Foto: Suasana Diskusi/ Beni Sulastiyo |
Ditulis Oleh: Beni Sulastiyo
Pontianak, 10 November 2017
Pontianak, 10 November 2017
Akankah Pilgub Kalbar Rusuh?
Pertanyaan ini mendominasi lingkar diskusi bersama para puluhan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Kalbar, Rabu malam yang lalu (8/11). Malam itu saya diminta untuk menjadi nara sumber dalam diksusi yang bertemakan Menakar Potensi Konflik Pilkada Kalbar 2018.
Tema itu dipilih karena mungkin para aktivis mahasiswa itu melihat beberapa peristiwa yang memancing emosi sosial beberapa waktu yang lalu, mulai dari insiden pengusiran penceramah dan berpuncak pada pawai budaya untuk menyambut Pekan Gawai Dayak yang nyaris bentrok.
Selain itu bisa jadi kawan-kawan muda aktivis mahasiswa itu juga menjadikan Pilgub DKI yang penuh dengan emosi sebagai alasannya. Sebuah pilkada yang yang memang telah menguras begitu banyak energi bangsa ini.
Saya berupaya menjawab pertanyaan itu dengan santai. Bahwa Pilgub Kalbar tak bakalan rusuh. Orang-orang di Kalbar, kata saya, insyaallah akan lebih maju di bandingkan orang-orang di Jakarta. Apa yang dipertunjukan dalam Pilgub Jakarta yang kental dengan nuansa politik identitas itu adalah peralihan politik ala masyarakat purba.
Pemikiran saya ini mendapat kritikan dari Bang Lubis, salah satu peserta diskusi. Ia bilang bahwa bagaimanapun juga masyarakat kita tak bisa lari dari politik identitas. "Orang Islam pasti akan memilih orang Islam. Sedangkan orang Kristen pasti akan memilih orang Kristen", katanya.
Saya menjawab kritisasi dari Bang Lubis itu dengan menyepakatinya. Realitas sosial saat ini memang seperti itu, kata saya. Tapi fenomena sosial-politik yang terjadi itu tidaklah terjadi sekonyong-konyong. Fenomena itu adalah hasil kerja elit politik yang tak paham dengan sistem politik yang diberlakukan di negeri ini.
Sistem politik di Indonesia jelas-jelas tak mengakomodir politik identitas atau politik aliran. Jadi tak ada Partai Islam atau Partai Kristen. Yang ada hanya Partai yang bercorak Islam atau bercorak Kristen (dulu PDS). Tapi berhubung para elitnya tak punya gagasan yang bisa menarik simpatik, akhirnya kesamaan identitas dijadikan perekat untuk membangun dukungan masyarakat. caranya adalah dengan mengobar-ngobarkan permusuhan demi memperoleh dukungan sosial politik.
Maka hak rakyat untuk memilih dengan alasannya. Mau karena kesamaan identitas atau karena kesamaan gagasan. Biarin aja.
Yang terpenting para politisinya juga para elitnya jangan ngipas-ngipasi pemilih dengan permusuhan dan kebencian. Politisi dan para elit yang sukanya seperti itu adalah politisi yang tak berkualitas sebagai negarawan. Dan politisi seperti ini sesungguhnya sedang berupaya mengkerdilkan diri sendiri.
Sekarang ini era globalisasi, era pergaulan umat manusia. Semua ras dan etnis akan semakin intensif berinteraksi. Kita ini akan menjadi bangsa yang takut berinteraksi dengan orang China kalau setiap hari ngecam orang China, padahal 1/5 penghuni bumi ini adalah orang China. Kita akan menjadi bangsa yang takut berinteraksi dengan orang-orang Arab dan Timur Tengah, kalau saban hari mengecam orang-orang Arab atau islam.
Begitu saya memprovokasi.
Maka, mari jalankan proses pilkada ini dengan beradab. Jadikan politik sebagai sesuatu yang biasa. Rakyat kita itu maupun dipimpin oleh siapa saja ga masalah kok. Yang penting jangan dipimpin oleh penghkhianat, penindas, pelanggar moral dan orang yang sukanya nilep uang rakyat.
Kembali pada pertanyaan awal, apakah Pilgub Kalbar akan rusuh. Saya tetap berkeyakinan tidak bakalan rusuh. Selain rakyat Kalbar sudah mulai paham bahwa emosinya seringkali dimainkan oleh politisi, para politisi yang bertarung dalam Pilgub Kalbar kali ini juga tak ada yang tempramen. Semuanya adem-adem. Hanya satu yang hot. Tapi di lapangan sosial politik yang hot itupun bertempramen teduh dan adem.
0 Komentar