Hubungan Islam Dan
Budaya Keraton Pontianak
Oleh: Sukardi
Mahasiswa Semester III
Komunikasi Penyiaran Islam
A.
Pendahuluan
Islam dan budaya lokal sangat menarik untuk dipelajari. Di dalam
kehidupan sehari-hari, banyak orang islam di sekitar kita yang erat dan
menampilkan budayanya masing-masing. Ada
beberapa budaya yang pelaksaannya dihubungkan dengan penyampaian ajaran agama
islam. Melihat sejarah Wali Songo, Sunan Kalijaga menerapkan pendekatan dakwah
kepada mad’u melalui pertunjukan seni wayang. Dakwah Sunan Kalijaga berjalan
dengan baik dan budaya wayang pun semakin terkenal. Selain budaya, terdapat
juga bukti-bukti bangunan dan peninggalan sajarah yang berhubungan dengan
penyebaran agama islam.
Keraton Pontianak, merupakan salah satu situs bersejarah yang ada
di Kalimantan Barat. Peradaban islam dan perjuangan mempertahankan Negara
Indonesia dari penjajah juga terekam dalam sejarah keraton Pontianak.
Saya melakukan riset mengenai sejarah masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman
dan Keraton Kadriah Pontianak. Saya bertemu dengan salah satu tokoh keturunan
Keraton Pontianak. Yakni Pak Simon. Nama tersebut beliau dapat ketika duduk di
bangku Sekolah Dasar pada masa Belanda. Nama tersebut diberikan oleh paman
beliau, Sultan Hamid II. Karena menyesuaikan dengan sekolah. Pak Simon sekolah
di Sekolah Dasar Bluder Katolik. Sekolah tersebut terbuka untuk umum. Bahasa
Belanda menjadi bahasa pengantar, beliau sekolah selama tiga tahun.
Pak Simon memiliki nama asli Syarif Selamat Joesoef Alkadrie.
Beliau menduduki jabatan di Keraton Pontianak sebagai ketua umum Pangeran
Bendahara, dan sekarang menjadi Pemberhati Budaya Kalimantan Barat. Ibu Pak
Simon bernama Syarifah Khadijah Alkadri memiliki gelar Ratu Perbu Wijaya. Kakek
Pak Simon bernama Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan ke-6 di Keraton
Pontianak. Istri Pak Simon bernama Syarifah Zainab binti Agil
Assegaf. Dikaruniai anak tiga perempuan dan satu laki-laki. Syarifah Yusufia
Alkadrie, Syarif Yusuf Alkadrie (Alm), Syarifah Fadlun Alkadrie, dan yang
bungsu bernama Syarifah Syafina Alkadrie.
B.
Sejarah
Berdirinya Kota Pontianak
Syarif Abdurrahman Al-Kadri bin Sayyid Al-habib Husein Al-kadri
Jamalulail, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sultan Syarif Abdurrahman lahir di kerajaan Matan (sekarang
Ketapang). Ia dilahirkan hari senin
tanggal 15 rabiul Awal pukul 10 siang tahun 1142 H/1730 M. Anak kedua dari
Al-Habib Husein, seorang penyebar Islam dari Arab.
Sebagai seorang keluarga di lingkungan istana Sultan Ma’aziddin,
Syarif Abdurrahman muda pun menikmati pendidikan dan pengetahuan yang cukup,
Matan sebagai kerajaan kecil waktu itu, terletak dibagian ujung Selatan
Kalimantan Barat merupakan salah satu pelabuhan dagang yang banyak disinggahi
baik oleh para pedagang dari Banjarmasin, Sumatra dan pantai utara pulau Jawa.
Juga banyak disinggahi oleh para pedagang Cina maupun Belanda dan Inggris, Arab
dan India. Kesibukan pelabuhan dagang ini memberikan kesempatan kepada pemuda
Syarif Abdurrahman mempelajari seluk beluk kaum pedagang. Ia pun sering
mendapat kesempatan ikut berlayar dengan perahu para pedagang. Kehidupan
kerajaan Matan telah mendidik dan memberi bekal kedewasaan Syarif Abdurrahman
tentang masalah kekuasaan di kerajaan dan masalah perdagangan sebagai salah
satu sumber kehidupan pada masa itu.
Ketika Habib Husein berpindah dari negeri Matan ke neegri Mempawah,
tahun 1755, seluruh keluarganya dibawa pindah ke Mempawah. Habib Husein sengaja
meminta permukiman baru yang berada di Kuala Mempawah dan dekat ke Laut. Ia
ingin berhubungan dengan masyarakat yang berlalu lintas sambil berdagang
sehingga penyebaran agama Islam akan lebih mudah berkembang keberbagai daerah.
Pada waktu itu pusat kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambun berada
di Sebukit di Mempawah Hulu.
Pemukiman keluarga Habib Husein di Galah Herang yang sekaligus
merupakan pusat pengajaran agama Islam, dalam waktu singkat telah ramai
dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah pesisir pantai Barat Kalimantan
Barat ini telah mendorong Syarif Abdurrahman yang waktu itu masih berumur 18 tahun
untuk ikut menelusuri kehidupan para pedagang disekitar Mempawah. Ketika
berumur 22 tahun ia pergi ke Negeri Banjar untuk berdagang.
Pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 H atau pada pertengahan tahun 1771,
pangeran Syarif Abdurrahman kembali ke Mempawah dengan membawa Armada kapal
layarnya serta kapal Tiang Sambung yang dipersenjatai dengan Meriam. Tiba di
Mempawah, bari diketahuinya bahwa ayahandanya Habib Husein Al-kadrie telah
berpulang kerahmatullah. Kematiannya disebabkan pula sudah sangat rindu pada putra
tersayangnya yang sudah lama pergi. Rakyat Mempawah sangat senang dengan
kedatangan pangeran Syarif Abdurrahman . ia membagi-bagi beras, pakaian dan
uang, hasil pengembaraannya selama beberapa tahun.
Semua saudara dan keluarganya mufakat untuk berlayar mencari tempat
pemukiman yang dianggap tepat. Cita-cita ayahnya, Habib Husein untuk mencari
tempat di negeri Timur di daerah yang subur dimana anak cucunya dapat hidup
dengan baik, dilanjutkan oleh pangeran Syarif Abdurrahman.
Keinginan pangeran Syarif Abdurrahman untuk berlayar mencari
pemukiman bari didukung pula oleh karena ia memiliki kapal yang cukup banyak
dan kuat dan telah mempunyai modal dan barang dagangan yang cukup. Di antara
anak buahnya adalah orang-orang Benggali asal kapal Perancis yang dikalahkannya.
Pada sore hari kedua Jumat 9 Rajab 1185, 18 Oktober 1771 menyusuri
sungai Kapuas, Pangeran Syarif Abdurrahman menemukan sebuah pulau di tengah
sungai yang kemudian dinamakan pulau Batu Layang. Pada malam harinya rombongan
14 kapal mendapat gangguan. Menurut kisahnya, gangguan tersebut berasal dari
para hantu yang mendiami Pulau Batu Layang dan daerah sekitarnya. Gangguan pada
malam hari itu yang ditafsirkan sebagai hantu jahat, membuat takut anak buah
perahu rombongan. Keesokan harinya mereka tidak meneruskan perjalanan, sambil
memperhatikan situasi sekitarnya. Pada siang hari pun mereka ditakuti oleh
suara-suara mengerikan. Malam berikutnya merekapun mendapatkan gangguan dari
suara semacam hantu dan gangguan lainnya.
Karena selalu diganggu oleh hantu jahat yang disebut kuntilanak
atau Pontianak sehingga untuk mengusirnya harus di tembak dengan meriam, maka
tempat dimana Pangeran Syarif Abdurrahman membangun pemukiman baru disebutnya
Pontianak.
Gangguan yang menakutkan itu sesungguhnya datang dari para perampok
dan penjahat yang banyak terdapat diperairan sungai Kapuas dan sungai Landak.
Mereka bersembunyi didaerah pertigaan pertemuan kedua sungai itu. Apabila ada
perahu atau kapal datang yang melewati muara sungai Kapuas, mereka menyerang
dan merampasnya dan kemudian lari bersembunyi dipedalaman sungai Kapuas dan
sungai Landak.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 H atau 23 Oktober 1771, mereka sampai
pada persimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak. Selama 8 hari pertama
pangeran Syarif Abdurrahman memimpin dan menebas hutan diujung delta sungai
Kapuas dan sungai Landak. Pekerjaan satu minggu , mereka berhasil mendirikan
rumah sederhana dan tempat beribadah di daerah itu. Dan kemudian tempat itu
dinamakan Pontianak. Sementara pangeran
Syarif Abdurrahman meneliti daerah sekitarnya yang ternyata sudah didiami oleh
penduduk suku Dayak dan orang-orang Melayu disepanjang sungai Landak dan sungai
Kapuas. Kedatangan rombongan Syarif Abdurrahman itupun menarik perhatian orang
yang lalulintas didaerah itu.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan sya’ban 1192 H, bertepatan dengan
hari senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, raja Mempawah, Landak, Kubu dan
Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar
Syarif Abdurrahman Ibnu Al-Habib Al-Kadrie.
Pada 1992 H, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan pada
kesultanan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinta
Mesjid Jami’ Sultan Abdurrahman Al-Kadrie
dan keratin Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan dalam Bugis
Kecamatan Pontianak Timur.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil
membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di
Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seseorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan
pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan sungai
Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang
makmur, dan Pontianak berdiri.
C.
Masuknya Islam
di Pontianak
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh
Bangsawan Arab Bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu sungai
Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno. Masuknya
Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif
Abdurrahman Al-Qadrie yaitu Habib Husein Al-Qadrie.
Dalam perspektif yang berbeda kedatangan Islam ke Kalimantan Barat
melalui kekuatan Ekonomi dan Perdagangan. Seperti didaerah-daerah lainnya di
Nusantara. Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana,
yang juga tertarik pada perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan
Islam.
Di Mempawah Habib Husein Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3
Dzulhizah 1184 H, beliau menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
dengan putrid Raja Mempawah Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar
oleh Sultan Banjar diangkat menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang
kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin
Habib Husein Al-Qadrie.
Umat Islam pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf
Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah
berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam
menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya yang bernama
SultanSyarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang menjadi salah seorang penyebar agama
Islam di Kalimantan Barat.
Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang
besar terhadap perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang
terletak dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
sebagai Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di
sekitar kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur,
Kampung banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama
Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar
yang pada jaman tersebut beliau adalah salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief
Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di
lingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada
masa itu sudah menyebarluas kewilayah Pontianak. Ustadz Dza’far yang kelak
menurunkan anak yang bernama Kurdi Djafar yang dikenal sebagai pendiri cabang
Muhammadiyah di Sungai Bakau Kecil di Mempawah.
D. Hubungan Islam
dan Budaya Kesultanan Pontianak
1.
Sejarah Tokoh
Dahulu kala, empat orang pemuda
berangkat dari kota Trim Hadralmaut, negeri Arab. Yang masing-masing bernama Ma
Al Habib Husin, Al Syayid Abubakar Idrus, Al Syayid Umar Al Seaf dan Al Syayid
Muhammad Quraisy. Tujuan mereka melaksanakan
pesan yang disampaikan oleh sang guru, yakni pergi ke negeri hijau yang berada
di sebelah Timur Arab, untuk mencari ilmu serta menyebarkan syiar Islam.
Perjalanan awal mereka bertemu
dengan negeri Malaysia. Tepatnya di negeri Trengganu. Ternyata di negeri
Trengganu menjadi awal perpisahan keempat pemuda ini. Masih memiliki tujuan
yang sama, memperluas daerah Islam, Al Syayid Umar Husin Al Segaf masuk ke
negeri Siak. Syayid Mohammad bin Achmad Quraisy memilih untuk menetap di
Trengganu.
Dua
orang lainnya Syayid Abubakar Idrus dan Al Habib Husin menuju Aceh. Nah, di
Aceh inilah mengembangkan dan mengajarkan hukum Syara. Pengembaraan Al Habib
Husin masih panjang. Dia sempat singgah di Betawi (Jakarta) selama kurang lebih
tujuh bulan. Setelah menyinggahi Betawi, beliau menuju Semarang. Di Semarang
ini Al Habib Husin bertemu dengan seorang ulama bernama Syekh Salim Hambal dan
tinggal bersama di tempat Syekh Salim Hambal selama kurang lebih dua Tahun.
Ternyata
waktu dua tahun, merupakan waktu yang cukup lama buat Al Habib Husin. Beliau
bermaksud keluar dari Semarang, menuju daerah Timur, sebagaimana dimaksud
gurunya menjelang keberangkatannya dari Hadral Maut. Habib Husin mendiskusikan
nya dengan Syekh Salim Hambal. Syekh Salim menyarankan supaya ke negeri Matan.
Di Matan Al Habib Husin bertemu dengan Syayid Hasim bin Yahya. Orangnya dikenal berani. Kemana-mana selalu
membawa tongkat besi, dan janggut panjang yang selalu diberi pacar hingga
bewarna merah.
Di
negeri Matan, Syayid Hasim di kenal dengan sebutan Tuan Janggut Merah dan
memiliki sifat fanatik. Fanatik disini ialah, dimanapun dia melihat benda yang
berupa patung dengan motif makhluk hidup, seperi ular, dan bentuk lainnya, si Tuan
Janggut Merah akan menghancurkan patung tersebut dengan tongkat besinya itu.
Kedatangan
Al Habib Husin terdengar oleh Raja Kerajaan Matan, yang kemudian berhasrat
untuk menjamu sebagai perkenalan dan penghormatan kepada Al Habib Husin yang
baru datang dari Semarang, dan berkeinginan untuk menyebarkan syiar agama
Islam.
Dalam
perjamuan ini, dilengkapi pula dengan jamuan makan sirih. Alat pembelah pinang,
yang biasa di sebut Kacip, malah dipatah-patahkan oleh Tuan Janggut
Merah. Karena dibagian Kacip tersebut ada gambar yang berbentuk
makhluk hidup. Tentu, pihak majelis dan Kerajaan Matan menjadi kurang senang
terhadap Syayid Husin. Patahan dari Kacip itu, di kumpulkan oleh Syayid Husin, dan
dengan ridho Allah SWT, Kacip kembali pada bentuk semula. Setelah
kejadian pada Kacip , Raja Matan
menyerahkan jabatan Mufti (Hakim) Peradilan Agama dan Penyebaran Syariat Agama
Islam, kepada Al Habib Husin. Karena
kebenaran yang dibawa Habib Husin, maka
Raja Matan dan seluruh rakyat hormat kepada Habib Husin.
Raja
Matan, menikahkan putrinya yang bernama Nyai Tua kepada Al Habib Husin, dari
Pernikahan Al Habib Husin dan Nyai Tua, di anugrahi empat Zuriyat (Anak), yang
pertama perempuan, bernama Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah
Aluyah dan yang terbungsu, Syarif Alwi.
Selama
memangku jabatan Mufti di Matan, nama Al Habib Husin menjadi terkenal dan
tersebar luas. Raja Kerajaan Mempawah, Opu Daeng Manambon, menyuruh agar Al
Habib Husin mau pindah ke Mempawah untuk
mengajar Agama Islam. Namun permintaan Raja Mempawah belum dapat dipenuhi, karena
Al Habib Husin merasa bertanggung jawab dan merasa dikasihi oleh rakyat Matan.
Tak lama kemudian, datanglah perahu lancing dari negeri Siantan dengan nahkoda
bernama Achmad membawa dagangan ke Negeri Matan. Namun di sini Achmad telah
berbuat tidak patut terhadap seorang wanita sehingga menimbulkan kemarahan Raja
Matan, dan ia akan dibunuh.
Namun
mengingat Raja Matan memberikan tanggung jawab peradilan agama kepada Al Habib
Husin, maka niat membunuh Nahkoda Achmad tidak terlaksana. Oleh Al Haib
Husin diputuskan bahwa Achmad tidak
dihukum bunuh, melainkan dihukum dengan
membayar denda dengan uang dan nakhkoda Achmad disuruh untuk bertobat serta
memohon mpun kepada Raja sebagai hokum Ta’zir. Keputusan itu akhirnya di terima
oleh Raja Matan, walaupun bertentangan dengan keinginannya.
Setelah
menerima putusan, nakhkoda Achmad memohon kepada Raja Matan untuk pulang ke
negeri Siantan. Namun diam-diam Raja
Matan memerintahka dua orang untuk menyerang nakhkoda Achmad dan ia terbunuh di muara Kayang Matan.
Mendengar kejadian itu, Al Habib Husin merasa kecewa terhadap tindakan dan
dendam Rajanya.
Kemudian
Al Habib Husin menulis surat kepada Raja Opu Daeng Manambon dan menyatakan
kesediaannya untuk hijrah ke Mempawah. Jika
diterima, Al Habib Husin minta dibuatkan sebuah rumah dan surau yang terletak
di kuala dimana penghabisan pohon nipah.
Raja
Mempawah yang menyanggupi permintaan Al Habib Husin, kemudian berangkat sendiri
mencari tempat yang dihajatkan oleh Al Habib Husin. Dengan diiringi anak cucu serta
menteri-menterinya, dalam pencarian tersebut Raja Mempawah menemukan tempat
yang dimaksudkan Al Habib Husin, yaitu pada penghabisan pohon nipah dan diberi
nama “Galah Hirang”. Di tempat ini segera dibangun rumah dan surau. Setelah
pembangunan rumah dan surau selesai, Raja mempawah menyuruh anaknya bernama
Gusti Haji Gelar Pangeran Mangku untuk pergi ke Matan dengan membawa dua perahu
besar untuk menjemput Al Habib Husin. Dan pada Tahun 1160 pada delapan hari
bulan Muharram, Al Habib Husin berangkat menuju Mempawah. Dalam kepindahannya
setelah 17 tahun tinggal di negeri Matan, Syarif Abdurrahman belum dewasa.
Setelah
Syarif Abdurrahman berusia 18 tahun, Al Habib Husin berniat mengawinkan
putranya dengan putrid Mempawah bernama Utin Tjandramidi. Menurut cukilan dalam
kisah pinangan Al Habib Husin, Raja Mempaawah terasa berat menerimannya. Namun
untuk menolak pinangan, Raja Mempawah sangat segan mengingat Al Habib Husin
sebagai guru yang mengajar agama Islam sangat dihormati. Maka terpikirlah oleh Raja Mempawah untuk
mencari alasan atas pinangan Al Habib Husin, dengan meminta mahar 1000 buah
pahar ( tempat hidangan makanan). Di luar dugaan Raja Mempawah, mahar yang
diminta dapat dipenuhi Al Habib Husin. Janji wajib ditepati, karena barang yang
diminta sebagai mahar sudah dipenuhi, maka pinangan Al Habib Husin diterima
oleh Raja Mempawah Opu Daeng Manambon. Akhirnya Syarif Abdurrahman dikawinkan
dengan Putri Utin Tjandramidi.
Selama
Al Habib Husin tinggal di Mempawah, putranya Syarif Abdurrahman selalu merantau
ke Pulau Tambelan, Siantan, Palembang, dan Banjar. Di Banjar Syarif Abdurrahman
menikah lagi dengan bernama Ratu Syah Ranun, dan oleh Sultan Banjar, syarif
Abdurrahman diangkat menjadi Pangeran
Syarif Abdurrahman Nur Alam. Setelah dua tahun di Banjar Syarif Abdurrahman
kembali ke Memepawah, kemudian berangkat kembali ke Banjar selama empat tahun.
Namun begitu pulang ke Mempawah didapati ayahnya Al Habib Husin telah wafat
pada Hijrah Sunnah 1184 tahun WAW tiga hari Zulhijah pukul dua arba’a
dimakamkan di Kampung Galah Hirang, Mempawah. Syarif Abdurrahman dan
saudara-saudaranya yaitu syarif Alwi, Syarif Abubakar, dan Syarif Hamid Ba’bud
musyawarah bertujuan keluar mencari tempat kediaman baru.
Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
|
||
No
|
Sultan
|
Masa pemerintahan
|
1
|
1 September 1778 – 28 Februari 1808
|
|
2
|
Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan
Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
|
3
|
Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan
Syarif Abdurrahman Alkadrie
|
25 Februari 1819 – 12 April 1855
|
4
|
Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan
Syarif Usman Alkadrie
|
12 April 1855 – 22 Agustus 1872
|
5
|
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan
Syarif Hamid Alkadrie
|
22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
|
6
|
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan
Syarif Yusuf Alkadrie
|
15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
|
*
|
Interregnum
|
24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
|
7
|
29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
|
|
*
|
Interregnum
|
30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
|
8
|
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif
Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
|
15 Januari 2004 – Sekarang
|
2.
Masjid Jami’
Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak
Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman berada di kampung Beting,
Kelurahan Dalam Bugis, kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Masjid ini
hanya berjarak 200 meter di sebelah barat Istana Kadriah.
Masjid
Sultan Abdurrahman berada di dekat pusat
kota Pontianak. Lokasi masjid dapat dijangkau melalui jalur sungai dan jalur
darat. Pengunjung yang memilih jalur sungai dapat mengaksesnya dengan
menggunakan sampan atau speed boat dari pelabuhan Senghie, sedangkan pengunjung
yang menggunakan jalur darat dapat naik bus yang melewati bus jembatan Sungai
Kapuas.
Pada
tahun 1770 M, Habib Husein Al Kadri wafat di kerajaan Mempawah. Tiga bulan
kemudian, anak beliau yang bernama Syarif Abdurrahman dan saudara-saudaranya,
sepakat untuk meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mencari daerah permukiman
baru. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H), rombongan Syarif Abdurrahman
menemukan lokasi yang sesuai di delta Sungai Kapuas Kecil, Sungai Landak, dan
Sungai Kapuas. Setelah delapan hari menebas hutan, rombongan ini lalu
mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar (Mushola/Surau).
Seiring
dengan pesatnya perkembangan kawasan tersebut, lambat-laun lannggar sederhana
itu pun kemudian berubah menjadi masjid. Sultan Syarif Usman (1819-1855 M),
Sultan ke-3 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan pertama kali yang
meletakkan fondasi bangunan masjid sekitar tahun1821 M/1237 H.
Bukti
masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman dapat dilihat pada inskripsi huruf Arab yang terdapat di atas mimbar masjid
yang menerangkan bahwa Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dibangun oleh Sultan
Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharram 1237 H. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus
dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya yang sekarang
ini.
Untuk
menghormati jasa Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, pendiri Kota Pontianak dan
sultan pertama Kesultanan Pontianak, masjid yang berada disebelah barat Istana Kadriah itu pun diberi nama Masjid
Jami’ Sultan Abdurrahman.
Masjid
ini memiliki panjang 33,27 meter dan lebar 27,74 meter ini merupakan masjid tertua
dan masjid bersejarah di Pontianak. Masjid yang undak (seperti tajug ala
arsitektur Jawa) paling atasnya mirip mahkota atau genta besar khas arsitektur
Eropa ini menjadi saksi sejarah perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota
Pontianak dan sekitarnya.
Mayoritas
konstrusi bangunan masjid terbuat dari kayu belian pilihan. Dominasi kayu
belian masih dapat dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, dan sebuah
bedug besar yang terdapat di serambi masjid. Enam tonggak utama (soko guru)
penyangga ruangan masjid yang berdiameter 60 sentimeter juga terbuat dari kayu
belian. Konon, tonggak-tonggak tersebut telah berusia 170 tahun. Selain enam
tonggak utama, terdapat empat belas tiang pembantu yang berfunsi sebagai
penyangga ruangan masjid. Pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada pintu dan
jendela masjid yang cukup besar, sedangkan pengaruh Timur terlihat pada
mimbarnya yang berbentuk kubah.
Seperti
bangunan rumah Melayu pada umumnya, masjid ini juga memiliki kolong di bawah
lantainya. Meski persis berada di atas air Sungai Kapuas, masjid ini tidak
pernah kebanjiran karena fondasi masjid berjarak sekitar satu setengah meter di
atas permukaan tanah.
Di
masjid ini, terutama pada hari-hari besar Islam selalu membuat kegiatan. Baik
itu kegiatan bersifat keagamaan, maupun bersifat kegiatan kemasyarakatan berupa
perlombaan-perlombaan. Dimana kegiatan
tersebut sering dilakukan di masjid manapun di halaman masjid. Masjid ini harus dilestarikan dan menjadi
kebanggaan Kota Pontianak.
3. Istana
Kadriah
Istana
Kadriah berdiri gagah di tepi sungai Kapuas, tempatnya di wilayah Kampong Dalam
Bugis, dengan ornamennya kental menyiratkan ciri kerajaan Islam. Selain cat
warna kuning khas melayu, terdapat banyak sekali pahatan bulan dan bintang yang
menghiasi sisi Keraton. Logo ini tertera dipintu masuk dan dinding kayu, serta
di bendera kebesaran yang berkibar di halaman Istana. Ruang Istana di dominasi
warna kuning. Singgasana Raja berwarna keemasan berdiri kokoh dikelilingi foto
para pembesar kerajaan dan beberapa aksesoris seperti jam duduk tua dan guci-guci
keramik. Tampak pula sebuah cermin antik dari Eropa, yang dinamakan “Kaca Seribu” hadiah kepada
sultan ke-6. Terdapat Alquran tulis tangan, yang di tulis pada masa Habib
Usman. Ruangan ini masih menyiratkan aura kegagahannya sebagai tempat para
petinggi mengambil keputusan.
Lantainya
masih papan kayu berlian (Kayu Ulin) yang terkenal akan kekuatannya. Kayu ini
dikenal memiliki kekuatan luar biasa, bahkan gergaji biasapun tak akan kuat
untuk memotong batangnya. Pasti kita
juga tak akan menemukan ukiran indah berbahan kayu berlian. Konon, jika direndam
didalam air bertahun-tahun, kayu berlian akan awet selama puluhan tahun bahkan
ratusan tahun.
Keraton
Kadriah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Keraton Kadriah
menjadi peradaban pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di
Pontianak, pada masa itu diperkenlkan
oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri. Pada masa itu, sebelum ia mengenalkan
ajaran Islam dan menetap di Pontianak, ia sudah lebih dahulu menetap dikerajaan
Mempawah.
Keraton
Kadriah berdiri 1773, jadi dua tahun setelah masjid Jami’. Merupakan Kesultanan
paling muda di Kalimantan Barat. Setelah
Sultan Syarif Abdurrahman membuka negeri, barulah Belada masuk untuk meminta
(bernegoisasi) untuk menduduki (menjajah) Kesultanan Pontianak.
Barang-barang
di Keraton sudah banyak yang berupa duplikat. Karena hilang pada 1 generasi.
Tepatnya pada agresi Jepang, Perang Dunia 2. Barang-barang Keraton diambil oleh
Jepang dan banyak cendikiawan muslim yang terbunuh.
Kesultanan
Kadriah dengan Kerajaan senusantara, memiliki tatanan adat istiadat serupa tapi
sama. Tak samanya itu, di Pontianak karena bermuara dengan syariat Islam.
Segala sesuatu itu menurut atiran Islam.
Dari
segi berpakaian, menggunakan pakaian gamis yang tidak berkerah. Setelah sultan
ke-6 yakni Sultan
Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, barulah boleh menggunakan menggunakan pakaian modern. Beliau
menyesuaikan keadaan negeri. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie disebut juga sultan pembeharuan. Ada hal-hal tertentu mengenakan
pakaian kerajaan, seperti ketika melaksanakan upacara adat.
Di
Kesultanan Kadriah, terdapt seni yang bernapaskan islam, yakni Hadrah dan
Zapin. Yang sangat utama adalah tentang perayaan hari besar Islam. Yakni Maulid
Nabi, dirayakan secara besar-besaran. Isra’ Mi’raj. Dan pada tanggal 1 Muharram
1436 H, bertepatan tanggal 25 Oktober 2014, ialah hari wafatnya Sultan Syarif Abdurrahman,
dari Keluarga Kesultanan akan mengadakan “Haul”.
Ada
tiga sarana pendidikan, yakni Madrasah Abdurrahmaniah, Madrasah Saigoniah, dan
Al Raudhatul Islamiyah. Banyak ustad lulusan dari Madrasah tersebut. Tidak
hanya dari kalangan kesultanan yang bisa belajar, dari semua suku bisa belajar.
Tahun
2014 ini, dilakukan perenofasian pada
prapon, atap dan pengecatan pada badan Keraton Kadriah. Dengan target waktu
pengerjaan 180 hari di mulai pada bulan September 2014. Yang bekerja ialah para
ahli bangunan lokal. Bahannya menggunakan kayu Mengkiray, yang sudah di open,
hingga cukup kering dan di pian. Dana didapat dari bantuan Pemerintah Kota
Pontianak.
23 Oktober 2014, Kota Pontianak bersusia 243 tahun.
E.
Penutup
Jadi terlihat jelas dari rekaman sejarah, dan peninggalan sejarah
yang masih berdiri kokoh, yakni Keraton Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Syarif
Abdurrahman, bahwa penyebaran dan perabadan Islam dan berkaitan dengan budaya
lokal di kota Pontianak sangatlah besar. Islam yang sangat fleksibel, tidak
memisahkan budaya, itulah yang memikat rakyat Pontianak yang kaya akan budaya.
Hasil riset ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
peninggalan peradaban islam dan asal mula terbentuknya Pontianak. Sebagai pemuda penerus bangsa, para pelajar
dan mahasiswa dan semua rakyat yang ada di Nusantara pada umumnya dan
masyarakat Pontianak pada khususnya, agar menjaga dan melestarikan harta karun
peninggalan para pahlawan yang telah berjuang keras membasmi penjajah dan yang
utama mensyiarkan ajaran agama Islam.
Narasumber: Syarif Selamat Joesoef Alkadrie (Pak Simon)
Lokasi Riset:
1. Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak
2. Keraton Kadriah Pontianak
Referensi:
http://arifnasah.blogspot.com/2012/10/sejarah-islam-di-pontianak.html
0 Komentar