sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Padang 12



Oleh : Sukardi (Adi TB)

Ini sebuah kisah tentang suatu tempat, terletak di antara Kecamatan Kendawangan dan Kecamatan Pesaguan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.  Sampai saat ini penuh misteri. Belum ada jawaban pasti.Tidak semua orang bisa melihatnya. Hanya hati suci yang bisa membawa ke sana. Tempat itu bernama Padang 12.
***
Padang 12, Ketapang, Kalimantan Barat


Pada suatu malam, dua pemuda tanggung sedang mendorong sepeda motor. Ditemani penghuni malam, berbisik namun tak mengusik, ibarat musik akustik, nikmat dan menarik.
“Yaaah, bensin kita habis,” kata salah seorang dari mereka, dengan nada panik. Mereka melewati  area yang sangat gelap.
“Apa itu Jon?!,” kata Udin yang kaget dan mundur satu langkah.
“Tenang Din, itu hanya tikus yang lomba lari, haha,” Joni tertawa kecil, melihat tingkah si Udin.
Hati mereka kembali tenang dan melanjutkan perjalanan. Baru separuh jalan, Joni melihat bayangan putih. Mungkin itu hanya khayalannya saja. Joni  baru ingat, tadi sebelum berangkat tidak baca doa, dengan santai dan mirip takabbur.
Di pikiran Joni pun terlintas cerita dari Nek Wati, kalau lewat di jalan ini, harus permisi dan jangan takabbur. Joni segera berdoa dan minta keselamatan untuk sampai tujuan. Bayangan putih tadi semakin mendekat, dan sekarang terlihat jelas.
“Udin, mau kemana?,” terdengar suara lembut,berasal dari sesosok yang dianggap bayangan putih itu.
“Mau ke Kendawangan,” Joni menjawab mendahuluiUdin, sebabIa masih gemetaran.
“Mampir dulu lah ke gubukku,” tawarnya dengan nada lembut.
“Kamu Aisyah kan?,” tanya Udin dari balik kabut, maklum, keadaan jalan berkabut pasca kebakaran lahan.
“Haha, ia, terimakasih ya Din, kamu masih mengingatku,” kata gadis tersebut, sambil tersipu malu.
“Ya, Udin kan memiliki daya ingat seribu persen, haha,” Joni nyeletuk, meledek Udin, yang masih dalam keadaan gemetaran.
 “Emm, Din, kamu kenal dia dari mana?,” tanyaku  lagi dengan kepo, santai dan mirip berbisik.
“Anu Jon, kemarin aku mampir di salah toko, yang tidak jauh dari jalan ini, dan bertemu ia, sempat kenalan sebentar, orangnya ramah,” jelas si Udin dengan nada masih gemetaran.
“Din, udah lah gemetarannya, malulah diliat cewek itu,” guyon Joni sambil mengusap-usap pundak Udin. Udin hanya mengangguk. Mereka pun berjalan mendekati Aisyah.
“Kenapa motornya didorong?,” tanya Aisyah dari arah belakang.
“Kami kehabisan bahan bakar,” jawab keduanya kompak.
“Ow, Aisyah ada bensin, kebetulan kemarin beli, tapi tidak kepakai semua, sisa 1 liter,”Aisyah menawarkan bensin, sambil tersenyum manis.
“O gitu, sip lah, kami minta tolong ya,”  wajah kedua pemuda tanggung itu sedikit memelas.
“Hem.. ayoklah ke rumah,” dengan semangat, Aisyah mengajak mereka kerumahnya.
“Jauh ka ?,”  tanya mereka kompak.
“Tidak jauh. Tuuh…,” Aisyah menunjuk rumahnya, yang berjarak sekitar 200 meter dari posisi kedua pemuda itu.
Sambil berjalan, mereka tidak banyak bicara, Joni dan Udin hanya melihat pemandangan sekitar, rumah-rumah warganya megah, dan banyak bunga-bunga. Suasana yang damai dan asri. Rumah Aisyah tampak sepi.
“Pada kemana orang rumah ni Sya?,” tanya Joni penasaran.
“Keluargaku lagi pergi ke acara nikahan, tu yang ada bunyi musik dangdut,” memberikan isyarat kepada Joni dan Udin, arah musik dangdut tersebut.
“Ow, dari kemarin ya dangdutannya?, kedengaran ke kampungku, rencana kami mau mampir  nanti,” Basa basi si Udin yang udah hilang gemetarannya.
“Iya, singgah la. Tidak jauh,” saran dari Aisyah.
Tidak berlama-lama, setelah mengisi bensin ke dalam tangki motor, Joni dan Udin mengeluarkan uang 5 ribuan,  mereka patungan, jadi 10 ribu.
“Ni Aisyah, uang buat bayar bensinnya,” Udin mengulurkan tangannya kepada Aisyah.
“Tak usah lah, Aisyah sedekah aja,” kata Aisyah sambil tersenyum.
“Kami merasa tak enak ni,” kata kedua pemuda itu dengan berwibawa.
“Santai aja, perjalanan kalian masih jauh kan?, uangnya pakai untuk jajan aja,” Aisyah memberikan saran.
“Bener ni?,” Udin memastikan.
“Iya bener, ni ada oleh-oleh buat emaknya Udin,” sebuah kantong terlihat di tangan Aisyah.
“Apa ni Syah?,” tanya Udin.
“Ini kunyit, buat rempah dapur, tadi kami panen,”Aisyah memberikan sekantong kunyit itu kepada Udin.
“O ya, makasih ya,” ucap kedua pemuda itu senang.
Mereka pamitan dan melanjutkan perjalanan. Aisyah tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Kunyit sekantong kecil tadi, Joni masukkan ke dalam tas.
“Kau mau kah kunyitnya?,” Udin bertanya kepada Joni yang sedang mengemudi.
“Boleh lah Din, buat masak ikan, hehe,” ucap Joni dengan bersemangat.
“Oke lah, nanti sampai rumah, kita bagilah”.
Joni dan Udin kami tancap gas. Kali ini dengan doa yang lebih kusyuk.
****
Mentari di pagi ini terbit dengan cahaya yang romantis. Lembut bersama angin sepoi-sepoi. Tidak ada suara ribut, maklum hari ini, hari libur Nyepi. Biasanya, ada saja suara teriakan anak-anak SD yang berlalu lalang. Suara anak-anak itu, bukan sesuatu yang menjengkelkan, malahan menjadi sesuatu yang patut disyukuri, suara anak-anak SD itu menjadi alarm pribadi untuk dua pemuda tanggung itu, Joni dan Udin.
“Din, bangun!,“ Joni menarik bantal si Udin.
“Masih gelap bah,” Udin menarik kembali bantalnya.
“Haha, gelap apa, tengoklah, matahari dah menari tu,” kata Joni dengan gaya puitis.
Udin bangkit dari tidurnya, mengusap-ngusap wajah dan mata, seperti bayi yang baru bangun tidur. Ditambah dengan senam-senam kecil.
“Jon, kau ada dengar atau melihat acara musik dangdut kah?  pas kita di jalan,  tadi malam?,”
“Yang setelah dari rumah Aisyah kah?,”
“Iya, ada gak?,”
“Gak ada Din, semakin dekat lokasi, musiknya makin jauh, dan setelah kita masuk di daerah Pesaguan, musiknya masih ada, tepat di lokasi yang kita lewati tadi,” Joni menjelaskan.
“Wah, sungguh aneh. Mana kunyit kita Jon?,” pinta Udin dengan penuh penasaran.
Joni segera menyambar tas yang ada disampingnya. Perlahan-lahan Joni membukanya. Udin sepertinya sudah tidak sabaran.
“Din,! Lihat!,” kata Joni dengan nada seperti orator.
“Haaa?? Emas!!,” Udin keheranan, sambil nyubit-nyubit pipinya.
“Iya, ini emas, coba gigit,” Joni memberikan kunyit yang sudah berubah wujud itu kepada Udin.Udin mengigit emas tersebut, dan ternyata asli.
“Kemana kunyitnya?,” tanya si Udin sambil menimang-nimang benda itu.
Meneketehe,” jawab Joni dengan bahasa alay.
“Emm.. tak jadilah kau masak ikan Jon,” Udin ngeledek.
“Inikah yang diceritakan  Nek Wati?,” spontan Joni berkata demikian.
“Apa itu Jon?,” tanya Udin dengan rasa penasaran.
“Padang 12,” kata Joni dengan wajah datar.

Kami terdiam, menatap satu sama lain, Udin gemetaran lagi,  tangan Joni menarik sarung, dan kembali tidur, dalam hatinya berkata “Padang 12”.(*)

Posting Komentar

0 Komentar