sukarditb.com

20/SASTRA/ticker-posts

Cahaya Telah Terbit


Berjalan perlahan-lahan, menggapai gagang pintu, bewarna keemasan. Debar jantung seirama dengan gerak pintu, pelan-pelan kemudiang menganga, kedua belah mulut pintu terbuka lebar. Berdiri jangkung seorang pria, berpakaian bak raja, memakai topi keagungan.

Ternyata bukan orang dewasa, karena bias cahaya dari jendela di belakangnya, ia seperti orang dewasa saja. Dia masih anak-anak, usianya ditaksir seusia dengan siswa kelas 3 seolah dasar.
“Permisi…” kataku dengan intonasi suara yang rendah, masih terbawa oleh rasa dingin, sisa gemetaran membuka gagang pintu tadi.
“Ada apa?” anak itu bertanya pendek. Belum membalikkan badan. Masih dengan keadaan semula.
Aku belum dipersilakan masuk. masih dengan kondisi semula juga. Berdiri sedikit membungkuk di hadapan pintu. Tak berani melangkah, bisa-bisa aku salah.
“Masuk lah.. !” anak itu memanggilku, tanda untuk aku bersegera masuk, dan menyampaikan tujuanku, yang lancang ke rumahnya.
“Tuan mendapat undangan dari rakyat Kampung Bahagia”
Anak itu masih terdiam. Mungkin sedang mencerna apa yang aku ucapkan barusan.
“Sudahlah kiranya Tuan datang. Kehadiran Tuan sangatlah dinanti.”
Aku melanjutkan kalimat iba. Belum ada jawaban. Belum ada gerakan. Desir angin masih seimbang. Tidak ada gemuruh. Tidak ada suara gemerincik air. Sepi. Tenggorokankku mulai kering. Haus aku dibuatnya.
“Acara apa?”
Sedikit, tidak banyak basa-basi, anak ini dalam ilmu komunikasi antarbudaya, berada di pola budaya low culture context (LCC), jika berbicara, langsung ke inti pembicaraanya.
“Acara syukuran Tuan” aku pun juga mengimbangi pola komunikasi anak tersebut. Aku bicara singkat, namun belum padat. Jujur, aku ini termasuk ke pola High Culture Context (HCC), berkomunikasi dengan basa-basi, namun tidak ngelantur.
“Maaf, saya tidak bisa datang. Saya tidak bisa keluar rumah. Mau jaga kesehatan saja.” Dengan penuh wibawa, anak itu berkata demikian. Sembari membalikkan badan, menghadap kepadaku, dan aku terperanjak, kaget.
“Sekali lagi, maaf, tidak bisa” anak itu mengulang perkataannya, sambil mengenakan masker. Mungkin masker itu ia dapat di lampu merah, masker dari sukarelawan. Masih ada rupanya yang suka rela. Zaman sekarang, banyak yang suka namun tak rela. Kata kakekku. Mudah-mudahan salah.
Melihat ucapan anak itu, dengan hidung, mulut ditutup masker, tidak bisa mendatangi undangan warga Kampung  Bahagia, aku paham, aku mengambil keputusan, dan akhirnya aku memberi kabar pada anak itu.
“Cahaya telah terbit” kataku dengan gagah, memberikan informasi, lagatku seperti wartawan.
“Benar kah?” tanya anak itu, penuh rasa ingin tahu, masih mengenakan masker. Tanya pun terulang.
“Benarkah, cahaya telah terbit?”
Aku ragu, tak kuasa menjawab.

Penulis: Sukardi (Adi TB)
Rabu, 11 November 2015



Pontianak, 11 November 2015

                                                                                                            Pasca kabut asap

Posting Komentar

0 Komentar