Sudah berhari-hari diselimuti asap, akhirnya hujan pun turun, dan
sang mentari mulai menampakkan wujudnya, tidak hanya mengintip, namun sang mentari datang dengan
kehangatan yang amat nikmat.
“Emm… hangatnya” kata Desi sambil menebarkan pakaian yang baru saja
dicucinya.
Hari ini, Desi sudah berencana akan jalan-jalan. Biasanya Desi tidak
berjalan sendirian, ia terkadang bersama pria idamannya. Jamal. Nah, Jamal
itulah nama sahabat dekat Desi.
Setelah pakaian selesai dijemur semua, Desi menuju teras rumah.
Terlihat olehnya sepucuk surat, dengan
sebuah tulisan nama disisi bawah surat. “D.J”, itulah dua huruf sebagai inisial sang pengirim surat.
“Siapa ya yang ngirim ni?” kata tanya yang berkecamuk di dalam hati
Desi.
Dibuka surat tersebut. Tertera beberapa kata. Des,
apa kabar?. Datanglah ke Taman Akcaya sore ini. Itulah isi suratnya.
Semakin menggebu hati Desi, semakin besar rasa ingin tahu dibenaknya.
“Eh, siape yee…” gumam Desi dengan logat Pontianak.
“Udalah, baek aku kemas-kemas jak. Bedandan, sore ini aku mau
jalan-jalan dengan Bang Jamal” kata Desi sambil senyum-senyum kancil di hadapan
cermin. Ukuran cermin sebesar layar kaca televisi 14 inci, lumayan untuk
melihat dengan jelas wajah Desi yang cantik.
Sore pun tiba. Bang Jamal yang ditunggu-tunggu datang, semeringai
gigi tikusnya. Aroma parfum yang acapkali membuat Desi mabuk, sore ini terasa
lebih kuat. Baru di halaman rumah, aroma si Jamal sudah sampai ke ruang tamu.
“Nah, itu pasti Bang Jamal kamek barok datang” kata Desi sembari
merapikan lengan bajunya. Desi tidak kalah wangi. Parfum wanita dengan aroma
bunga Tanjung, semerbak mewangi menempel di pakaian Desi.
Disambutnya si Jamal dengan penuh rasa bahagia. Maklum, sudah lama
tidak ketemu, karena si Jamal sedang ke daerah, liputan pilkada 2015. Jamal ini
wartawan media cetak lokal.
“Apa kabar Dek Desi” dengan gaya khasnya, Jamal menanyakan kabar si
Desi.
“Baek, Abang Jamal gimane kabarnye?” dengan gaya yang begitu manja.
Manjanya anak gadis yang diselimuti rindu. Kedip-kedip mata si Desi, membuat
Jamal gemetaran, bukan takut, tapi gemas.
“Abang pun baek. Tak sabar kaki Abang ni nak ngajak Dek Desi ke
Taman Akcaya”
Setelah bercengkerama bak dua sejoli yang sudah tidak bertemu
ratusan tahun, Jamal dan Desi menuju Taman Akcaya, di taman itulah pertamakali
Jamal menuangkan kata hatinya.
Sepoi-sepoi angin menerjang sepeda motor, yang dikendarai Bang Jamal
dan Dek Desi. Dua sejoli ini sudah berteman dekat selama 5 Tahun. Sudah
layaknya, pria mapan, mengungkapkan sesuatu yang lebih serius dan mapan pula,
sebut saja menikah.
Siapa yang tidak tahu menikah?. Suatu proses yang sangat sakral dan
menjadi sunah, sebagai pengikat suatu pasangan yang dinyatakan dengan kalimat
sah, agama dan hukum bangsa.
Jauh dari mengingat menikah. Si Desi memang sudah menaruh hati, dan
siap dipersunting. Hanya menunggu waktu saja, untuk si Jamal menjadi mapan.
Kerja di media cetak, Jamal mampu menabung dan mempersiapkan diri untuk melamar
si Desi. Sama, kepada Desi, Jamal pun meminta sabar menunggu. Ah, Desi
terkadang meradang, mengapa hakikat wanita menunggu. Namun, Jamal tetap tegar
menguatkan sang Bidadari. Suatu yang serius, pasti akan berbuah jauh lebih
ranum dan manis dari yang direncanakan.
“Percayalah Dek Desi” ucap Jamal 5 tahun silam di Taman Akcaya.
Sesampainya di Taman Akcaya. Desi teringat dengan surat yang ditemukannya tadi pagi. Terdapat dua
huruf sebagai identitas pengirim “D.J”.
Ingin ia bercerita kepada Jamal, namun hati kecilnya tak sampai.
Tertahan-tahan rasanya, mengeluarkan kata-kata niat hati, untuk bercerita
perihal surat.
“Bang…”
“Iya Dek Desi,”
“Saye maok…” panjang dan lama mau melanjutkan kalimat untuk
bercerita perihal surat tadi.
“Maok ape ye Dek Desiku ni?”Jamal bertanya dengan lembut.
“Maok dudok di kursi itu…” Desi senyum malu-malu sambil menunjuk ke
arah kursi panjang yang ada di bawah pohon rindang.
“Ow Ayok lah…” Jamal dan Desi menuju kursi tersebut.
Hening, Jamal dan Desi sama-sama terdiam. Sama-sama bingung mau
berkata apa. Kaku. Sebab lama tidak bertemu atau angin sore yang terlalu
dingin.
Bukan. Bukan itu penyebabnya. Mereka hanya sama-sama menikmati senja
bersama mentari yang menyapa dan kembali ke peraduannya.
“Desi..mana jari manismu?” Desi kaget, lalu tersenyum. Spontan
menyerahkan jari manisnya dengan tulus kepada Jamal.
“Ini untukmu, tulus dan bukti
cintaku, pakailah dan jagalah” Jamal tersenyum, kalimat jujur berlinang di bola
matanya.
Desi semakin tersenyum , lebih manis, lebih manja.
Sebuah cincin emas, bertuliskan “D.J” menempel indah di jari manis
Desi.
*Selesai
Oleh: Sukardi (Adi TB)
Selasa, 10 November 2015
0 Komentar