Oleh : Sukardi (Adi TB)
Ini sebuah
kisah tentang suatu tempat, terletak di antara Kecamatan Kendawangan dan
Kecamatan Pesaguan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sampai saat ini penuh misteri. Belum ada
jawaban pasti.Tidak semua orang bisa melihatnya. Hanya hati suci yang bisa
membawa ke sana. Tempat itu bernama Padang 12.
***
Padang 12, Ketapang, Kalimantan Barat |
Pada suatu malam, dua pemuda tanggung sedang
mendorong sepeda motor. Ditemani penghuni malam, berbisik namun tak mengusik,
ibarat musik akustik, nikmat dan menarik.
“Yaaah, bensin kita habis,” kata salah
seorang dari mereka, dengan nada panik. Mereka melewati area yang sangat gelap.
“Apa itu Jon?!,” kata Udin yang kaget dan mundur
satu langkah.
“Tenang Din, itu hanya tikus yang lomba lari,
haha,” Joni tertawa kecil, melihat tingkah si Udin.
Hati mereka kembali tenang dan melanjutkan
perjalanan. Baru separuh jalan, Joni melihat bayangan putih. Mungkin itu hanya
khayalannya saja. Joni baru ingat, tadi
sebelum berangkat tidak baca doa, dengan santai dan mirip takabbur.
Di pikiran Joni pun terlintas cerita dari Nek
Wati, kalau lewat di jalan ini, harus permisi dan jangan takabbur. Joni segera berdoa
dan minta keselamatan untuk sampai tujuan. Bayangan putih tadi semakin
mendekat, dan sekarang terlihat jelas.
“Udin, mau kemana?,” terdengar suara
lembut,berasal dari sesosok yang dianggap bayangan putih itu.
“Mau ke Kendawangan,” Joni menjawab
mendahuluiUdin, sebabIa masih gemetaran.
“Mampir dulu lah ke gubukku,” tawarnya dengan
nada lembut.
“Kamu Aisyah kan?,” tanya Udin dari balik
kabut, maklum, keadaan jalan berkabut pasca kebakaran lahan.
“Haha, ia, terimakasih ya Din, kamu masih
mengingatku,” kata gadis tersebut, sambil tersipu malu.
“Ya, Udin kan memiliki daya ingat seribu
persen, haha,” Joni nyeletuk, meledek Udin, yang masih dalam keadaan gemetaran.
“Emm,
Din, kamu kenal dia dari mana?,” tanyaku
lagi dengan kepo, santai dan mirip berbisik.
“Anu Jon, kemarin aku mampir di salah toko,
yang tidak jauh dari jalan ini, dan bertemu ia, sempat kenalan sebentar,
orangnya ramah,” jelas si Udin dengan nada masih gemetaran.
“Din, udah lah gemetarannya, malulah diliat
cewek itu,” guyon Joni sambil mengusap-usap pundak Udin. Udin hanya mengangguk.
Mereka pun berjalan mendekati Aisyah.
“Kenapa motornya didorong?,” tanya Aisyah
dari arah belakang.
“Kami kehabisan bahan bakar,” jawab keduanya kompak.
“Ow, Aisyah ada bensin, kebetulan kemarin
beli, tapi tidak kepakai semua, sisa 1 liter,”Aisyah menawarkan bensin, sambil
tersenyum manis.
“O gitu, sip lah, kami minta tolong ya,” wajah kedua pemuda tanggung itu sedikit
memelas.
“Hem.. ayoklah ke rumah,” dengan semangat,
Aisyah mengajak mereka kerumahnya.
“Jauh ka ?,” tanya mereka kompak.
“Tidak jauh. Tuuh…,” Aisyah menunjuk
rumahnya, yang berjarak sekitar 200 meter dari posisi kedua pemuda itu.
Sambil berjalan, mereka tidak banyak bicara,
Joni dan Udin hanya melihat pemandangan sekitar, rumah-rumah warganya megah,
dan banyak bunga-bunga. Suasana yang damai dan asri. Rumah Aisyah tampak sepi.
“Pada kemana orang rumah ni Sya?,” tanya Joni
penasaran.
“Keluargaku lagi pergi ke acara nikahan, tu
yang ada bunyi musik dangdut,” memberikan isyarat kepada Joni dan Udin, arah
musik dangdut tersebut.
“Ow, dari kemarin ya dangdutannya?,
kedengaran ke kampungku, rencana kami mau mampir nanti,” Basa basi si Udin yang udah hilang
gemetarannya.
“Iya, singgah la. Tidak jauh,” saran dari
Aisyah.
Tidak berlama-lama, setelah mengisi bensin ke
dalam tangki motor, Joni dan Udin mengeluarkan uang 5 ribuan, mereka patungan, jadi 10 ribu.
“Ni Aisyah, uang buat bayar bensinnya,” Udin
mengulurkan tangannya kepada Aisyah.
“Tak usah lah, Aisyah sedekah aja,” kata
Aisyah sambil tersenyum.
“Kami merasa tak enak ni,” kata kedua pemuda
itu dengan berwibawa.
“Santai aja, perjalanan kalian masih jauh
kan?, uangnya pakai untuk jajan aja,” Aisyah memberikan saran.
“Bener ni?,” Udin memastikan.
“Iya bener, ni ada oleh-oleh buat emaknya
Udin,” sebuah kantong terlihat di tangan Aisyah.
“Apa ni Syah?,” tanya Udin.
“Ini kunyit, buat rempah dapur, tadi kami
panen,”Aisyah memberikan sekantong kunyit itu kepada Udin.
“O ya, makasih ya,” ucap kedua pemuda itu
senang.
Mereka pamitan dan melanjutkan perjalanan.
Aisyah tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Kunyit sekantong kecil tadi, Joni masukkan
ke dalam tas.
“Kau mau kah kunyitnya?,” Udin bertanya
kepada Joni yang sedang mengemudi.
“Boleh lah Din, buat masak ikan, hehe,” ucap
Joni dengan bersemangat.
“Oke lah, nanti sampai rumah, kita bagilah”.
Joni dan Udin kami tancap gas. Kali ini dengan
doa yang lebih kusyuk.
****
Mentari di pagi ini terbit dengan cahaya yang
romantis. Lembut bersama angin sepoi-sepoi. Tidak ada suara ribut, maklum hari
ini, hari libur Nyepi. Biasanya, ada saja suara teriakan anak-anak SD yang
berlalu lalang. Suara anak-anak itu, bukan sesuatu yang menjengkelkan, malahan
menjadi sesuatu yang patut disyukuri, suara anak-anak SD itu menjadi alarm
pribadi untuk dua pemuda tanggung itu, Joni dan Udin.
“Din, bangun!,“ Joni menarik bantal si Udin.
“Masih gelap bah,” Udin menarik kembali
bantalnya.
“Haha, gelap apa, tengoklah, matahari dah
menari tu,” kata Joni dengan gaya puitis.
Udin bangkit dari tidurnya, mengusap-ngusap
wajah dan mata, seperti bayi yang baru bangun tidur. Ditambah dengan
senam-senam kecil.
“Jon, kau ada dengar atau melihat acara musik
dangdut kah? pas kita di jalan, tadi malam?,”
“Yang setelah dari rumah Aisyah kah?,”
“Iya, ada gak?,”
“Gak ada Din, semakin dekat lokasi, musiknya
makin jauh, dan setelah kita masuk di daerah Pesaguan, musiknya masih ada,
tepat di lokasi yang kita lewati tadi,” Joni menjelaskan.
“Wah, sungguh aneh. Mana kunyit kita Jon?,” pinta
Udin dengan penuh penasaran.
Joni segera menyambar tas yang ada
disampingnya. Perlahan-lahan Joni membukanya. Udin sepertinya sudah tidak
sabaran.
“Din,! Lihat!,” kata Joni dengan nada seperti
orator.
“Haaa?? Emas!!,” Udin keheranan, sambil
nyubit-nyubit pipinya.
“Iya, ini emas, coba gigit,” Joni memberikan
kunyit yang sudah berubah wujud itu kepada Udin.Udin mengigit emas tersebut,
dan ternyata asli.
“Kemana kunyitnya?,” tanya si Udin sambil
menimang-nimang benda itu.
“Meneketehe,”
jawab Joni dengan bahasa alay.
“Emm.. tak jadilah kau masak ikan Jon,” Udin
ngeledek.
“Inikah yang diceritakan Nek Wati?,” spontan Joni berkata demikian.
“Apa itu Jon?,” tanya Udin dengan rasa
penasaran.
“Padang 12,” kata Joni dengan wajah datar.
0 Komentar