar. Kami
pun berboncengan dengan kecepatan sedang. Kupandangi lampu-lampu jalan yang
tersusun rapi disepanjang jalan Ahmad Yani. Sesekali saya bernyanyi, sekedar
memecahkan keheningan yang ada. Satu demi satu pedagang kaki lima di pinggir
jalan terlewati, namun belum ada yang menggugah selera. Setelah berputar-putar,
akhirnya kami singgah di tempat penjual sate yang ada di pinggir jalan, tak
jauh dari rumah Melayu.
Suasana mendukung,
sedikit rintik hujan dan kendaraan yang sepi. Disinilah, saya merasakan sesuatu
itu. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan, dan kini hadir lagi di bawah
tenda sederhana ini. Banyak hal yang kami bicarakan, masih tergambar jelas di
otak kananku. Peristiwa manis yang belum mampu kugoreskan di atas kertas putih
ini.
Saat saya berbicara
panjang lebar tentang pertemuan kami yang juga melibatkan perpustakaan dulu,
dia hanya terdiam, menatapku dengan tatapan indah itu. Tatapan yang membuat
saya mungkin sulit untuk tidur malam ini. Saya mencoba untuk mengendalikan
diri, sebenarnya saya gugup dan berdebar, tapi saya harus profesional dan tetap
tenang. Ingin rasannya saya terdiam dan membalas tatapan matanya. Tapi tidak,
saya tidak mau pergi terlalu jauh. Lagipula, saya pun tak mampu berlama-lama
melihatnya. Rasanya, jantung saya berdebar semakin cepat.
Ya, begitulah malam
yang sangat berwarna. Entah apa yang telah tumbuh di dalam hati saya ini.
Mungkinkah bunga ? atau pokok pisang ? Hehe, entah lah, yang jelas itu terasa
manis. Setelah selesai, kami pun pulang, saya menikmati malam dengan khusyu dan
tenang. Tidak ada yang keluar dari bibir ini. Tidak ada sedikit pun. Hingga
kami sampai di Mujahidin dan berpisah.
Dan saya duduk di sini,
dibawah sebatang lampu putih yang tergantung. Ditemani dengan gesekan jarum jam
kecil. Jarum yang sekarang mengarah pada pukul 22.46. semoga cerita ini
bersambung dan semakin indah di setiap episodenya, hehe. Ya sudah, embah pamit
dulu ya.
Wassalamu’alaikum.
Gramedia Cinta
Malam
harinya, saya mempunyai rencana untuk mengajaknya jalan-jalan. Entah kapan
terakhir saya berkunjung ke rumah sahabat saya, Gramedia. Mungkin si Pohon Rindang
juga menyukai. Benar, saya pun mengajaknya, dengan spontan melalui pesan
singkat, dan ia pun menerima.
Siangnya,
setelah melaksanakan solat Zuhur, saya ke kota baru, untuk mencari tas untuk
kuliah. Setelah itu, saya pun menjemputnya ke Mujahidin. Ia tampak, uh luar
biasa. Sepertinya semakin hari, semakin jelas betapa aku mengagumi temanku yang
satu ini. Ia dapat mengembalikan perasaan yang telah lama hilang di dalam hati
saya. Mungkin, ia bagaikan seorang pangeran yang membawa kemoceng dan dengan senang
hati membersihkan debu dan sarang laba-laba yang ada di ruang hati saya. Hehe.
Kami
pun terbang menuju Gramedia. Saat itu, cuaca lumayan baik. Jalanan pun tampak
normal seperti biasa. Kami pergi ke parkiran, dan menuju pintu masuk di sebelah
kanan belakang Mega Mall. Dan sampailah kami di Gramedia.
Jenis
buku yang pertama kali kami lihat adalah novel. Ya, sekedar melihat novel-novel
keluaran terbaru. Kemudian kami berjalan ketempat kumpulan komik, ternyata
pohon rindang itu menyukai komik yang
(kalau tidak salah) bernaha Beny. Ia sangat antusias dan semangat untuk
memperlihatkannya pada saya. Sebenarnya, saya kurang suka komik, saya memang
suka tulisan komedi, tapi dalam bentuk tulisan, bukan komik. Lama- kelamaan
saya pun hanyut di dalam cerita. Aneh, dan lucu. Kami berdua membaca satu buku,
padahal saya bisa saja mengambil buku dengan judul yang sama dan membacanya
masing-masing. Tapi, itulah intinya, kebersamaan. Hingga kami pun melewati
lembaran terakhir.
Setelah
puas berpetualang, kami pun keluar dari Gramedia. Kami berjalan menuju kursi
yang ada di lantai dua. Melihat beberapa pengunjung lain dan terus berbicara.
Saya pun menunjukan pesan singkat yang ada di Hp saya.
“
O,iya, kemarin kayaknya ada fans kau yang SMS aku. Nih, baca. “ ia pun
menyambut dan membuka pesan. Membacanya, dengan lumayan lama.
“
Emm... entah kenapa, aku ngerasa...” ia berhenti, tampak memikirkan sesuatu. “
Aku, ngerasa kurang nyaman kalau ada kabar tentang Ummi. Misalnya, ada yang
suka sama Ummi, aku tu kayak, gimane ye. Pokoknye, ndak nyaman lah.” Saya hanya
terdiam, tampak heran. Hah, ia berbicara seperti itu tiba-tiba. Lalu ia
menyambung lagi.
“
Ummi ngerasa gitu ndak ?” katanya, membuat hati saya, kena.
“
Emm, menurut Kau ?”
“
Ndak tau gak sih. Tapi, aku ngerasa...”
“
Iya, menurut kau aku sama gitu ndak ?” saya memotong.
“
Iya kalik, hehe. Soalnya, kan Ummi biasanya semangat, lalu tiba-tiba update
status yang ‘lemah’ gitu. Kayaknye kan... hehehe” ia tersenyum, tampak malu.
Saya pun tersenyum dan memndang pengunjung lain, bingung, harus kah saya
katakan sekarang ? Tapi, setelah berpikir sejenak. Dag-dung-dag-dug.
“
Iye, kayaknye sama lah. Aku pun keberatan kalau ada yang suka. Aku, ndak
cemburu sih, yaa, beda bah. Kalau cemburu kan ada hak nye, aku kan ndak ada hak
apa-apa. Jadi, aku ngerasa... keberatan jak. “ kemudian melemparkan senyuman.
Ia pun tampak mengangguk dan tersenyum, lalu menatap saya degan tatapan nya
yang mematikan. Hati saya semakin tak karuan.
“
Gitu ye. “
Kami
pun tersenyum satu sama lain. Jelas sekarang, ternyata ia juga ada perasaan
yang sama dengan saya. Setelah itu, kami pun berbincang-bincang tentang hal-hal
yang lain. Tapi pikiran saya terus bersyukur dan merasa senang. Tapi heran
juga, se-spontan ini kah mengungkapkannya ? Ternyata, penantian saya berakhir
seperti ini. Entah memang benar atau tidak, saya jalani saja. Yang penting,
saya dan si Pohon Rindang itu sama-sama sudah mengungkapkan perasaan. Lega.
Saya
berdiri, mengajaknya pergi. Mengajaknya solat.
“
Jam berape ni ? “ kata saya padanya.
“
Em,, tanggal 6 “
“
Hah ? Jam ! kok tanggal ?”
“
Oooh, jam empat lewat. Ha ha ha...”
“
Iih, dasar. “ jawab saya dengan perasaan geli.
Kami
pun berjalan menyusuri Mega Mall, menuju ke Musolla. Lega, tenang, senang. Ia
tampak senyum-senyum menatap kakinya yang melangkah maju.
“
Aku, rasanya mau teriak Mi. Ha ha ha.”
“
Iya, sama. Wooi budaaaak...” kata saya, tapi dengan suara pelan. Lalu ia
menyambung.
“
Mau tau ndaaak...?”
“
Kami berduaaa...”
“
Udaaah... Hahaha “ kami pun tertawa. Lega, lega sekali. Sampai pada Musholla
yang ada di dalam Mall. Melaksanakan ibadah dan besyukur. Alhamdulillah. :’)
Ending
Begitulah,
hingga akhirnya saya terpikirkan untuk mengabadikan dan menuliskan semuanya.
Dari awal saya bertemu dan melihatnya, hingga pada hari kami sama-sama mengungkapkan
perasaan kami. Agar di hari ulang tahunya nanti, ia membacanya. Tulisan ini
sudah terkubur lama. Sebagian cerita, kutulis dalam rentang waktu yang lama,
itu, itu tingkat kesulitannya. Mengingat masa lalu yang sudah terlewat sangat
lama. Namun perlahan, memori-memori indah itu datang dan hadir kembali pada
ingatanku, dan saat itu juga wajahnya terbayang. Dia, dia si Pohon Rindang itu,
Sukardi, yang hingga saat ini menjadi sahabat, saudara, kekasih, dan segalanya
bagiku.
Alhamdulillah,
keinginanku tercapai. Semoga tulisan ini bisa menghibur setiap orang yang
membacanya, terutama, Sukardi. Karena memang kubuat untuknya. Berbagai cerita
dibalik tulisan ini pun beragam. Mulai dari rasa malas yang kadang muncul,
penundaan waktu, laptop bermasalah, dan lain sebagainya. Tapi, sekali lagi,
tulisan ini telah jadi dan dia sudah membacanya.
Biarlah,
tulisan ini ber-ending di sini. Tapi cerita tentang rasa cinta kami tetap
berjalan dengan indah.
Surat
Kecil untuk Kasihku
Sayang,
bagaimana rasanya ? Bagaimana perasaanmu sekarang ? Kutuliskan ini bukan untuk
membuatmu bersedih, dan meminta maaf
atas perlakuan yang tak disadari. Aku membuatnya hanya untuk bercerita. Dan
mengenalku lebih jauh. Ini aku, aku yang mengagumimu dari dulu. Dan sekarang
masih saja mengagumimu. Entah keajaiban ini sangat kusyukuri. Aku tak pernah
menyebut namamu dalam do’aku sayang. Hanya saja, dulu, setiap aku memohon di
pertemukan dengan seorang yang tepat, wajahmu hadir, dalam bayangan. Barulah,
setelah kejadian tanggal 6 itu, namamu kuselipkan di situ, saat aku menadahkan
kedua tanganku ke atas.
Maaf,
aku menutupi semuanya. Karena, mungkin ini saat yang tepat. Tuhan memang Maha
Tau. Apa jadinya jika aku hadir di saat engkau sedang berhubungan dengan yang
lain ? Misalnya saat teman kelasku mengejar-ngejar dirimu ? Dan saat itu juga
aku mengejarmu, pasti aku akan bernasib sama. Dan apa jadinya jika aku hadir di
tengah persahabatan manismu dengan sahabatmu itu? Pasti, aku akan bernasib sama
dengan teman sekelasku. Karena, rasa sayangmu yang saat itu masih sangat besar.
Sayang, Mia tak dapat melihatnya. Dan aku hadir saat hatimu hampir kosong.
Sama, kau juga hadir saat aku membutuhkan orang untuk kukagumi. Maaf lagi, jika
banyak cerita yang terlupakan.
Sayang,
semoga tulisan ini dapat menghiburmu. Meyakinkan hatimu bahwa aku bukan ‘anak
baru’. Aku bukan anak baru yang sekedar suka dan menjalani mengikuti arus
waktu. Aku sudah lama menyukaimu. Jadi, jangan pernah takut aku pergi, kalaupun
aku pergi, pasti ada alasannya, dan alasan itu pasti untuk kebahagiaanmu.
Selamat
menjalani umur yang baru, dengan cinta yang lama. Cinta dariku. Semoga semakin
hari ‘persahabatan’ kita dapat berlanjut. Amiiiin.
© H a p p y
E n d i n g ©
0 Komentar