Berjalan perlahan-lahan, menggapai gagang pintu, bewarna
keemasan. Debar jantung seirama dengan gerak pintu, pelan-pelan kemudiang
menganga, kedua belah mulut pintu terbuka lebar. Berdiri jangkung seorang pria,
berpakaian bak raja, memakai topi keagungan.
Ternyata bukan orang dewasa, karena bias cahaya dari jendela di
belakangnya, ia seperti orang dewasa saja. Dia masih anak-anak, usianya
ditaksir seusia dengan siswa kelas 3 seolah dasar.
“Permisi…” kataku dengan intonasi suara yang rendah, masih terbawa
oleh rasa dingin, sisa gemetaran membuka gagang pintu tadi.
“Ada apa?” anak itu bertanya pendek. Belum membalikkan badan. Masih
dengan keadaan semula.
Aku belum dipersilakan masuk. masih dengan kondisi semula juga.
Berdiri sedikit membungkuk di hadapan pintu. Tak berani melangkah, bisa-bisa
aku salah.
“Masuk lah.. !” anak itu memanggilku, tanda untuk aku bersegera
masuk, dan menyampaikan tujuanku, yang lancang ke rumahnya.
“Tuan mendapat undangan dari rakyat Kampung Bahagia”
Anak itu masih terdiam. Mungkin sedang mencerna apa yang aku ucapkan
barusan.
“Sudahlah kiranya Tuan datang. Kehadiran Tuan sangatlah dinanti.”
Aku melanjutkan kalimat iba. Belum ada jawaban. Belum ada gerakan.
Desir angin masih seimbang. Tidak ada gemuruh. Tidak ada suara gemerincik air.
Sepi. Tenggorokankku mulai kering. Haus aku dibuatnya.
“Acara apa?”
Sedikit, tidak banyak basa-basi, anak ini dalam ilmu komunikasi
antarbudaya, berada di pola budaya low culture context (LCC), jika berbicara,
langsung ke inti pembicaraanya.
“Acara syukuran Tuan” aku pun juga mengimbangi pola komunikasi anak
tersebut. Aku bicara singkat, namun belum padat. Jujur, aku ini termasuk ke
pola High Culture Context (HCC), berkomunikasi dengan basa-basi, namun tidak
ngelantur.
“Maaf, saya tidak bisa datang. Saya tidak bisa keluar rumah. Mau
jaga kesehatan saja.” Dengan penuh wibawa, anak itu berkata demikian. Sembari
membalikkan badan, menghadap kepadaku, dan aku terperanjak, kaget.
“Sekali lagi, maaf, tidak bisa” anak itu mengulang perkataannya,
sambil mengenakan masker. Mungkin masker itu ia dapat di lampu merah, masker
dari sukarelawan. Masih ada rupanya yang suka rela. Zaman sekarang, banyak yang
suka namun tak rela. Kata kakekku. Mudah-mudahan salah.
Melihat ucapan anak itu, dengan hidung, mulut ditutup masker, tidak bisa
mendatangi undangan warga Kampung
Bahagia, aku paham, aku mengambil keputusan, dan akhirnya aku memberi
kabar pada anak itu.
“Cahaya telah terbit” kataku dengan gagah, memberikan informasi,
lagatku seperti wartawan.
“Benar kah?” tanya anak itu, penuh rasa ingin tahu, masih mengenakan
masker. Tanya pun terulang.
“Benarkah, cahaya telah terbit?”
Aku ragu, tak kuasa menjawab.
Penulis: Sukardi (Adi TB)
Rabu, 11 November 2015
Pontianak, 11 November 2015
Pasca
kabut asap
0 Komentar