Oleh: Sukardi
(Adi TB)
Seiring berlabuhnya fajar,
tubuhku semakin gemetar, ini tandanya aku lapar. Deru angin sungai Kapuas
menggelegar, sesekali cahaya lampu petromak terpancar. Dari kejauhan para santri
beiringan berangkat mengaji, penghuni dunia yang suka menggali ilmu untuk
akhirat nanti. Dalam diam ada riuh, pikiran bergemuruh, pena dan kertas bersama
tubuh, mengukir karya hingga utuh, selamat sore jiwa yang teguh.
Namaku Nur, remaja berusia 17
tahun, usia yang memiliki banyak tanda tanya dalam kehidupan. Hidup yang penuh
dengan rasa ingin tahu. Tidak heran, di usiaku ini, aku ingin banyak mencoba
sesuatu, terkadang aku menjadi orang yang tidak mau membuka diri, aku memiliki
jiwa untuk menciptakan sesuatu yang berbeda.
Aku sembunyi-sembunyi membuat
karya tulis, aku memang suka membuat karangan sejak sekolah dasar. Nilai Bahasa
indonesiaku selalu tinggi. Aku selalu ingin menciptkan yang berbeda, aku
menulis, mengukir kata-kata yang ada di hati, aku yakin tidak ada karya yang
salah, jadi aku menulis apa saja yang ingin aku tulis. Dari kehidupanku di
rumah, di sekolah, bermain, mengaji dan masih banyak lagi.
Suatu hari, tulisanku dibaca oleh
ayahku, ia memberikan beberapa nasehat, diantaranya, kata ayah, pada masa
sekarang ini, orang sudah jarang membaca. Secara fakta di lapangan, memang
benar apa yang dikatakan ayah itu. Aku sempat minder, dan ingin berhenti
menulis, namun apa yang terjadi, jemari terus bergerak, menuangkan kata-kata
yang ada dihati. Mungkin aku durhaka terhadap orang tuaku. Tidak mengindahkan
kata-katanya.
Hingga pada suatu hari, aku
bertemu dengan seorang teman yang juga suka menulis. Namanya Abdul. Ia suka
mengarang cerita pendek sejak sekolah dasar juga, sejak perkenalan pertama, ia
banyak berbagi pengalamannya menulis. Dari mengikuti lomba menulis hingga
mengirimkan tulisannya ke media cetak, dan akhirnya terbit. Dari tulisan, ia
juga mendapatkan uang jajan. Yang ia katakan, menulis itu dari hati, menulis
adalah karya, misal dapat uang dari tulisan, itu adalah buahnya, sedangkan
karya adalah pohon yang kita rawat dengan sebaik-baiknya.
Seiring waktu berlalu, aku sering
menulis bersama temanku itu. Aku diajaknya mengirimkan tulisan ke media cetak,
berupa cerita pendek, namun aku masih saja malu dan takut dimarah ayah.
Ternyata, Abdul diem-diem mengirimkan tulisanku ke media cetak dan ternyata
terbit. Cerpenku ia kliping, ia tunjukkan kepadaku di taman kota, aku
sumringah, namun masih jengah, aku malu nunjukin ke orang tuaku, terutama ayah.
Lagi-lagi, Abdul memberikan
motivasi untuk menunjukkan karyaku itu kepada Ayah dan Ibu. Jangan takut, itu
adalah karya, tidak ada yang salah, kata Abdul. Rasa percaya diri meningkat
lagi. Segera aku menuju rumah, dan berbicara dengan orang tuaku yang sedang
duduk di ruang tamu.
Perlahan-lahan aku memberikan
cerpen yang sudah tertuang di media lokal kalbar. Aku kira Ayah akan cuek saja.
Ternyata berbalik 180 derajat, ayah tersenyum dan ibu pun juga senang. Dari
karyaku ini, ayah berjanji akan membelikan laptop, karena aku terlihat serius
untuk menulis.
Sebulan kemudian, laptop yang
dijanjikan Ayah, benar-benar hadir di hadapanku. Aku bangkit dan memeluk ayah.
Terimakasih ayah, kamu benar-benar memberikan dukungan kepadaku, ternyata
benar, suatu yang diragukan harus diberikan pembuktian.
Tidak main-main, ayah membelikan
laptop dengan space core i3, karena aku juga suka dengan design grafis. Terima
kasih ayah. Kupeluk ayah erat-erat, dan ibu datang juga memelukku dari
belakang. Sungguh, keluarga yang bahagia.
Ada kompetensi menulis di media
sosial, yang diadakan oleh salah satu penerbit terkenal di pulau Jawa. Aku pun
mencoba mengirimkan tulisan. Menunggu selama sebulan, dan akhirnya aku lolos
sebagai Kontributor. Satu cerpen yang berjudul Nada Khusus, menempel dalam buku
pertamaku itu. Ucap syukurku kepada Ilahi, karena Kekuatan-Nya, karyaku
tercipta. Ayah semakin senang dan sayang kepadaku. Senyum Ayah, semangat
untukku.
Aku terus mengukir tulisan.
Pikiran-pikiran yang penuh inspirasi, kutuangkan dengan ikhlas dari hati. Karya
adalah cinta. Untuk Ayah, aku berkarya.
Pontianak, 26 Maret 2016.
Cerita ini, rekaman kehidupan sahabatku, Nur Ummi Mufidah.
0 Komentar